![]() |
Aku, Pak Sunir, Kakak Perempuan, dan Ibunda Adelia Kusumawardhani. Foto koleksi Abdul Mutaqin atas seizin Pak Sunir. |
Kalian berdua boleh jadi tidak tercatat sebagai yang terbaik di panggung wisuda kemarin, tapi bagi kami ayah kalian, kalianlah yang terbaik. Bagi kami, setiap anak adalah istimewa, setiap kalian adalah bintang di hati ayah
25 tahun yang lalu, aku belajar di sini, di Fakultas Tarbiyah, program Diploma dan Sarjana. Wisuda Diploma dengan Rektor Prof. Dr. Quraish Shihab MA. Wisuda Sarjana dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Saat itu masih IAIN. Kampus Biru ini belum bertransformasi menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia masih “jadul” betul.
Dua hari kemarin, Sabtu 24 Mei 2025, aku duduk di ruang Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Payah juga mengumpulkan memori waktu dahulu belajar di sini. Terseok-seok rasanya menjembatani kesenjangan bangunan fisik IAIN dengan UIN sekarang. Rasanya, “baynassamaa wassumuur”, bak jarak langit dan dasar sumur.
Aku ingat betul, dahulu banyak orang mengejek fisik kampus IAIN dengan sebutan seperti bangunan “pabrik kaos”. Rasanya, otakku mendidih. Maka, agak payah mengumpulkan memori lampau dan menyatukannya pada acara wisuda ke-136 Sabtu kemarin dengan fisik bangunan UIN sekarang.
Dalam sambutannya, Pak Rektor ada menyinggung pesan untuk wisudawan. “Saya yakin perjalanan kalian untuk sampai ke titik ini bukanlah hal yang mudah. Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing. Ada biaya, tenaga, pikiran, dan doa dibalik terwujudnya kalian menjadi wisudawan pada hari ini,” ucap Prof. Asep Saepuddin Jahar, M.A., Ph.D.
Di penghujung sambutannya, Pak rektor menegaskan, “Jangan sampai kesuksesan kalian hari ini menyakiti hati orang tua kalian. Jangan alpa dalam mengucapkan terima kasih. Aktualisasikan rasa terima kasih itu dengan karya, prestasi, dan kerja-kerja besar kalian di masa yang akan datang. Doa saya selalu bersama kalian para wisudawan, wisudawati,” pesan lulusan McGill University dan Leipzig University ini sebelum turun mimbar.|
Di atas panggung wisuda, ada putriku Mikal Zidna Fajwah. Ruang prosesi terasa lebih khidmat kurasakan saat kuncir di toganya dipindahkan. Bahagia dan haru lalu datang begitu saja memancing mataku sedikit berkaca-kaca, menghangat sampai ke dada.
Aku sangat bersyukur. Mikal selesai menempuh studi di kampus di mana dahulu ayah dan bundanya belajar. Aku wisuda yang ke-49, November 2000. Ella istriku wisuda yang ke-56 atau 57, Maret 2004. Sekarang, ada tiga alumnus UIN di rumah kami, Aku, Ella, dan Mikal.
Ah, biasa aja kali. Ya, boleh jadi begitu. Namun tidak bagiku.
Bagi masyarakat kelas tertentu, boleh jadi kuliah di UIN itu ringan, seringan mereka merogoh kocek seharga satu sampai dua ratus ribu rupiah untuk secangkir kopi dan sepotong cake-nya sekali hangout. Bagi masyarakat kelas ini, harga segitu tidak penting, sebab ia bukan persoalan kopi dan cake-nya. Ini persoalan prestige, soal gaya hidup yang tidak mengenal batas mahal dan murah.
Akan tetapi bagiku, mengantarkan Mikal sampai pada tangga wisuda di UIN itu kesempatan mahal dan mewah. Maka, ketika kuncir toga di kepalanya digulir di depan Pak Rektor, ada haru bahagia. Inilah bahagianya wali wisudawati yang sesapan kopinya cukup di kedai dengan harga goceng saja. Se-goceng itu pun sudah dengan sepotong pisang goreng pula sekali hangout.
Memang, wisuda bukanlah semata-mata gula-gula dari pahitnya belajar. Bukan pula ukuran keberhasilan dari proses belajar yang panjang. Tidak, wisuda hanyalah satu fase dari fase-fase pendewasaan dalam proses belajar. Pun, hakikat belajar itu—dalam agama kita—tidak mengenal “wisuda” sebagai ujung akhir belajar, sebab proses belajar baru berhenti bila jasad sudah masuk ke liang lahad. Sesungguhnya, kematianlah “wisuda” dari tugas belajar seorang muslim yang sepanjang hayat itu.
Akan tetapi, sebagai sebuah budaya dari “peradaban belajar”, wisuda itu harus dicicipi juga manisnya. Biar otak dan hati ada rihatnya juga dari rasa pahit bergelut dengan mata kuliah, peliknya mengulik literatur, sukarnya dosen fulan berkompromi karena asyik dengan dirinya sendiri, perihnya skripsi yang dicoret-coret, ah banyaklah lagi, terlalu panjang bila disebutkan semua. Pak Rektor sudah meringkasnya dengan empat keyword; biaya, tenaga, pikiran, dan doa.
Maka, wisuda itu seperti hari pembalasan. Saat itu, wisudawan yang beriman masuk berbondong-bondong ke ruang wisuda jannatun na'im menikmati buah amal dengan wajah berseri-seri.|
Sampailah satu momen di mana hadirin menahan perasaan dengan susah payah. Aku tidak tahu, ada berapa tetes air mata yang diusap saat itu sebab ia tak tertahankan lagi. Orang tua wisudawan asal Cirebon yang duduk di sampingku kutengok sudah beberapa kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Mungkin dia malu bila air matanya dilihat orang di sampingnya. Padahal, mataku pun hampir basah oleh bulir-bulir bening seperti rinai hujan yang bersusulan. Hanya saja aku sudah lebih dahulu mengusapnya diam-diam agar mataku tetap terlihat kering.
Adalah ayah dari wisudawati Adelia Kusumawardhani naik ke panggung. Kedua tangannya memeluk foto Adelia. Boleh jadi, bukan maksud laki-laki itu ingin menghadirkan Adelia secara fisik, melainkan kewajibannya menunaikan hak Adelia yang terakhir sebagai wisudawati.
Adelia sudah berpulang lima hari menjelang Adelia diwisuda. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan laki-laki itu sejak ia berangkat pergi ke kampus untuk mewakili putrinya. Allah ya, Rabb. Saat itulah air mataku tidak bisa aku tahan lagi. Biarlah ia jadi perpaduan air mata suka dan duka dalam satu momen.
Aku tidak kenal Adelia. Tidak juga kenal ayahnya. Karena nama Adelia disebut saja, jiwanya didoakan, dan lalu suasana haru menyeruak memenuhi ruang sidang Senat Terbuka. Siapa yang tidak hanyut terbawa haru? Seakan-akan, aku merasakan jiwa Adelia sedang tersenyum semringah sambil menikmati limpahan rezeki di alam barzakhnya mendapati sang ayah hadir sambil menunjukkan foto putri yang amat dia banggakan. Semua rasa sayang tumpah mendoakan kesejahteraan untuk Adelia dalam hitungan tiga sampai empat menit. Itulah momen untuk Adelia Kusumawardhani, S.Pd.
Aku percaya, setiap ayah dan ibu menantikan momen ini setelah energi dihabiskan untuk mengantarkan putra-putri mereka sampai pada tangga wisuda. Namun bagi ayah Adelia, saat tangga itu akan ditapaki putrinya tinggal sekelok lagi, kematian lebih dahulu menjemput sang putri. Hati siapakah yang tidak masygul mengenang Adelia dan melihat ketabahan ayahnya saat itu?
Bilapun ada jiwa yang tidak tersentuh haru pada momen untuk Adelia kemarin, mungkin jumlahnya tidak lebih dari hitungan sebelah tangan saja. Bilapun ada, tidak berdosa juga sekadar bertanya pada diri sendiri, terbuat dari apa hati nurani yang demikian itu. Aku percaya, tidaklah demikian hati nurani 569 wisudawan serta undangan yang memenuhi ruangan Auditorium Harun Nasution kemarin itu. Semua hati sejenak tenggelam mengenang Adelia dan tulus mendoakannya.
Di luar auditorium, aku menemui ayahnya Adelia. Aku sapa sepantas mungkin yang aku bisa. Aku raih tangan laki-laki ini sambil memperkenalkan diri sebagai salah seorang wali wisudawan dengan suara sedikit lirih. Ada rasa berat, takut laki-laki ini menjadi tidak nyaman dengan sapaanku. Moga-moga aku masih dipandang elok karena mengambil momen haru untuk membincangkan Adelia.
Seperti harapanku, laki-laki ini murah hati sekali. Dia menyambut hangat sapaanku. Wajahnya tenang. Malah, aku jadi terbata-bata mendapati keramahannya saat pelan-pelan menanyakan perihal Adelia lebih jauh. Mataku juga basah lagi.|
Dengan senang hati, Ayah Adelia menyediakan waktu kuajak berbincang. Laki-laki ini lalu berkisah. Tutur bahasanya tenang, runut dan runtut. Bunda dan kakak perempuan Adelia sesekali menimpali meski lebih banyak menyimak saja perbincangan kami. Ada banyak pelajaran hidup milik Adelia yang kupetik dan kubawa pulang.
Adelia lulusan SMA Jurusan Fisika. Adelia masuk UIN pada 2018, mengambil Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Karena sakitnya yang membutuhkan perawatan intens, menjadikan masa studi Adelia harus selesai dalam batas waktu maksimal.
Adelia sudah jatuh sakit saat memulai menulis skripsi. Hanya saja, Adelia punya daya juang sangat kuat untuk menyelesaikan studinya. Dua kali menjalani kemoterapi tidak juga membuat jiwa Adelia patah. Menangis sambil mengeluhkan sakitnya pun tidak. Adelia tetap tegar, matanya tetap kering, niatnya konsisten mempertahankan tekad untuk lulus dari UIN.
Saat sidang skripsi, kesehatan Adelia belum pula membaik. Sakit yang dideritanya sedang meningkat perihnya. Akan tetapi, kekuatan argumentasi saat Adelia mempertahankan skripsinya di hadapan penguji membuktikan semuanya. Rasa sakit dialihkannya menjadi daya dorong menuntaskan kewajiban akademik yang terakhir. Boleh jadi, begitulah memang Adelia. Rasa sakitnya diabaikan meskipun sudah di ujung stadium. Hasilnya, Adelia lulus dan mempersembahkan wisuda untuk ayah, ibu, juga kakak perempuannya Sabtu kemarin.
Adelia gadis dengan karakter tidak mau dikasihani. Kanker yang dia derita bukan alasan baginya bertekuk lutut pada belas kasihan orang. Bahkan belas kasih dari ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Adelia memang menikmati belas kasih itu sebatas lazimnya keluarga yang menginginkan kesembuhan dari orang yang dia sayangi, bukan dengan alasan dia harus dikasihani karena sakitnya.
Pak Sunir tersenyum sambil berkata di akhir perbincangan kami. “Allah lebih sayang pada Adelia, Pak.”
Aku menatap foto Adelia di tangan ayahnya sejenak. Kata kakak Adelia, foto selfie itu dibuat Adelia pada malam Minggu, 17 Mei 2025. Lusa, pada Senin 19 Mei 2025 Adelia berpulang. Seharusnya, Sabtu, 24 Mei 2025 Adelia wisuda. Namun, takdir batas usia telah lebih dahulu mengantarnya pada panggung wisuda kehidupan yang sesungguhnya.
Mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan studi perlu bercermin dari Adelia. Adelia adalah ketekunan, kesabaran, ketahanan, dan tidak mengenal kata menyerah untuk urusan belajar. Gadis ini bisa lulus meskipun dikepung problem kesehatan. Pantaslah bila ayah, ibu dan kakak perempuannya merasa sangat beruntung pernah memiliki Adelia dalam kehidupan mereka. Aku percaya, Adelia akan selalu mereka rindukan. Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'aafihaa wa’fu’anha.|
Sebagai seorang lelaki, rasanya aku belumlah seberapa tabah dibanding Pak Sunir. Perihal membentuk mindset anak seperti karakter Adelia, aku masih tercecer di belakang. Andaikata satu waktu aku bertemu Pak Sunir lagi, ingin aku berbincang lebih hangat. Aku penasaran, bagaimana laki-laki ini membentuk karakter Adelia menjadi anak perempuan yang tidak mudah menyerah, pantang mengeluh saat menghadapi masalah, dan sosok perempuan yang tidak mau dikasihani.
Kedamaian dan kelimpahan kebaikan untuk Wisudawati Adelia Kusumawardhani yang telah menikmati kesempurnaan peran. Keteguhan dan kesabaran mengemban amanah ilmu untuk Mikal Zidnah Fajwah masa amalmu di dunia ke depan. Selamat atas wisuda kalian masing-masing.
Kalian berdua boleh jadi tidak tercatat sebagai yang terbaik di panggung wisuda kemarin, tapi bagi kami ayah kalian, kalianlah yang terbaik. Bagi kami, setiap anak adalah istimewa, setiap kalian adalah bintang di hati ayah. Ya Allah, limpahilah terus rahmat-Mu untuk putra-putri kami. Aamiin.
Ciputat, Senin, 26 Mei 2025.
Ruang guru yang hangat oleh pempek dan cuko Bu Rina Zul.
0 Comments
Posting Komentar