Saya dan Tim Penyelaras E-Modul MTs. Pembangunan Jakarta di Grand Zuri, BSD City. Foto milik Fauzan Salmanto. |
Schooling without learning is a terrible waste of precious resources and of human potential" – The South Asian paradox. International Journal of Educational Development. Volume 103 2023, 102904.
Pada 2 sampai 4 Juli kemarin, berkesempatan menyerap paparan dari Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas, M.Pd. Bu Rizqa —panggilan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dalam kesehariannya— termasuk salah seorang dari Tim penyusun Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua yang digagas Mendiknas, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M. Ed. Bu Rizqa ada banyak mengulas soal deep learning. Untuk ini, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Fauzan, M.A. Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencantumkan saya sebagai peserta pelatihan.
Terima kasih ini bukan sekadar soal menikmati fasilitas di Grand Zuri. Atau, distingsi hotel di BSD ini yang menyediakan menu mie instan rebus atau goreng yang jarang ditemui di hotel-hotel lain. Pak Fauzan membisiki saya, hanya di hotel ini ada menu model begini, katanya. Ah, sebagai penyuka mie, saya ingin mencoba. Dan, hmmmm, rasanya sama dengan buatan istri saya di rumah, hanya beda kelas saja. 😂
Sejak masih di Grand Zuri menyimak paparan Bu Rizqa, saya teringat pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan. Seperti ada benang merah yang menghubungkan pemikiran pendiri Muhammadiyah itu dengan Michael Fullan dan Pak Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini. Saya katakan demikian, sepanjang membaca literatur Kiai Dahlan dan pemikirannya tentang pendidikan, serpihan jejak konsep deep learning bisa dijumpai di beberapa sumber. Memang tidak sama persis dan presisi, tapi spiritnya sangat jelas terbaca.
Sutrisno Kutoyo misalnya, dalam bukunya Kiai Haji Ahmad Dahlan pada halaman 69 memuat cita-cita Kiai Dahlan. Ditulis di sana, melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan ingin “Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam, memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam bagi seluruh anggota-anggota.” Begitu bunyinya. Diksi “menggembirakan” yang dipilih Kiai Dahlan, serupa dengan “joyful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas. Ini serpihan yang pertama.
Serpihan kedua bisa dijumpai dari kasus “Al-Maun” yang merekam protes Soedja', santri Kiai Dahlan. Kisah ini begitu populer di kalangan orang Muhammadiyah. Farid Setiawan, dalam bukunya Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942 pada halaman 269-270 ada merekam dialog santri Sodja’ dan Kiai Dahlan soal “Al-Maun” ini.
"Kiai, mengapa hanya QS. Al-Ma'un yang diajarkan pada kami?" protes Soedja'. Terjadilah dialog singkat antara kiai dan santrinya berikut ini:
"Apa kamu sudah mengerti betul?" tanya Kiai Dahlan kepada Soedja'.
"Kita sudah hafal semua, Kiai," jawab Soedja'.
"Kalau sudah hafal, apa sudah kamu amalkan?" tanya Kiai Dahlan.
"Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Ma'un pun berulang kali kami baca untuk rangkapan Fatihah di kala kami solat?” Jawab Soedja'.
"Bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu, mulai pagi ini saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa pulang ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan-minum dan tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga, pengajian saya tutup dan saudara-saudara melaksanakan petunjuk-petunjuk saya tadi."
Sekiranya saya tidak salah memahami tujuan dan pesan dari dialog Kiai Dahlan di atas, rasanya ia serupa dengan “mindful learning” dan “meaningful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas juga. Dengan dua serpihan ini, sampailah saya pada satu kesimpulan bahwa sejak awal Kiai Dahlan sudah mewacanakan deep learning kepada santrinya dan pada pendidikan Muhammadiyah yang digagasnya meskipun tidak dinyatakan sebagai deep learning secara eksplisit.
Maka, menjadi tidak mengejutkan bila pada 15 Februari 1923, Kiai Dahlan meresmikan klinik kesehatan Muhammadiyah yang sekarang menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah Jl K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Ngupasan Gondomanan Yogyakarta sebagai bagian dari proses pembelajaran mendalam, bermakna, dan menggembirakan dari QS. Al-Maun. Sebulan sebelumnya, Kiai Dahlan lebih dulu meresmikan Rumah Singgah untuk orang miskin, PKO (Poesat Kesengsaraan Omoem). Pada waktu itu, siapa saja yang merasa sengsara tanpa melihat suku, agama, ras maka wajib ditolong oleh PKO Muhammadiyah. Dan, 23 Februari 1923 Kiai Dahlan wafat dengan meninggalkan legacy proses dari deep learning yang menginstitusi.
Ada dua hal besar yang ditinggalkan Kiai Dahlan. Pertama, bahwa Muhammadiyah adalah implementasi deep learning itu sendiri. Kedua, bahwa pengajaran dan pembelajaran Islam harus bermakna, mendalam, dan menggembirakan yang menawarkan problem solving dari permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Lahirnya PKO, Rumah Singgah, Panti Asuhan, Rumah Sakit dan berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, rasa-rasanya tidak salah bila kehadirannya dinyatakan sebagai buah dari implementasi deep learning pengajaran Kiai Dahlan.|
Pembelajaran Mendalam gagasan Pak Mu’ti ini bertemu pula pada pemikiran Michael Fullan. Pemikiran Fullan tentang deep learning tampaknya banyak dirujuk oleh Tim Deep Learning Kemendikdasmen. Framework Dimensi Profil Lulusan (DPL) PM mengambil 6 kompetensi yang digagas oleh Fullan. “Deep Learning is the process of acquiring these six global competencies: character, citizenship, collaboration, communication, creativity, and critical thinking."
Pada aspek prinsip, pengalaman pembelajaran, dan kerangka pembelajarannya pun tampaknya merujuk Fullan. Fullan memang mengulas banyak hal tentang deep learning ini dalam karyanya "Deep Learning: Engage the World Change the World” yang terbit pada 2018.
Pesan yang disampaikan Fullan, deep learning itu bukanlah kurikulum, melainkan pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran baru ini dibangun untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi global melalui pemecahan masalah kehidupan nyata. Jadi, pembelajaran didekatkan pada problem lingkungan sosial peserta didik.
Pendekatan ini melibatkan perubahan peran guru. Di sini, guru menjadi aktivator dalam merancang pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Jadi, peran guru lebih dari sekadar pengajar. Fullan juga menekankan bahwa deep learning bukan hanya tentang penguasaan konten, tapi juga tentang pengembangan karakter, kewarganegaraan, dan keterampilan abad ke-21 yang dikenal sebagai "6Cs" yang sudah disinggung di atas.|
V. B Kovač dkk, dalam “The Why, What and How of Deep Learning: Critical Analysis and Additional Concerns” menyebut mengapa deep learning ini penting. Pertama, untuk merespons masyarakat global modern yang berubah dengan cepat. Kedua, untuk memproses sejumlah besar informasi baru yang terus masuk. Ketiga, untuk menghadapi kemunculan teknologi-teknologi baru. Keempat, untuk memahami bentuk-bentuk pengetahuan baru dalam dunia yang kompleks.
Bagi V. B Kovač, deep learning itu mencari makna dan pemahaman dengan mengungkap pola yang dapat memperkecil jarak antara potongan-potongan pengetahuan yang tampaknya tidak berhubungan. Maka, deep learning memungkinkan proses transfer pengetahuan ke bidang mata pelajaran lain. Dengan demikian, deep learning memfasilitasi pemahaman mendalam peserta didik terhadap konsep-konsep yang kompleks.
Langkah-langkah yang ditawarkan Kovač bagaimana deep learning itu dijalankan, pertama secara bertahap peserta didik mengambil peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran mereka. Kedua, mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari dalam situasi yang tidak familiar. Ketiga, melihat relevansi dan konteks, berpikir dengan cara baru, bersikap kreatif, dan penuh rasa ingin tahu. Keempat, mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu konteks ke situasi baru untuk menemukan solusi. Kelima, melihat keterkaitan antar mata pelajaran dan secara aktif melakukan refleksi terhadap proses belajar mereka sendiri maupun siswa lainnya. Keenam, perlu merumuskan pertanyaan serta mencari jawabannya melalui upaya kolaboratif.|
Entah, apa karena saya yang belum memahami betul konsep deep learning ini, deep learning terasa terlalu saintifik pada mulanya. Ia sangat cocok untuk mata pelajaran science semisal IPAS atau Matematika. Rasanya, untuk mata pelajaran seperti Al-Qur’an Hadits, Fikih, Akidah Akhlak, apalagi SKI, kerangka operasional deep learning masih berkabut karena banyak berada pada domain afeksi.
Apalagi, dalam workshop-workshop yang berhubungan dengan desain pembelajaran, Mapel Agama sangat minim contoh dokumen yang tawarkan narasumber. Sementara contoh untuk Mapel IPAS atau Matematika dari Sabang sampai Merauke bisa dihadirkan. Huh! always annoying! 😂😂
Maka, contoh yang dikemukakan Bu Rizqa di Grand Zuri itu tentang Insect Hotel (Hotel Serangga) hasil dari proses deep learning kelas 5 SD di Australia, bagi saya sangat mencengangkan, tapi juga sangat menarik, menantang, bahkan terlalu bermakna. Ini gila, pikir saya meskipun tetap seperti blind untuk subjek yang saya ampu.
Saya resumekan soal Insect Hotel itu di sini sedikit dari merenungi contoh ini. Jadi, ada problem yang harus dipecahkan para siswa. Problem utama yang disodorkan adalah tanaman petani yang dimakan hama dan penggunaan pestisida. Bayangkan, anak kelas 5 SD disodorkan problem ini dan guru mereka membimbing proses pembelajaran yang deep. Mereka diajak memahami dunia serangga, jenis, karakter, dan manfaatnya di lapangan. Demikian pula mendalami tentang manfaat dan bahaya pestisida bagi tumbuhan, serangga, dan lingkungan. Lalu, siswa diminta menawarkan solusi atas problem di atas. Rasanya, ini berat banget ya, bila konteksnya anak kelas 5 SD di negara Konoha.
Rupanya, serangga dan penggunaan pestisida punya problem turunan bila dihubungkan dengan hasil temuan anak SD kelas 5 itu dari proses pembelajaran mereka. Pertama, tidak semua hewan kecil (minibeasts) adalah hama. Kedua, serangga baik membantu menyerbuki tanaman, menguraikan flora dan fauna yang telah mati, membuat tanah menjadi gembur, dan menjadi sumber makanan bagi satwa liar lainnya. Ketiga, penggunaan pestisida akan turut membunuh hama-hama saleh yang beriman itu tanpa kecuali, sedangkan tidak menggunakan pestisida membiarkan hama jahat yang kafir-kafir dan durhaka itu bebas merusak tanaman petani.😪
Problem inilah yang diolah dalam proses pembelajaran mendalam hingga menemukan kesimpulan pemecahan masalah. Pertama, ciptakan lingkungan yang ramah bagi serangga baik dengan menanam banyak tanaman asli, bunga liar, dan tanaman herbal. Kedua, gunakan pengendalian hama bebas bahan kimia ketika hama mulai bermunculan.
Kesimpulan pemecahan masalah ini yang memantik ide. Pertama, lahirnya inovasi Insect Hotel. Dengan pemahaman mendalam, bermakna, menggembirakan, dan kolaborasi, anak kelas 5 SD itu membangun semacam rumah yang menarik semua serangga dari merusak tanaman petani pindah menempati Insect Hotel yang mereka bangun. Serangga-serangga itu, hama baik dan hama jahat hidup berdampingan di dalam habitat baru; Insect Hotle. Hama-hama itu juga selamat dari dampak penggunaan bahan kimia karena penggunaan pengendalian hama bebas bahan kimia. Kedua, lingkungan terbebas dari dampak buruk penggunaan zat beracun. Dan ketiga, tanaman bebas hama. Ajiib!|
![]() |
Saya dan Kepala Madrasah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIM 2 Cpayung, Depok usai sharing deep learning. Foto milik MIM 2 Cipayung, Depok. |
Dua hari sebelum berangkat ke Grand Zuri, ada permintaan Kepala Madrasah dan Kepala Sekolah Muhammadiyah di Depok. Saya diminta membawakan topik "Deep Learning" dalam rangkaian acara Raker Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Sementara saya baru bersiap untuk berangkat menadah limpahan materi deep learning ini. Ya sudah, mainkan.
Karena sama-sama guru dan bukanlah pakar deep learning semisal Bu Rizqa atau Pak Djamal yang ketua IGI DKI itu, saya mengambil istilah sharing, "Sharing Deep Learning" dari hasil karantina tiga hari di Grand Zuri dan pengalaman mengajar. Masih berdiri sharing deep learning ini di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, dihubungi SMA Muhammadiyah 4 Depok, salah satu sekolah swasta favorit di Kota Depok untuk acara yang sama. Pusing kepala Barbie. Apalagi medannya adalah guru-guru SMA. Biarlah, yang penting saya menang tua dari guru-guru berkemauan itu. Haaa.
![]() |
Saya suka sekali foto saat sharing deep learning di depan guru-guru SMA Muhammadiyah 4 Depok ini. Saya tampak langsing di sana. Terima kasih fotonya Bu Ika.😇 |
Klik! Neuron bekerja. Dendrit, bagian dari sel saraf neuron yang berbentuk seperti cabang pohon yang menerima dan meneruskan impuls saraf dari neuron lain atau dari reseptor sensorik ke badan sel saraf soma saya bekerja sepanjang menyiapkan materi sharing. “Sensor!”
Tiba-tiba saja saya teringat materi wudhu pada pelajaran fikih.
Ah, pendekatan deep learning bisa sangat scientific pada pelajaran fikih dengan pola kemitraan pada pelajaran IPAS. Guru fikih menggarap pemahaman mendalam dan kebermaknaannya. Sedangkan guru IPAS menggarap sisi menggembirakan dan aplikatifnya dalam praktik problem solving-nya.
Selama ini dari sisi fikih, berwudhu itu hanya soal mengangkat hadas kecil dengan air yang suci dan menyucikan. Asal sudah memenuhi syarat dan rukunnya, sahlah wudhu itu. Dan, pembelajaran berhenti sampai di sini.
Akan tetapi, daya inovatif dan kreativitas guru fikih yang kuat dapat melihat peluang pada hadits Nabi kepada Sa’ad. “Kenapa kamu memakai air banyak sekali ya, sa’ad?” Maka sa’ad berkata: ‘Apakah ketika berwudhu tidak boleh memakai air terlalu banyak?’ Beliau bersabda: “Ya, walaupun kamu berwudhu di sungai sekalipun.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Problemnya, tiap kali berwudhu, ada begitu banyak air yang terbuang mubazir. Boleh jadi, volume air yang terbuang lebih banyak daripada air yang digunakan untuk membasuh anggota wudhu saat tangan tidak menadah air yang mengucur dari keran. Fenomena ini terus berlangsung sepanjang hari. Apalagi pemahaman tentang hemat air ketika berwudhu belum merata di kalangan umat islam. Problemnya adalah, berapa volume air terbuang sia-sia dalam sekali wudhu, sehari semalam, seminggu, sebulan, atau setahun? Sedangkan mubazir itu temannya setan.
Saya belum mendapati model pembelajaran deep learning untuk memecahkan problem ini, tapi, bayangan di kepala saya, langkah-langkahnya tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah pembelajaran Insect Hotel anak Kelas 5 SD di Australia itu. Jadi, guru fikih dan guru science bermitra pembelajaran, berkolaborasi untuk merancang pembelajaran mendalam berbasis problem mubazir air.
Di sini, siswa belajar mendalam tentang wudhu dan belajar mendalam tentang cara kerja keran air otomatis yang bisa mengalirkan dan berhenti secara otomatis menggunakan sensor untuk mendeteksi keberadaan benda di dekatnya. Belajar bagaimana mengaktifkan katup solenoid untuk membuka aliran air. Belajar tentang sensor yang akan mengirim sinyal untuk menutup katup. Hasilnya sistem keran yang bekerja otomatis, di mana saat tangan menadah keran, air mengalir. Saat tangan diangkat untuk membasuh anggota tubuh, air berhenti mengalir secara otomatis.
Yeey! Ajiib Pak Aqsol guru fikih yang keren. Gaskeun!|
Insect Hotel dan keran wudhu otomatis ini saya jadikan contoh bagaimana model pembelajaran deep learning dijalankan. Feeling saya meraba, dua contoh inilah yang membuka kunci pemahaman guru-gguru berkemajuan itu soal deep learning. Di sana saya menemukan “AHA moment” dari binar mata mereka yang menyala di akhir sesi.
Barakallah guru-guru pencerah, guru-guru berkemajuan. Tengkyu sudah ngelibatin saya kali ini. Kita semua punya tanggung jawab besar menihilkan "Schooling without Learning" di mana peserta didik sekolah tapi tidak belajar melalui pendekatan deep learning.
Depok, 9 Juli 2025.
Di antara sesapan kopi dan kerut dahi menyelaras E-Modul with Deep Learning.
0 Comments
Posting Komentar