KAPUR tulis adalah nyawa. Itu dulu. Ya, paling tidak, pada zaman masa-masa SD generasi pelajar orang seusia saya sekarang. Saya tak mengerti, mengapa kenangan ini tiba-tiba muncul sekarang di “zaman kuota” . Bahkan saya menyadari, kelas menjadi hidup atau senyap dengan sebatang kapur itu. Ya, kapur benar-benar menggerakkan. Bisa jadi, karena sebatang kapur saat itu bagi saya adalah seni pertunjukan di muka kelas. Selalu, dan selalu begitu. Ia bagai tarian yang berkisah tentang perpaduan antara peradaban, ilmu, dan seni. Liukan jari jemari terampil yang mengapitnya, meluncur seperti alur dari mula hingga akhir cerita pertunjukkan. Bunyi gesekan dari atas papan tulis dengan ujung kapur, seperti latar musik yang mengiringi setiap adegan huruf-huruf bertingkah. Sialnya, hampir setiap guru mahir menggoreskan narasi tulisan dengan huruf sambung di atas papan tulis. Seolah-olah, guru yang tak pandai menulis dengan tulisan huruf sambung sebagai sesuatu yang tabu. Seingat saya, beberapa dari ka