Dr. H. Sutrisno Muslimin (Ketua KPH Bakti Mulya 400) Rocky Gerung, Prof. Yudi Latif, Ph. D, dan Balques Manisang pada sesi berfoto usai acara Diskusi Panel. Foto milik Akun Instgarm Bakti Mulya 400.
Jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.
Kejutan di Pagi Hari
“Saya ingin guru saya pintar-pintar. Guru saya terus bertumbuh. Mindset-nya tidak tetap, tidak fixed mindset, tapi growth mindset. … guru-guru saya kelihatan agak fresh hari ini. Karena hari ini, kita juga akan kasih gaji ke-15.” Sutrisno Muslimin, KPH BM 400.
Saya mengenal baik Sutrisno Muslimin, pemikiran, dan filosofi hidupnya. Maka, saat keinginan memiliki guru-guru pintar disampaikannya saat membuka Seminar Nasional dan Diskusi Panel bertajuk: "Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah” Kamis, 10 Juli di BM 400, Cibubur, saya sudah tidak terlalu terkejut. Juga soal “gaji ke-15” itu.
Gaji ke-15 itu informasi di pagi yang cerah seperti ini sangat “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” sebagai konteks apresiasi. Guru mana yang tidak semringah? Wahai guru BM 400, “Maka nikmat-nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian dustakan?” Ahahahah.
Atmosfer “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” yang ditebar Sutrisno itu semacam kedermawanan manusiawi. Ini filosofi bahagia untuk mencerna topik berat semisal SDGs (Sustainable Development Goals) yang dihubungkan dengan kurikulum. Jadi, seberat apa pun topik yang dibicarakan, asalkan ia dimulai dengan kegembiraan, beda hasilnya apabila memulai topik dengan hati kusut masai dan wajah muram meskipun topik yang dibicarakan seringan kerupuk kulit.
Sebagai peserta tamu pada diskusi ini, saya juga semringah. Sebentar setelah acara dibuka, Rocky Gerung dan Yudi Latif pasti akan menyajikan menu growth mindset. Sebagai tamu, ini nutrisi otak buat saya, “otak ke-15” yang saya inginkan terus bertumbuh.
“Tidak ada sekolah hebat, bila tidak diisi guru-guru hebat.” Sutrisno mengatakan itu di podium kehormatan saat dia membuka acara. Dihadirkannya Rocky Gerung dan Yudi Latif, itu jalan ikhtiar agar sapaan “guru hebat” itu punya nilai karena otak diberi nutrisi yang cukup. Jadi, “guru hebat” itu bukan sekadar sapaan basa-basi yang tidak punya korelasi dengan ikhtiarnya.
Sungai Vertikal Rocky Gerung
Balques Manisang, Host TV One sang moderator membuka acara dengan salam. Ow, rupanya Balques itu lulusan Universitas Islam Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi. Mengertilah saya, pantas salamnya fasih. Jurnalis ini dikenal sebagai reporter yang kritis dan berani dalam menyuarakan kebenaran. Diskusi panel ini jadi seperti perpaduan host, narasumber, dan topik panel yang presisi rasanya.
Rocky Gerung langsung menghentak nalar pada menit pertama bicara. “Jadi sebetulnya, menjadi guru artinya, menuntun negeri ini untuk tiba pada janji Proklamasi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru diberi beban itu oleh founding parents kita,” tegas Rocky.
Rocky lalu mengutip buku Yudi Latif yang memberi dasar filosofis soal ini: Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jadi menurut Rocky lagi, “tak ada keparipurnaan negara tanpa ada peran guru. Negara menjadi paripurna kalau di dalamnya ada kegiatan berpikir. Jadi kita terhubung dengan sejarah pendirian bangsa kita. Bung Karno adalah guru, Panglima Soedirman adalah guru, Bung Hatta adalah guru, Natsir adalah guru, Buya Hamka adalah guru, Sutan Sjahrir adalah guru. Jadi, keguruan itu sebetulnya fondasi epistemik dari negeri ini.” Begitu kata Rocky.
