Langsung ke konten utama

Relasi Masa Silam

Bahagia itu kadang sangat sederhana. Hanya dengan sapaan, "Bapak apa kabar? Gemuk ya, sekarang?" sudah cukup mengubah suasana hati dalam sekejap. Apatah lagi dilontarkan dari orang-orang yang pernah mengisi pengalaman hidup masa lalu yang amat berharga.

Mereka, tiga perempuan muda berhamburan, berlari kecil memanggil-manggil saat saya melintas di depan madrasah penuh kenangan. Saya menoleh. Saya kenal wajah-wajah itu. Mereka guru-guru pejuang dengan gaji bersahaja, namun tetap semangat agar madrasah tetap bernapas, madrasah di mana dahulu saya mengajar mereka dua puluh empat tahun silam. Sekarang mereka mengikuti jejak menggantikan peran saya di depan kelas, duduk di kursi yang dahulu mereka sapu dengan kemoceng sebelum saya duduki dan memulai appersepsi. Saya tersenyum bahagia menyambut panggilan itu.

Dibawanya saya ke ruang guru. “Ini guru saya,” kata kepala madrasah memperkenalkan pada seisi ruang. Lalu, yang satu sibuk menawarkan kopi, yang lain sibuk mencarikan kipas angin, yang satu lagi membawakan sepiring buah. Saya biarkan saja kesibukan mereka menawarkan ini itu. Suguhan pada sapaan yang hangat mereka pertama kali, rasanya lebih saya nikmati dari semuanya.

Saya tak tahu kesan utuh mereka bagaimana dahulu saya mengajar atau kesan pribadi mereka pada saya sebagai gurunya. Saya juga tak berkeinginan menanyakan hal yang tak terlalu penting itu di saat perjumpaan sudah begitu membahagiakan. Bisa jadi saya bukan guru favorit, tetapi disambut dengan binar mata mereka yang hangat, rasanya tak penting lagi untuk apalah perkara itu dicari tahu. Cukuplah keramahtamahan yang mereka tunjukkan secara spontan, jauh lebih penting dari sekadar prasasti guru favorit atau bukan favorit, sebab seorang guru terbaik sejagat raya pun tidak luput dari kesilapan.

Sebaliknya, sampai sekarang saya masih menyimpan pengakuan bahwa dua puluh empat tahun silam mereka adalah para bintang dengan segala kecakapannya sendiri-sendiri. Mereka begitu berharga, seperti cahaya bintang di malam gelap. Seperti Hanum dan Maghfira yang sosoknya saya kisahkan dalam novel 'Mandi Cahaya Rembulan'. Hanum dan Maghfira adalah tokoh untuk dua orang siswa terbaik saya kelas empat dan lima yang telah tiada sedangkan saya menyimpan kenangan teramat indah dengan keduanya. Kepergian keduanya secara nyata seperti langit kehilangan cahaya bintang di malam buta dalam satu episode karir saya mengajar.

Pasti mereka tak menyadari, pasti tidak, bahwa mereka dahulu begitu berharga. Mereka adalah bocah-bocah yang kehadirannya di kelas menjadi ‘juru selamat’. Seperti pahlawan yang memenangkan persaingan bagi madrasah tetap bertahan sebab masih mendapatkan murid. Mereka tak pernah tahu bahwa madrasah dapat melewati hari-hari menegangkan itu dan saya melewatinya dengan harap-harap cemas bersama mereka.

Hari itu, bolehlah saya bernapas sedikit lega melengkapi kebahagiaan di hari yang terik itu. Sang kepala madrasah mengadu, dia sedang pening dan berpikir keras bagaimana caranya tahun depan sudah punya lokal baru untuk dua rombel siswa kelas terakhir. Saya bahkan berdoa agar mereka tambah pening mencari cara bagaimana menolak orang tua yang berebutan ingin menyekolahkan anak-anak mereka di madrasah di tahun-tahun mendatang.

"Hai kalian! Sekarang lain posisi. Kehadiranmu di madrasah sangat berarti untuk menginspirasi setiap bocah kecil yang dititipkan orang-orang tua mereka pada madrasah. Orang tua yang sama entah generasi ke berapa dari kalian yang masih menaruh kepercayaan bahwa madrasah tempatmu belajar dahulu tetap bisa menjawab kebutuhan generasi masa depan, generasi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan generasi saya dan kalian."

Ah, waktu terasa begitu cepat berlalu. Berjumpa mereka lagi, terasa terlempar ke masa mereka masih gadis kecil bau kencur yang takut dimarahi karena tidak mengerjakan PR. Berbincang dengan mereka, seperti mengantarkan saya pada wajah kelas dua puluh empat tahun silam meski sudah dengan tampilan emak-emak. Akhirnya saya sadar diri bahwa saya sudah cukup tua.

Menghormati itu lebih mulia daripada menuntut penghormatan. Tetapi, sesederhana apa pun penghormatan meskipun sekadar menyapa, "Bapak apa kabar? Gemuk ya, sekarang?" atau sekadar memperkenalkan, "Ini guru saya," percayalah, ungkapan itu membekas dalam jiwa yang tidak lekang dimakan waktu.

Demikianlah, kadang relasi masa silam begitu amat berharga untuk sekadar dirasakan sendiri.

Selamat mendidik, ya. Terima kasih telah membuat saya amat bahagia hari itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap