Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Paradoks Hari Buku

Gambar diambil dari:  http://rilis.id/selamat-hari-buku-sedunia-sudah-baca-hari-ini HARI ini, 17 Mei, momentum Hari Buku Nasional. Tidak seperti hari-hari yang ditetapkan sebagai momen penting, gaung Hari Buku Nasional memang tidak seramai Hari Kemerdekaan Indonesia, Hari Kartini, atau Hari Raya Keagamaan. Semua orang hampir tahu kapan Hari Kemerdekaan Indonesia atau Hari Raya Keagamaan diperingati dan dirayakan orang Indonesia dan umat masing-masing agama. Hari Kartini, mungkin lebih sedikit yang tahu. Namun, Hari Buku cenderung senyap. Jangan harap orang awam tahu kapan Hari Buku Nasional itu diperingati, kaum cerdik pandai belum tentu tahu, bahkan bisa jadi lebih ‘ngenes’ sekadar ketidaktahuan orang awam. Bagaimana tidak ‘ngenes’ apabila kaum cerdik pandai seperti dosen, guru, atau pendidik bertanya keheranan, “Ha? Emang ada Hari Buku?”  Memang, tidak tahu kapan Hari Buku diperingati tidak membatalkan iman. Juga tidak mengurangi kadar nasionalisme seseorang. Akan tetapi, cukuplah it

Ibtimes dan Wacana Liberalisme; Tanggapan atas Tulisan Kumaila Hakimah (2)

Menyoal akal dan kebebasan berfikir, Kumaila berkata, “Justru untuk memahami wahyu, dibutuhkan akal dan kecerdasan yang matang. Tapi tentu saja tuduhan liberal dan segala macam ini bukan hanya terjadi di masa modern seperti sekarang. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazzali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd yang karyanya masih kita kaji hingga sekarang adalah beberapa figur cendekiawan muslim yang dicap liberal pada masanya.” Siapa pun setuju bahwa untuk memahami wahyu dibutuhkan kesehatan akal dan kecerdasan. Namun perlu dimengerti, syarat untuk memahami wahyu harus pula didukung perangkat ilmu yang mumpuni dan tidak sembarang orang memilikinya. Lagi pula, soal akal sehat dan kecerdasan yang matang untuk memahami wahyu tidak ada kaitannya sama sekali dengan liberal atau tidak liberal. Malah yang banyak terjadi, pandangan liberal lah yang justru merusak dan menyelewengkan potensi akal. Porsi akal bukan digunakan untuk mengungkap kebenaran wahyu, tetapi malah diperalat untuk mengaburkan pesan wahyu ata

NUZULUL QUR'AN; REFLEKTIF ATAS PERADABAN ISLAM DAN AKAR TRADISI LITERASI

O, putera pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah takkan mencemoohkanmu; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.

CUKUP SATU SYUKRON AMIN

Jadi, bahayakah liberalisme dan sekulerisme dalam Islam? Tidak sama sekali, yang bahaya itu kebodohan kita yang bahkan di zaman informasi serba mudah, makna liberal dan sekuler saja tidak faham tapi suka menakut-nakuti orang. PARAGRAF di atas saya comot dari sebuah tulisan di https://ibtimes.id/seberapa-bahaya-islam-liberal-dan-islam-sekuler/ . Penulisnya Kumaila Hakimah. Dari “bau-baunya”, nama semacam itu rasanya nama perempuan. Rada aneh kalau sosok dengan menyandang nama itu berkumis, berjenggot, dan berjakun. Jadi, saya asumsikan saja Kumaila itu memang perempuan. Tentu bukan nama dan sosoknya yang akan kita bincangkan, melainkan secuplik saja dari isi tulisannya. Isi tulisannya “lebih menggoda” untuk disoal daripada “menggoda” Kumaila-nya. Nama sekadar bungkus. Tetapi, tulisan sebagai representasi dari pemikiran adalah isi yang punya daya; apakah daya rusak atau daya bangun. Paragraf yang saya kutip di atas adalah kesimpulan dari tulisan Kumaila di bawah judul “Seb