Bukan Rocky bila tidak membuat otak ini bergelombang. Filsuf dan Pengamat Sosial-Politik ini membagi pikirannya supaya orang ikut mikir problem yang dia sodorkan. Dibukalah hasil riset di Eropa oleh Rocky bahwa pendidikan di Indonesia hari ini berada pada status berbahaya. Karena dosen memplagiasi, karena dosen bermain, karena artikel bodong dipaksa masuk ke jurnal-jurnal predator—jurnal ilmiah yang memprioritaskan keuntungan finansial di atas kualitas penelitian. Jadi terlihat, bahwa ada jarak moral antara apa yang pernah dibayangkan oleh the founding parents dahulu, dengan yang dilaksanakan sistem pendidikan kita hari ini. Ini problem besar. Siapa yang bertanggung jawab pada kemandegan berpikir ini.
Begitulah Rocky. Dia tajam menyorot soal kemandegan berpikir ini dengan analogi: “jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.” APBN dihabiskan untuk selesaikan tol, sementara kurikulum dibiarkan terlantar. Karena itu katanya perlu ada upaya untuk menghasilkan Indonesia kembali berpikir.
Rocky menyebut, setiap hari kita dilibatkan dengan kurikulum tanpa paham bahwa dunia sedang menagih kurikulum baru yang namanya environmental ethics, environmental logic supaya kita bisa cum island SDGs. Namun, pemerintah berupaya mem-playtener SDGs padahal sebetulnya mereka sudah gagal dari awal.
Karena hal yang paling strategis dari SDGs adalah memelihara konservasi lingkungan yang dua dekade diucapkan sebagai “New Kind of Revere”—orang yang menghormati alam bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan nyata—di dalam kurikulum dunia. Akan tetapi, Rocky menyayangkan anak Indonesia, peneliti Indonesia, dosen Indonesia, pejabat Indonesia, menteri Indonesia, saat tiba di seminar-seminar global baik Asia dan Eropa, mereka “be do not speak environmental ethics” padahal karena grammer pengetahuan.
Otak saya mulai terang saat Rocky mempertegas paparannya yang terlalu filosofis serta kekayaan diksi yang seolah tidak ada habis-habisnya dia lontarkan dengan dunia sekolah. Rocky berkata, sangat bagus bila sekolah mengucapkan kepedulian lingkungan di kelas-kelas maupun di halaman sekolah sebagai bentuk kurikulum environmental ethics, environmental logic.
Rocky melansir kebijakan hijau yang digagas Kapolda Riau sebagai perbandingan. Dia tahu persis dan terlibat soal ini. Bayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir, hutan di Riau tinggal 60 persen, sekarang tinggal 12 persen. Ini terjadi karena persoalan pengabaian environmental ethics, environmental logic. Di hulu pohon ditebang, di hilirnya para komisaris menikmati keuntungan dari proyek hilirisasi tambang. Hulu sungai ibarat sarang bagi-bagi rezeki segelintir orang tanpa paham apa itu environmental ethics, environmental logic.
Rocky menyinggung kasus ekstrem yang dialami Nauru. Tahun 2000 kata Rocky, Nauru masih menjadi negara terkaya di dunia karena kandungan kekayaan fosfat berlimpah yang dieksploitasi secara besar-besaran. Tapi, dalam dua dekade, Nauru menjadi negara bagkrut, menjadi negara paling miskin di dunia, dikirim makanan oleh PBB. Tanahnya rusak akibat eksploitasi sebab pemimpinnya tidak mampu berpikir ekologis. Indonesia punya potensi itu kalau pemimpinnya tidak punya kualitas leader, kalau pemimpinnya kualitas dealer.
Satu poin yang juga menghentak dari Rocky Gerung soal kurikulum yang berpihak pada etika lingkungan ketika dia mendefinisikan sungai versi kurikulum lama. Dalam kurikulum lama, sungai diartikan sebagai air yang mengalir dari hulu ke laut. Tapi hari ini, sungai yang tiba di muara adalah sisa-sisa dari sungai vertikal. Rocky melihat pohon itu sebagai sungai. Setiap satu batang pohon adalah sungai vertikal. Ini definisi sungai dengan cara berpikir ekologis.
Bagaimana bisa?
Dalam satu batang pohon, di dalamnya ada pembuluh kapiler. Oleh matahari, dipanggil tiba di daun melalui proses fotosintesis. Maka, terbentuklah klorofil atau zat hijau daun. Ditimbunlah di situ karbohidrat. Diuapkan pada malam hari menjadi karbon dioksida (CO2). Dan disejukkan di pagi hari karena pohon memproduksi oksigen (O2). Jadi, kita ajarkan kepada anak, bahwa konsep lama tentang sungai itu sudah berubah. Sekarang, setiap pohon adalah sungai, maka menebang pohon artinya mengotori sungai. Jauh betul lompatan logikanya. Tapi, itulah yang kita sebut do think the unthinkable yang tidak pernah terpikir kebanyakan orang.
Konsep-konsep seperti inilah yang dipertandingkan pada seminar-seminar internasional, soal lingkungan. Indonesia sibuk dengan hilirisasi. Rocky cerita ketika ditanya seorang mahasiswa saat dia memberikan kuliah di Warsaw, Warsawa, Polandia. Mahasiswa itu tahu bahwa hari ini Indonesia sedang mengupayakan proses nilai tambang. Artinya, musti ada energi bersih. Akan tetapi, pertanyaan ekologisnya adalah, proses hilirisasi itu di hulunya berkumpul para komisaris yang bagi-bagi rezeki tanpa paham apa itu etika lingkungan. Hak pengelolaan hutan dan tambang hanya diberikan kepada beberapa gelintir orang dari oligarki. Hutan di Riau yang tinggal 12 persen itu menjadi contoh jalan pikiran Rocky bahwa etika lingkungan diabaikan atas nama hilirisasi.
Terlalu padat poin yang disampaikan Rocky Gerung pada sesinya. Terlalu filosofis juga uraiannya sehingga agak payah saya mencerna. Pada bagian yang terlalu filosofis itu saya skip pada tulisan ini namun tidak mengurangi kekayaan pesan dari awal hingga akhir Rocky bicara. Saya cukupkan pada statement akhir Rocky tentang apa yang mesti dibekalkan pada anak-anak didik kita supaya suatu waktu mereka akan katakan “now to can talk BM 400 do speak environmental ethics.”
Tatal Kayu Prof. Yudi Latif, Ph.D
![]() |
Melontarkan pertanyaan mumpung narsumbernya berkelas. Bertanya itu penting, jarang bertanya kecuali kepada narasumber berkelas itu pilihan. Foto milik Anisa Muthi. |
Di awal sesi, Prof. Yudi Latif berangkat dari mengutip pendapat Hatta yang mengulas hubungan pendidikan dan kebudayaan. Khas akademisi, penerima Nabil Award dari Yayasan Nation Building pada 2012 ini memulai sesi dengan definisi. Akademisi ini berusaha menyatukan tema etika lingkungan dengan kurikulum deep learning, kebijakan keberlanjutan di sekolah, budaya, dan filsafat pendidikan.
Pendidikan dimaknai Yudi sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup. Jadi, pendidikan bicara tentang bagaimana proses memanusia. Apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri itu adalah proses pembudayaan. Di sinilah bedanya pendidikan dan pengajaran. Pengajaran lebih mengarah kepada kognitif atau skill.
Bila hewan umumnya belajar melalui nature (insting), belajarnya manusia tidak hanya lewat insting, tapi by nature, dengan budaya. Jadi cara manusia belajar dari kehidupan itu dimediasikan dengan kebudayaan dan juga mereproduksi kebudayaan. Oleh karena itu, setiap kita mulai belajar tentang kurikulum pendidikan, pada hakikatnya mencari tahu tentang yang koheren antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan kebudayaan, manusia bisa memaknai sesuatu atau membuat sesuatu itu bermakna. Tanpa kebudayaan, hidup akan meaningless. Maka, pendidikan menjadi jembatan agar hidup manusia itu punya makna, punya budaya.
Sistem makna ini biasanya diungkapkan dalam nilai. Pertama manusia harus tahu nilai etis, soal mana yang baik mana yang buruk. Kedua, manusia harus tahu nilai ilmiah atau nilai logis, yakni soal mana yang benar mana yang salah. Ketiga, manusia juga harus tahu nilai estetis, soal mana yang pantas mana yang tidak pantas. Keempat, manusia juga harus tahu nilai pragmatis, soal maslahat dan mudharat. Pada dasarnya, pendidikan harus mengajarkan manusia nilai-nilai—etis, logis, estetis, dan nilai pragmatis—itu.
Yudi Latif menyebut empat nilai-nilai di atas sebagai empat kelopak bunga dengan satu tangkai. Tangkai dari semua nilai itu namanya spiritualitas. Yudi Latif mengaitkannya dengan mazhab Eduard Spranger yang menyatakan apa pun yang tampak dari peradaban kita—peradaban itu korup atau tidak, merusak lingkungan atau tidak—itu jelas-jelas cerminan dari jiwa budaya kita. Dan, inti dari jiwa budaya kita adalah nilai-nilai spiritual. Sementara Arnold Toynbee yang juga dikutip Yudi latif budaya itu berlapis-lapis. Lapisan paling luarnya adalah sain dan teknologi, di dalamnya lagi estetika, di dalamnya lagi etika, paling dalam lagi adalah visi spiritual.
Jalan berpikir ini sesuai dengan jalan berpikir filsafat think. Jadi, apa yang disebut sebagai berpikir, reasoning, nalar, itu sebenarnya hanya aspek paling permukaan dari kesadaran (uppermind). Di bawahnya ada kesadaran yang lebih mendalam yang disebut citta. Citta berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kekuatan yang tumbuh dari dalam. Dalam istilah Islam, kekuatan terdalam itu namanya dzauq, qlabu. Qalbu itu instrumennya, dzauq itu epistemologinya, cara memperolehnya. Jadi, ada jenis pengetahuan didasarkan pada kemampuan mengakses inti terdalam dan daya intuitif. Dengan kemampuan spiritual manusia bisa melihat kebenaran seperti kristal.
Kekuatan-kekuatan daya spiritual ini biasanya diolah oleh kekuatan-kekuatan meditatif, riyadhoh atau latihan-latihan spiritual yang mengantarkan kita bisa menemukan semacam pancaran cahaya yang tadinya gelap tiba-tiba menjadi menyala. Biasanya daya spiritual ini membuat orang mampu memobilisasi energi rohani, membangun daya harmoni, dan membangun relasi kita dengan kosmos yang damai. Pancaran spiritual ini yang men-drive energi kreatif orang, harmoninya, dan daya hidupnya.
Ekspresi spiritual ini diarahkan pada tiga hubungan harmoni: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas ini yang ilahi, dunia tengah ini yang insani, dunia bawah ini alam semesta. Dalam konsep Islam ini yang disebut hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam. Yang ketiga ini sering dilupakan, padahal Islam sangat menekankan relasi harmoni dengan alam. Dalam konteks ibadah haji misalnya, setelah memakai kain ihram ada larangan membunuh binatang dan menebang pohon.
Dalam konteks ini, Yudi Latif mengutip Al-Qur’an surah Al-An’am [4] : 38 sebagai kaitan term komunitas umat yang makna sebenarnya sebagai satu totalitas makhluk hidup. "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu." Dalam konteks Indonesia dan Pancasila, tiga domain ini diwakili sila pertama tentang Ketuhanan, sila kedua Kemanusiaan, dan sila ketiga Persatuan; persatuan manusia dengan tanah airnya. Ketiga sila ini punya relasional yang kuat.
Hari ini, berbagai lembaga bisnis dan lembaga pendidikan mengajarkan Mindfulness —keadaan pikiran yang muncul dari perhatian yang disengaja, saat ini, dan tanpa penilaian. Ini adalah kemampuan untuk hadir sepenuhnya, menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar dan dalam diri kita pada saat ini. Coba sekali-kali saat mengajarkan berdoa kepada anak-anak bukan hanya doa’ yang dizahirkan, tapi masuk dalam ritme detak jantung dan berdoa dalam hening. Yudi Latif menyebut teknik hening cipta. Hening cipta merupakan instrumen untuk menjangkau aspek intuitif yang paling dalam yang akan memancarkan daya spiritual.
Maka sepanjang sejarah pendidikan, lima nilai-nilai: etis, logis, estetis, pragmatis, dan nilai spiritual lah yang konstanta diajarkan. Dan, namanya pendidikan itu seperti filosofi pohon, seperti ilustrasi dalam Qur’an surat Ibrahim ayat 24. Sebaik-baik manusia itu seperti pohon yang baik. Pohon yang baik itu akarnya kuat menghujam dalam, batangnya menjulang tinggi, kemudian berbuah sepanjang tahun.
