Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2021

BUNGKUS GORENGAN

Bu Nuril keluar dari ruangan Pak Kusnadi dengan muka memerah. Pikirannya tertuju pada satu orang yang disangkanya dalang dari bocornya laporan keuangan studi wisata itu. Jari jemarinya lalu dengan cepat menekan nomor-nomor pada keyboard ponselnya. PAK Gusnadi memanggil Bu Nuril ke ruangannya. Mukanya memerah menahan kesal. “Mengapa bisa begini, Bu Nuril? Ibu bilang laporan keuangan aman!” Pak Gusnadi mengingatkan Bu Nuril, bila mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan masalah ini, bukan tidak mungkin yayasan akan mencabut mandat mereka sebagai kepala dan wakil kepala sekolah. Bu Nuril tidak menjawab. Mau menjawab apa, sebab mereka berdua yang merancang laporan keuangan itu. “Bisa jadi, bukan cuma jabatan kita yang akan dicopot, Bu Nuril. Bagaimana kalau kita dipecat dari Budi Mulia?” “Tapi, selisih uang itu bukan untuk kita sendiri kan, Pak? Separuh kita distribusikan pada teman-teman panitia sesuai keringat mereka masing-masing.” “Itu pula jawaban yang saya sampaikan kemarin.” “Teru

BUNGKUS GORENGAN

Papa. Aku benar-benar jatuh cinta! TIKA Pratiwi telah pergi. Kanker mengantarnya dalam tidur yang panjang. Saat jenazahnya disemayamkan, senyum Tika menyungging. Bisa jadi karena perempuan itu sudah puas. Dia pulang dengan damai, tidak dengan rasa takut atas putrinya lagi. Dia sudah mewariskan kepada putrinya karakter baik sebelum penyakit ganas itu merenggut kehidupannya. Semasa hidup, Tika memang menyimpan banyak kerisauan. Dia risau apabila kelak putrinya tidak paham budaya mengantre, tidak pandai meminta maaf saat dia keliru, dan enggan mengucap terima kasih saat dia dibantu. Apalagi bila kelak putrinya tidak memiliki kepedulian pada sesama, kosong dari rasa tanggung jawab, tidak amanah, dan tidak memiliki integritas. Jika itu kehidupan putrinya kelak, Tika merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Dia hanya merasa berhasil telah melahirkan anak itu ke dunia. Itu saja. Kerisauan yang paling mengganggu Tika belakangan adalah soal kemanusiaan yang mudah sekali terkoyak. Putrinya sedan

BUNGKUS GORENGAN

  Bagian 1 Papa. Aku benar-benar jatuh cinta! PAK Gusnadi gelisah. Wajahnya sedikit pucat selepas surat berkop yayasan selesai ia baca. Tangannya tampak gemetar. Guru senior yang baru dua bulan diangkat menjadi kepala sekolah itu tampak seperti akan menghadapi tiang gantungan. Pak Gusnadi memenuhi undangan ketua yayasan dua hari kemudian. Hatinya sudah sedikit lebih tenang. Seharian kemarin, ia berpikir keras menyiapkan jawaban sesuai pokok surat dari yayasan. Namun, Pak Gusnadi masih saja khawatir, kalau-kalau jawabannya tidak memuaskan pihak yayasan. Di kantor yayasan, Pak Gusnadi sudah ditunggu Bu Retno dan Pak Suyudi serta seorang laki-laki. Pak Gusnadi belum mengenalnya. Itu kali pertama Pak Gusnadi bertemu sepanjang sepuluh tahun ia mengajar di sekolah milik yayasan itu. Rupanya, laki-laki itu bagian dari pengurus yayasan Budi Mulia. “Bagaimana kabarnya, Pak?” Sapa Bu Retno, ketua yayasan. “Baik-baik, Bu.” “Kenalkan. Ini Pak Wahyu,” ucap Bu Retno memperkenalkan laki-laki itu. Pak