Langsung ke konten utama

Trainer Dadakan di Hadapan Guru Tangguh

Salah satu fungsi teknologi itu, dia hadir untuk memangkas ruang dan waktu, bukan memperlebar jarak dan mengulur-ulur waktu. Begitulah. Menjadi bahagia itu dengan berpikir memanfaatkan teknologi sederhana yang bisa membuka jendela dunia, bukan bekerja keras agar ‘unjuk punya’ teknologi paling baru dengan manfaat terbuang sia-sia. 

KEMARIN, seakan-akan saya sudah jadi trainer beneran. Berdiri di hadapan dua belas orang guru pejuang sebuah madrasah bersahaja. Saya banyak tahu madrasah ini. Saya juga tahu latar belakang kehidupan orang tua peserta didik yang menitipkan anak-anaknya di sini. Saya tahu. Ini yang membuat saya berkata dalam hati, “Guru tangguh, masih ada di sini.”

Bertemu mereka, rasanya, saya tenggelam dalam perenungan seperti kebiasaan para sofis. Meski saya hadir diundang sebagai nara sumber, hakikatnya sayalah yang belajar. Belajar lagi soal dedikasi dan pengabdian. Belajar lagi tentang spirit, bahwa akar seorang guru tak akan rapuh bila tetap berpijak di atas semboyan “digugu dan ditiru”.

Boleh jadi, madrasah ini tidak punya kesempatan mengajak jalan-jalan para guru ke tempat wisata yang mewah. Memberikan mereka tiket pesawat atau kereta api meski di kursi kelas ekonomi. Bisa menyediakan breakfast atau dinner di restoran hotel di mana mereka diinapkan. Santai sambil ngopi-ngopi di lobi hotel sambil membicarakan bagaimana strategi pembelajaran ke depan. Atau memberi mereka sangu buat belanja-belanja sambil ngobrol ringan tentang topik meningkatkan kemampuan literasi mereka yang harus terus melejit di abad 21. Rasanya tidak.

Mungkin juga belum sanggup mengirim guru-guru terbaik belajar di kampung-kampung Spanyol atau kampung China untuk lancar ngomong ‘cas cis cus’. Apalagi bisa mengongkosi untuk studi banding ke Vietnam atau Kamboja, bisa jadi sama sekali rasanya tidak. Mereka cuma ‘mikirin’, bagaimana mengajar lebih baik dari waktu ke waktu sesuai dengan sumber daya yang mereka miliki.

Kebijakan penerapan pembelajaran di rumah pada semester ganjil tahun ini, bisa jadi tidak terlalu berat bagi madrasah dengan sumber daya yang memadai. Di atas kertas, madrasah beruntung itu sudah lebih siap menghadapi dinamika penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun, bagi madrasah bersahaja, PJJ itu bak debt collector yang menggedor-gedor pintu di pagi buta setelah kemarin sore mereka sudah babak belur dari mencari jalan keluar untuk membayar honor guru yang tertunda. Dampak Covid 19 benar-benar menyumbang problem hampir semua sektor kehidupan. Bagi institusi pendidikan, dampak itu melilit dari hilir sampai ke hulu. Bagi madrasah bersahaja, Covid 19 seperti mantra yang mengancam hidup sampai ke atas genting madrasah, sampai periuk di dapur guru-gurunya.

Dasar mereka guru-guru tangguh, sadar akan sumber daya yang mereka miliki, tidak menyurutkan semangat untuk menambah kapasitas modal pengabdian mereka. Madrasah mereka boleh kecil, akan tetapi, mereka berusaha agar otak dan motivasi harus besar. Maka, bisa hadir di tengah-tengah para guru demikian itu, seperti musafir mendapatkan huma di tengah sahara untuk berteduh. Meski sekadar sharing memanfaatkan fasilitas Google untuk pembelajaran, seperti meneguk segelas air sejuk dari oase di atas pasir yang mengepul.

Sayalah yang lebih bahagia di antara kebahagiaan mereka. Saya bisa memastikan, saat saya tinggalkan, mereka sudah bisa memanfaatkan Google Form untuk membuat alat penilaian online. Bisa membuat shorten url dengan Bit.ly sebelum soal mereka kirim dengan WhatsApp dalam pembelajaran daring. Sudah bisa memanfaatkan Google Doc untuk menulis dengan kontrol penyimpanan data dan koreksi typo automatically. Memang, hanya sebatas itu yang bisa saya titipkan. Jatah waktu hanya lebih kurang empat jam untuk bicara PJJ, RPP, pemanfaatan WhatsApp dan Google Form untuk pembelajaran daring, rasanya memang terlalu minimize. Akan tetapi, wajah mereka semringah saat validasi soal online yang mereka buat, bisa diujikan melalui WhtasApp masing-masing. やった !

Ya, memang sederhana. Teknologi semacam itu mungkin sudah sangat umum bagi guru-guru literat di suatu madrasah. Jika masih ada beberapa person guru yang bisa masuk ruang kelas madrasah keren, namun belum familiar dengan teknologi tersebut, itu soal lain, soal pengecualian yang bisa hadir di mana tempat dengan segala kenaifannya.

Salah satu kenaifan itu, dan ini menggelikan, misalnya bertanya-tanya tentang nilai akademik peserta didik. Atau peserta didik berbondong-bondong, melewati lembah dan ngarai, menyeberangi sungai, mengayuh sampan membelah tepi danau, sambil membawa kertas kecil menghabiskan waktu, hanya untuk menanyakan nilai pada guru mapel. Bukankah madrasah sudah memberi fasilitas akun di mana setiap guru dan peserta didik dapat mengakses nilai mereka 24 jam nonstop? Fenomena apa ini? Apakah kiamat memang sudah sedemikian dekat?

Janganlah begitu. Salah satu fungsi teknologi itu, dia hadir untuk memangkas ruang dan waktu, bukan memperlebar jarak dan mengulur-ulur waktu. Begitulah. Menjadi bahagia itu dengan berpikir memanfaatkan teknologi sederhana yang bisa membuka jendela dunia, bukan bekerja keras agar ‘unjuk punya’ teknologi paling baru dengan manfaat terbuang sia-sia.

Tentu, kebahagiaan ini pasti dirasakan teman-teman literat yang telah memperkenalkan teknologi Google for Education pada saya. Teman literat tempat saya bertanya seputar Blog, Google Form, Google Slide,Google Classroom, Google Site, dan Google-google yang lain di madrasah tempat saya mengajar. Hari ini saya ingin sampaikan, “Hai para master teachers! Terima kasih. Sharing sudah saya salurkan lagi pada guru-guru tangguh di tempat lain. Semoga menjadi jariah ilmu, investasi yang tak akan pernah bangkrut di setiap lini masa.”

Alhamdulillah.
Depok, 11 Juli 2020

Komentar

  1. Barakallah...
    Jazakumullah khoiron katsir ustadz Abdul...
    Sejak saya di madrasah hingga kini tetap ustadz sebagai guru teladan kami.
    Insyaallah ilmu yang kami dapatkan menjadi amal jariah bagi ustadz dan keluarga. Aamiin yaa Robbal'alamiin
    Insyaallah akan kami terapkan dalam proses pembelajaran nanti.
    Jangan bosen ya ustadz kalau kami tanya2 lagi 😄🤗

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap