Langsung ke konten utama

“BAU” SUMANTO DALAM KEKERASAN SEKSUAL


“Bau” Sumanto? Memang, Sumanto bau apa?

Sabar. Pelan-pelan saya jelaskan. Pertama, Sumanto di sini bukan Sumanto pemakan mayat. Ini Sumanto lain. Ini Sumanto “intelek”. Kedua, tentang “Bau”. Ini bukan bau keringat, bau iler, atau bau kentut Sumanto. Akan tetapi, “Bau Pemikiran” Sumanto. Ketiga, kekerasan seksual. Apa Sumanto melakukan kekerasan seksual? Enggak. Jangan salah sangka dulu. Bahkan Sumanto bukan hanya demokratis soal seksual, bahkan cenderung liberal. Karena itu, dia tidak mungkin melakukan kekerasan dimaksud.

Terus, maksud bau di sini apa? Maksudnya, ada bau-bau pemikiran Sumanto tentang kekerasan seksual dalam Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021.

Permendikbudristek

Akhir-akhir ini, sedang ramai dibicarakan Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permen ini dipermasalahkan sejumlah pihak karena dianggap bermasalah. Titik krusial yang dipersoalkan salah satunya pasal 5 ayat 2 huruf L dan M. Pada pasal itu dinyatakan:

(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

L. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
M. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Ormas besar seperti Muhammadiyah pun bereaksi. Ormas Islam yang pada bulan November ini akan genap berusia 109 tahun meminta agar Permendikbud Ristek No 30 itu dicabut (argumentasi Muhammadiyah dapat dilihat pada situs resmi Muhammadiyah di https://muhammadiyah.or.id/muhammadiyah-komitmen-lawan-kekerasan-seksual-penolakan-permendikbud-30-murni-karena-substansi/). Demikian pula MUI melakukan tuntutan yang sama.

Membaca pasal 5 ayat 2 pada Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021 itu, orang awam pun bertanya-tanya, “Apakah jika Korban setuju, maka hal tersebut diperbolehkan dalam pergaulan mahasiswa dan mahasiswi di kampus-kampus Indonesia, Pak Menteri?” Nah?

Bagi para cendekia yang pikirannya masih lurus, pasal ini bermasalah. Di mana masalahnya? Dalam bahasa mereka, Permendikbudristek No. 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Karenanya harus ditinjau ulang.

Jika Muhammadiyah bersikap tegas meminta Permendikbud 30 itu dicabut, tentu hal yang wajar. Ada 166 Perguruan Tinggi dimiliki organisasi ini. Beberapa kampus Muhammadiyah bahkan diakui dalam skala internasional. Di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah itu, Muhammadiyah memiliki komitmen menghindarkan mahasiswa dari seks bebas dan berbagai turunannya yang dimasukkan dalam kerangka kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Karena itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah bebas dari relasi seksual yang haram, yang tidak sejalan dengan ajaran Islam di luar framework rumah tangga atau pernikahan.

KH. Cholil Nafis dari MUI menyebut, Permendikbud 30 itu bermasalah. Pada akun twitternya, beliau menulis, “Permendikbudristek No. 30 thn pasal 5 ayat 2 ttg kekerasan seksual memang bermasalah karena tolokukurnya persetujuan (consent) korban. Padahal kejahatan seksual menurut norma Pancasila adlh agama atau kepercayaan. Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi krn dihalalkan.”

Berbeda dengan Muhammadiyah dan MUI, Permen ini mendapat dukungan Kementerian Agama. Kebijakan Kemendikbud-Ristek terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi diaminkan Yaqut Cholil Qoumas. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahkan mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), seperti yang dilansir berita online www.merdeka.com. Menag pun meminta Permendikbud Kekerasan Seksual tidak dimaknai keluar konteks.

Penejelasan Kemendikbudristek

Kemendikbudristek, pihak yang berwenang atas keluarnya Permendikbudristek no. 30 itu menyampaikan penjelasan. Nizam, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) membantah anggapan yang mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi dapat melegalkan praktik seks bebas di kampus. Nizam mengatakan anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. Menurut Nizam dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (9/11/2021), tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan'.

Nizam mengatakan, salah satu sebab lahirnya aturan itu karena adanya beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi.

Oleh karena itu, kehadiran Permendikbudristek PPKS menurut Nizam merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan. PPKS dirancang untuk membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual; menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permen PPKS ini; dan mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya.

Penjelasan Nizam terkait PPKS ini tampak cukup komprehensif. Masalahnya, saat pertanyaan dilontarkan soal pasal 5 ayat 2 itu, tidak dijelaskan secara detail. Frasa “ tanpa persetujuan Korban” bisa menjadi senjata yang digunakan pelaku seks bebas di kampus dengan alasan perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Maka, apabila berbicara konteks pencegahan, maka pencegahan itu harus pula mencakup frasa dalam aturan yang sangat mungkin disalahtafsirkan karena maknanya ambigu.

Maka bisa dipahami salah satu kritik Muhammadiyah berangkat dari frasa itu. Frasa "tanpa persetujuan korban" mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada "persetujuan korban (consent)".

Sumanto dan Pemikiran Kekerasan Seksual

Sekarang beralih ke Sumanto. Asumsi saya, ada bau-bau Sumanto di sana. Sumanto Al Qurtuby PhD, Associate Professor of Anthropology–seterusnya saya tulis namanya dengan Profesor–, Profesor antropologi dan sosiologi di King Fahd University, Arab Saudi. Jelas, ya. Ini bukan orang biasa seperti kita. Pemikirannya pun tidak biasa, tidak seperti kebanyakan orang. Karena itu, bisa jadi, orang-orang biasa tidak akan sanggup memahami pemikirannya.

Salah satu pemikirannya yang tidak biasa itu adalah tentang kekerasan seksual. Silakan buka situsnya terkait topik ini di https://sumantoalqurtuby.com/seksualitas-dan-moralitas/. Di sana Anda akan bisa melihat dan menyelami dengan biji mata dan mata hati telanjang. Setelah itu, silahkan nilai sendiri. Bisa jadi, penilaian Anda berbeda dengan saya.

Dalam situsnya, Profesor ini menguraikan sejarah seksual, khas uraian seorang antropolog. Di akhir-akhir uraiannya, barulah ia memuntahkan pemikirannya. Entah pemikirannya ini orisinal, atau mengekor pendapat Profesor lain, hanya sang Profesor yang tahu.

Berikut:
Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan—seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an—telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek “seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.
Bagaimana?

Ini lagi:
Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin—seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi—itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain.
Bagaimana?

Lanjut:
Agama semestinya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…” (Dosa tidak pernah datang dari bawah; dari daging, tetapi dari atas, dari roh. Kejatuhan pertama terjadi di dunia malaikat roh murni).
Sampai di sini, bila Anda puyeng membaca pemikiran sang Profesor, sudah, berhenti saja membaca. Jangan diteruskan. Tapi jika ingin tuntas dan penasaran, lanjutkan.

Ini lagi:
Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa sebetulnya adalah hal-hal yang terkait dengan sosial-kemanusiaan bukan ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan “berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik atau non fisik) atas pasangan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut “pemerkosaan”. Kata ini tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga tetapi juga di dalam rumah tangga itu sendiri.
Nah, sampai di sini, apakah Anda sudah mencium bau-bau pemikiran sang Profesor pada pasal 5 Permendikbudristek No. 30? Kalau belum, mungkin aromanya memang belum menyengat.

Teruskan:
Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita-wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks?

Jika politisi biasa “menjual kebohongan” lewat mulut mereka supaya bisa tetap eksis di dunia politik, atau seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau penghotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi yang “menjual” suara atau bahkan pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka? Kenapa mereka hanya mempermasalahkan “mereka” bukan “mereka”?
Beginilah menurut sang Profesor soal seks. Dengan sangat vulgar ia menjelaskan kriteria seks pemerkosaan dan seks atas dasar suka sama suka. Bagi saya, aromanya sangat kuat pada hidangan pasal 5 Permendibudritsek No. 30. Akan tetapi sekali lagi, ini berdasar penciuman hidung saya. Yang jelas, sang Profesor sudah lebih dahulu melontarkan pemikirannya itu sebelum Permendibudritsek No. 30 ramai dipermasalahkan.

Apakah Permendibudritsek No. 30 menyontek ide sang Profesor?

Tak ada yang tahu siapa menyontek siapa, kecuali para perumus Permen itu. Pemikiran sang Profesor menyontek siapa, pun hanya dia yang tahu, meskipun indikasi dia mengutip tercium juga baunya. Pertama, soal hubungan dosa dan daging, ini mirip dengan Galatia 5:16-25:

Hidup menurut daging atau Roh
5:16 Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. 5:17 Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging --karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. 5:18 Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. 5:19 Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, 5:20 penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, 5:21 kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. 5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahteran, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, 5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. 5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. 5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.
Kedua, tentu Paul Evdokimov dan bukunya The Struggle with God yang dikutip Profesor yang menurutnya kata-kata Evdokimov indah dan menarik: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”

Begitulah. Selebihnya, terserah Anda menilai.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.

Jum’ah penuh berkah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap