![]() |
Cover dua wajah: Kemah Ceria Indrokilo dan Pena Anak Santri |
Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati.
MALAM Jum’at kemarin, aku minta dibuatkan rebusan jahe dan gelar merah. Aku ingat, hari Selasa tiga hari sebelumnya, Ustaz Budi baru panen jahe dan mengabariku. Nyambunglah otak dan hatiku kepada Ustaz Budi dan keluarganya yang hangat di Boyolali. Sempat pula beliau bercanda dan aku timpali.
“Ada bagian buat Ustadz... 😆”
“Alhamdulillah. Kirim lewat WA, Ustaz,” jawabku.
Pagi harinya, Jumat, 16 Mei 2025 tetap berangkat mengajar. Wedang jahe semalam ada juga efeknya. Jam mengajar hari itu hanya empat jam, pukul 07.00 sampai pukul 10.40. Namun, sepuluh menit sebelum jam mengajar terakhir berakhir, aku izin keluar kelas lebih dahulu. Badanku terasa agak demam, greges-greges, dan cepet capek. Lalu, aku izin pulang saja ingin istirahat di rumah.|
Aku dan Ustaz Budi kerap berbagi cerita hal-hal kecil seperti soal panen jahe itu. Barulah sekarang aku menyadari, bahwa berbagi cerita hal-hal kecil itu menyuburkan kedekatan kami masing-masing. Hanya saja, dengan rasa dekat itu aku belum sempat mengutarakan di hadapan Ustaz Budi bahwa aku ingin beliau menganggapku sebagai adik. Sedangkan aku, diam-diam sudah menempatkan Ustaz Budi dan Umi Ipit sebagai kakakku sejak aku sering bertamu sewaktu Ustaz Budi dan Umi Ipit masih di Bambanglipuro, Bantul.
Literasi menulis adalah sisi yang paling merekatkan hubunganku dengan Ustaz Budi. Seolah, dunia menulis itu menjadi sifat identik kami. Rasanya, bila sudah diskusi soal menulis dan buku, itu seperti jalan yang tidak ada ujung buat berhenti.
Ada diskusi pada 9 Maret 2025 yang lalu. Diskusi ini soal soal draft cover dua muka untuk calon buku karya terbaru anak-anak panti yang dibimbing Ustaz Budi "Kemah Ceria Indrokilo" dan karyanya sendiri "Pena Anak Panti".
Aku diminta membuat cover buku ini. Namun, karena Ramadhan kemarin jadwalku cukup selip, habis Ramadhan baru mungkin bisa aku usahakan. Berharap pula penundaan sampai akhir Ramadhan tidak mengganggu mood Ustaz Budi turun, aku kirim pesan buat meyakinkannya, “Nyalakan terus api literasi panti”. Dibalasnya pesanku itu, “Dukungan dan harapan Ustadz Abdul sangat memotivasi kami... 😆💪✊”
Sekira pertengahan Ramadhan aku minta kisi-kisi cover. Diberinya aku elemen-elemen dasar. Aku mikir keras menerjemahkan bayangan cover yang diminta Ustaz Budi. Karena tidak bertemu langsung buat diskusi bagaimana bentuk perwajahan yang diinginkan, aku exercise saja. Pelan-pelan aku kerjakan pada hari keempat lebaran dan selesai dalam dua hari.
Sebenarnya, aku belum biasa merancang cover buku. Aku lebih mahir mengatak isi buku daripada cover. Tapi, aku coba juga mengerjakannya pelan-pelan. Sampai aku yakin draft benar-benar mendekati dugaan bayangan Ustaz Budi, aku sodorkan hasilnya. Ustaz Budi berteriak, “Wowww... mantapz bingitz... 👍👍👍,” saat cover mendarat di layar WhatsAppnya. Senanglah aku.
Kira-kira dua hari menjelang lebaran, Ustaz Budi minta diusahakan novelku; Pengantin Fort van der Capellen. Karena aku tidak punya barang satu eksemplar saja, aku coba hubungi Retna, kolegaku, pustakawan Madrasah Pembangunan, barangkali dia masih menyimpan barang satu eksemplar yang masih segel. Habis pula rupanya novel itu karena sudah diinput semua menjadi bahan koleksi perpustakaan.
Aku tawarkan saja dummy edisi revisi untuk dibaca Laskar Badar Muhammad. Aku kirim novel itu. Aku selipkan pula buku biografi Sutrisno Muslimin Sang Inovator: Pendidikan, Dakwah, dan Politik. Biografi ini diterbitkan Buku Republika pada April 2023. Aku pikir, biografi yang kutulis ini cukup pas dinarasikan untuk adik-adik panti survive dan belajar kesuksesan dari sosok Sutrisno Muslimin.|
Cover calon buku "Kemah Ceria Indrokilo", "Pena Anak Panti" dan "Pengantin Fort van der Capellen" menjadi penutup diskusi aku dan Ustaz Budi untuk selamanya. Sabtu pagi kemarin, 17 Mei 2025, kabar mengejutkan aku terima dari putriku Mikal Zidna Fajwah bahwa Ustaz Budi Nurastowo berpulang. Ya, Allah, cover itu seperti khusus aku persembahkan sebagai “Cover Untuk Ustaz Budi” di akhir hayatnya bergelut dengan literasi menulis.
Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati. Sampai kemudian aku sadar sepenuhnya bahwa jiwa ini hanyalah titipan setelah membaca sendiri broadcast dari Grup Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy Syifa Bambanglipuro Bantul yang disodorkan putriku. Pupus sudah rencana kami bisa makan wader balado di panti kapan waktu aku datang berkunjung.
Aku biarkan mataku basah. Mata istriku basah. Mata Putriku basah. Di atas balkon lantai dua rumahku pagi itu, air mata kami bertiga tidak bisa lagi dibendung. Bukan semata karena sedih kehilangan, tapi karena begitu banyak kenangan manis kami bersama Ustaz Budi yang tidak mungkin bisa diulang kembali. Aku, istri, dan putriku kehilangan guru, sahabat, dan kakak yang kami banggakan.
Aku yang tidak bisa menjangkau jenazahnya Sabtu pagi itu hanya bisa merangkai doa. Allah ya, Rabb. Sayangi Ustaz Budi di sana. Ampunkan segala khilafnya. Terimalah segala amal kebaikannya meski hanya setitik debu di antara bongkahan kebaikan yang sudah ditorehkan. Allahummaghfir lahu warhamhu wa aafihi wa'fu anhu.
Aku diminta membuat cover buku ini. Namun, karena Ramadhan kemarin jadwalku cukup selip, habis Ramadhan baru mungkin bisa aku usahakan. Berharap pula penundaan sampai akhir Ramadhan tidak mengganggu mood Ustaz Budi turun, aku kirim pesan buat meyakinkannya, “Nyalakan terus api literasi panti”. Dibalasnya pesanku itu, “Dukungan dan harapan Ustadz Abdul sangat memotivasi kami... 😆💪✊”
Sekira pertengahan Ramadhan aku minta kisi-kisi cover. Diberinya aku elemen-elemen dasar. Aku mikir keras menerjemahkan bayangan cover yang diminta Ustaz Budi. Karena tidak bertemu langsung buat diskusi bagaimana bentuk perwajahan yang diinginkan, aku exercise saja. Pelan-pelan aku kerjakan pada hari keempat lebaran dan selesai dalam dua hari.
Sebenarnya, aku belum biasa merancang cover buku. Aku lebih mahir mengatak isi buku daripada cover. Tapi, aku coba juga mengerjakannya pelan-pelan. Sampai aku yakin draft benar-benar mendekati dugaan bayangan Ustaz Budi, aku sodorkan hasilnya. Ustaz Budi berteriak, “Wowww... mantapz bingitz... 👍👍👍,” saat cover mendarat di layar WhatsAppnya. Senanglah aku.
Kira-kira dua hari menjelang lebaran, Ustaz Budi minta diusahakan novelku; Pengantin Fort van der Capellen. Karena aku tidak punya barang satu eksemplar saja, aku coba hubungi Retna, kolegaku, pustakawan Madrasah Pembangunan, barangkali dia masih menyimpan barang satu eksemplar yang masih segel. Habis pula rupanya novel itu karena sudah diinput semua menjadi bahan koleksi perpustakaan.
Aku tawarkan saja dummy edisi revisi untuk dibaca Laskar Badar Muhammad. Aku kirim novel itu. Aku selipkan pula buku biografi Sutrisno Muslimin Sang Inovator: Pendidikan, Dakwah, dan Politik. Biografi ini diterbitkan Buku Republika pada April 2023. Aku pikir, biografi yang kutulis ini cukup pas dinarasikan untuk adik-adik panti survive dan belajar kesuksesan dari sosok Sutrisno Muslimin.|
Cover calon buku "Kemah Ceria Indrokilo", "Pena Anak Panti" dan "Pengantin Fort van der Capellen" menjadi penutup diskusi aku dan Ustaz Budi untuk selamanya. Sabtu pagi kemarin, 17 Mei 2025, kabar mengejutkan aku terima dari putriku Mikal Zidna Fajwah bahwa Ustaz Budi Nurastowo berpulang. Ya, Allah, cover itu seperti khusus aku persembahkan sebagai “Cover Untuk Ustaz Budi” di akhir hayatnya bergelut dengan literasi menulis.
Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati. Sampai kemudian aku sadar sepenuhnya bahwa jiwa ini hanyalah titipan setelah membaca sendiri broadcast dari Grup Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy Syifa Bambanglipuro Bantul yang disodorkan putriku. Pupus sudah rencana kami bisa makan wader balado di panti kapan waktu aku datang berkunjung.
Aku biarkan mataku basah. Mata istriku basah. Mata Putriku basah. Di atas balkon lantai dua rumahku pagi itu, air mata kami bertiga tidak bisa lagi dibendung. Bukan semata karena sedih kehilangan, tapi karena begitu banyak kenangan manis kami bersama Ustaz Budi yang tidak mungkin bisa diulang kembali. Aku, istri, dan putriku kehilangan guru, sahabat, dan kakak yang kami banggakan.
Aku yang tidak bisa menjangkau jenazahnya Sabtu pagi itu hanya bisa merangkai doa. Allah ya, Rabb. Sayangi Ustaz Budi di sana. Ampunkan segala khilafnya. Terimalah segala amal kebaikannya meski hanya setitik debu di antara bongkahan kebaikan yang sudah ditorehkan. Allahummaghfir lahu warhamhu wa aafihi wa'fu anhu.
Selamat jalan Mas Budi, abangku tercinta. Biar jasad kita berpisah, kontak jiwa kita tetap aku jaga tersambung.|
Depok, Ahad siang, 18 Mei 2025.
0 Comments
Posting Komentar