Dalam konteks pendidikan, Yudi Latif menggambarkannya sebagai pohon pendidikan. Akarnya itu adalah karakter. Pendidikan tahap awal seperti PAUD seharusnya hanya belajar dasar-dasar menjadi manusia baik; seperti menghormati orang lain, mengapresiasi, membuang sampah pada tempatnya, dan belajar mandiri. Pada tingkat SD anak belajar dasar-dasar menjadi manusia pembelajar; seperti menulis, membaca, menghitung, menutur yang terkoneksi dengan nilai-nilai karakter. Lalu pada tingkat menengah belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sifatnya lebih generik memaparkan berbagai jenis ilmu pengetahuan dasar. Barulah masuk pada perguruan tinggi belajar menjadi manusia berwawasan generalis yang memiliki keahlian spesifik.
Akar pohon itu adalah nilai-nilai karakter, cabang dan rantingnya adalah keterampilan, skill, dan tata kelola, dahan yang rindang adalah kolaborasi-kolaborasi, barulah yang disebut buahanya itu adalah kreativitas dan inovasi. Maka, pendidikan itu menyasar manusia berkumpul dengan karakter, berkumpul dengan pengetahuan, berkumpul dengan skill. Inilah manusia yang harus dibangun dengan kurikulum apa pun.
Deep learning di mata Yudi Latif itu satu pembelajaran yang memberikan kajian pada proses. Setiap orang itu punya potensi dasarnya, punya moral perbes dalam hidupnya, punya passion-nya masing-masing, dan proses itu harus dihargai. Oleh karena itu, tidak semua hasil proses belajar harus diukur dengan skor yang anehnya di sekolah disebut nilai. Nanti, ada hal yang kontradiktif antara konsep deep learning dengan soal ujian berbasis multiple choice dan hasil asesmen dalam bentuk skor yang tidak mengukur secara utuh nilai estetis, nilai etis, dan nilai spiritual.
Paparan panel dari Yudi Latif saya akhiri dengan contoh yang dilontarkannya saat dahulu mendampingi anaknya sekolah di Australia. Ini tentang kurikulum berkelanjutan dan pembelajaran berwawasan ekologis. Ada pohon besar yang sudah tua. Sudah lama pohon ini mengayomi lingkungan di dekat sekolah. Saatnya tiba ia harus ditebang karena faktor usia. Dikhawatirkan apabila ada angin kencang, ia tumbang dan membahayakan nyawa banyak orang.
Di Australia, menebang pohon tidak seperti pembalak hutan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Tidak memedulikan environmental ethics dan environmental logic seperti yang diusungkan Rocky Gerung. Bayangkan, setelah pohon itu ditebang, anak-anak sekolah diajak hadir di pokok pohon. Mereka mengelilingi pokok pohon yang sudah tumbang itu. Mereka dituntun menyampaikan selamat jalan secara simbolik pada “sungai vertikal”yang selama ini telah setia menyuplai oksigen kepada mereka.
Tidak sampai di situ, setiap anak diberi beberapa tatal (pecahan kayu pohon) dibungkus tisu untuk dibawa pulang dan mereka menyimpannya di rumah. Apa maksudnya? Untuk menyambungkan jiwa anak agar mereka terus tersambung dengan pohon yang sudah berjasa itu pada kehidupan mereka meski sekarang pohon itu sudah tiada. Bukankah ini bentuk environmental ethics dan environmental logic pada lingkungan berkelanjutan yang paling dasar?
Saya kehabisan argumen untuk mendalilkan bahwa Rocky Gerung dan Prof. Yudi Latif, Ph.D membawakan panel ini luar bisa menarik. Tapi, harus jujur saya akui, paparan keduanya masih sangat filosofis buat saya. Butuh waktu jeda mencerna apa yang mereka paparkan untuk diterjemahkan pada tataran praksis. Akan tetapi, boleh jadi bagi Insan BM 400, Bung Rocky dan Yudi Latif sekadar menguatkan cita-cita pendidikan mereka yang sudah melompati batas pendidikan di Indonesia yang terlalu mainstream.
Tengkyu Pak Tris dan BM 400.
Depok, 12 Juli 2025.
Sabtu yang penat bersama flu yang belum mereda.
0 Comments
Posting Komentar