Langsung ke konten utama

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"


Draft "Tarawih Terakhir"
Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower.
INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan.

Mengapa Milad?

Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah payah harus mereka tinggalkan karena pecah kongsi.

Mungkin bagi sebagian orang, kisah ini tidak penting. Akan tetapi bagi saya, kisah ini teramat penting. Dan, ia tidak boleh terlalu lama dikubur lumpur sejarah. Sebab, semakin lama ia terkubur, semakin jauh ia terpendam dan semakin sulit ia digali. Lalu, ia lenyap dari peradaban persyarikatan karena sudah jauh dilupakan. Itulah takdir sejarah yang tidak dituliskan.

Draft buku ini sudah mulai ditulis pada 2017 sejak wawancara dimulai, bahan dikumpulkan, dokumen dicari ke sana ke mari, konfirmasi data, menafsirkan data, dan menyusunnya menjadi narasi. Editor buku ini menyebutnya “Novel Ilmiah”, sebab ia orang Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengantar buku ini; Fikrul Hanif Sufyan, SS., M. Hum menyebutnya “Biografi” sebab ia sejarawan muda Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Lalu, apa kata pembaca nanti? Saya tidak tahu.|

Para Pemburu Pasir

BAGI masyarakat Depok sekitar aliran sungai Ciliwung, Ciliwung bagai napas hidup mereka. Sedang bagi jamaah Langgar Isnaen khususnya, Ciliwung adalah napas jihad menggali dan mengangkut pasir.

Isnaen dan jamaah langgarnya mengambil pasir setiap hari Jum'at. ­Mereka orang-orang yang paling jarang absen memikul pasir. Habis subuh, atau ­paling lambat jam tujuh pagi, mereka sudah berangkat berjalan kaki ke pinggir kedung Ciliwung. Nanti, jika pasir sedang melimpah, jam sepuluh pagi, mereka sudah sampai di langgar kembali.

Kedung adalah lubang di tengah sungai seperti ­pusaran air. Pada waktu sungai banjir, air meluap keluar masuk kedung. Saat itulah pasir-pasir meluap ikut terbawa bersama luapan air. Pasir-pasir itu kemudian menepi. Saat itu, pasir-pasir seolah datang sendiri ke tepian sungai ­menjadi rezeki melimpah bagi Keluarga Isnaen dan jamaah langgarnya.

Kadang para pemburu pasir itu tidak sabar menunggu di tepian sungai. Mereka turun ke sungai menjaga jarak aman dari kedung buat menadah luapan pasir. Luapan pasir dengan sendirinya masuk ke dalam wadah. Kira-kira wadah sudah penuh, mereka menepi untuk memindahkan pasir ke tepian sungai. Begitu ­berulang-ulang, sampai keranjang, pengki, atau lengke untuk mengangkut pulang pasir-pasir itu penuh.

Di waktu air sungai surut, pasir-pasir mengendap di dasar kedung. Pasir menjadi langka. Jika sudah begitu, para pemburu pasir itu menggali pasir di tepian sungai dengan ­tangan-tangan mereka. Bisa dibayangkan, tangan-tangan mereka menjadi ­keriput karena air sungai. Kuku-kuku mereka menjadi rusak dan kusam karena pasir. Jika pasir tidak mereka dapat gratis karena sungai sedang kering, mereka membeli di pangkalan pasir. Asalkan mereka tidak pulang dengan tangan kosong, mereka rela membeli dari kocek sendiri berpatungan.

Ada tiga kedung yang menjadi buruan mereka; kedung Plangpo, kedung Jago, dan kedung Petir. Rute ke kedung Plangpo melewati Kampung Pitara, Kampung Baru, Kampung Belimbing, terus ke kedung Plangpo. Sedangkan jika hendak ke kedung Jago, rutenya melalui Kampung Ratu Jaya, Kampung Baru, terus ke kedung Jago.

Namun, yang sering disambangi mereka adalah kedung Petir. Letaknya dekat gereja paling tua di Depok. Untuk sampai ke kedung Petir, rute yang ditempuh Kampung Pitara, Kampung Sengon, pasar Depok Lama, kemudian ke arah Gereja tua, lalu ke Petir.

Petir dilintasi aliran sungai Ciliwung berjarak tujuh sampai delapan kilometer jauhnya dari Langgar Isnaen. Lelah dan letih, pundak yang terasa panas lalu menjadi kapalan karena memikul beban berat tidak mereka hiraukan. Begitulah, semangat jihad untuk sebuah masjid, sampai-sampai letih dan lelah bagaikan ­kesenangan ­menyambut pahala yang Allah janjikan. Pundak mereka yang kapalan seperti tanda pangkat derajat mereka di surga kelak. Semua itu seperti energi ajaib yang membuat pengki mereka yang penuh pasir menjadi terasa ­ringan. Begitulah apabila motivasi beramal hanya mengharap rida Allah, semua bisa dilewati tanpa beban.

Setiap Jum'at mereka berangkat ke Petir. ­Jalan kaki! Pulang pundak memikul pasir! Dan, baru berakhir saat masjid sudah berdiri.

Tentu, jalan kampung yang dilewati sampai ke kedung waktu itu belumlah seperti sekarang yang sudah beraspal, dan mulus. Semuanya masih berupa jalan tanah, sempit, becek, dan licin di kala musim penghujan, penuh rimbunan semak di kiri-kanan jalan, sepi karena jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain masih jauh dan jarang, dan tentu masih banyak hutan.

Pendek kata, perjuangan menggali, mengumpulkan, dan memikul pasir dari sungai Ciliwung merupakan sebuah ­pengorbanan berat yang sukar dinilai saat ini. ­Hanya mereka orang-orang yang punya semangat juang yang mau melakukannya.

Sementara, mereka yang tidak punya ruh jihad, lebih memilih diam berpangku tangan sambil menonton, atau menyingkir ­tidak mau tahu seperti apa rasanya kepayahan memikul, jari-jari tangan yang keriput, kuku-kuku yang menghitam, kusam, dan rusak, serta pundak-pundak yang menjadi kapalan.

Adapun para pejuang itu, apakah mereka merasakan putus asa dan menyerah? Tidak!

Mereka sadar, merekalah yang harus berbuat. ­Merekalah yang harus mengukir sejarah. Merekalah yang harus mewujudkan cita-cita memiliki masjid itu meskipun ­biaya, tenaga, ­keringat, dan pundak-pundak mereka sebagai ­bantalan pasir-pasir itu berpindah dari Ciliwung ke langgar leluhur ­mereka menjadi taruhan. Mereka memaknai perjuangan memikul dengan gembira seakan pasir-pasir itu bahan material untuk membangun rumah-rumah ­mereka sendiri di surga.

Begitulah, pasir Ciliwung menjadi kekuatan, semacam ­energi yang membakar niat memiliki masjid tidak pernah ­padam. ­Seperti sifatnya, pasir memang memiliki kekuatan, menjadi elemen perekat bersama semen, kapur, dan batu membentuk tembok yang kokoh, menara yang menjulang, dan lantai yang sejuk.

Lalu, siapa para pejuang penggali pasir itu?|

Tarawih Terakhir

MAKA pada malam kedua Ramadan itu, apa yang ­kemudian terjadi, terjadilah. Tangan-tangan yang bersih dari bekas Pasir Ciliwung itu, tubuh-tubuh yang tidak merasakan dinginnya air ­sungai saat saudara-saudara mereka berendam di kedung Ciliwung menadah pasir itu, tangan-tangan yang tidak merasakan terkelupas oleh ­kerasnya batu Gunung Kapuran itu, tapak-tapak kaki dan betis yang tidak merasakan meluang berjalan berkilo-kilo itu, dan pundak-pundak yang tidak kapalan karena ditindih ­pikulan ­pengki, keranjang, atau lengke, menduduki tempat imam ­tarawih pada malam kedua.

Itulah Tarawih Terakhir.

Keluarga Isnaen dan orang-orang yang merasakan dinginnya air Ciliwung saat ­mengambil pasir harus angkat kaki.
Adakah air mata?
Adakah perlawanan?
Adakah penyesalan?
Adakah dendam?
Lalu, apa yang tersisa?
Tidak!
Yang tersisa adalah perjuangan baru, membuka ladang amal baru, dan membangun jalan ke surga yang baru. Akan tetapi, gesekan-gesekan perjuangan baru, makin berat tantangannya.|

Jangan Sangka

NAMUN, jangan sangka air mata tidak ­mengalir. Ia mengalir, deras mengalir, tapi hanya di dalam jiwa. Jangan sangka tidak ada isak tangis melengking. Ada, tapi diredam di dalam dada. ­Jangan sangka tidak ada keluh-kesah. Ada, tapi ditelan sendiri di alam sepi. ­Jangan pula disangka tidak ada gejolak kecewa yang menggunung. Ada, tapi dirasai sendiri-sendiri.

Catatlah! Air mata itu, isak tangis itu, keluh-kesah itu, dan gejolak kecewa itu, tidak mereka jadikan mesiu untuk membakar persaudaraan. Tidak, karena tak seorang pun yang beruntung bila sudah terperosok pada medan “Menang jadi arang, kalah jadi abu.”

Tunggu kisah lengkapnya dalam “Tarawih terakhir”, persembahan untuk mujahid penggali pasir dari saya kepada pembaca.

Salam ukhuwah.

Komentar

  1. Yaa Allaah....
    Sedih.... jadi ingat Baba yg sewaktu hidup suka cerita gimana rasanya waktu jadi salah satu penggali pasir itu.... semoga Allah tempatkan beliau dan para mujahid penggali pasir itu di taman surganya...
    Aamiin... Allaahumma Aamiin....

    BalasHapus
  2. Eva Rahmawati Mang Ustadz...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap