Matahari Terbit di Kampung Kami

Salah lu, Wi. Bukan Nipan itu yang gua maksud, tapi H. Nipan, guru ngaji, orang Cipayung, mertuanya Si Micang,” tegas M. Ma’ruf. “Nipan yang lu maksud mah bukan guru ngaji, juga belom haji,” tegas M. Ma’ruf sekali lagi.

Buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” yang saya tulis menyertakan footnote atau catatan kaki. Footnote itu saya maksudkan sebagai keterangan tambahan, memperkuat data dan rujukan, dan mengapresiasi sumber informasi. Saya maksudkan pula untuk menghindari plagiarisme dan memberikan informasi lebih mendalam tanpa mengganggu alur teks utama buku yang saya tulis. Maka, apabila pembaca merasa kurang puas dengan narasi yang saya hadirkan di buku ini, atau kurang yakin atas informasi yang saya sajikan, pembaca bisa merujuk sumber kutipan sesuai footnote yang saya cantumkan.

Maka, poin kedua sorotan H. Nawawi pada buku “Matahari Terbit di Kampung Kami”—juga dengan bahasa “salah fatal”—yang memuat statement H. Nipan dan menurut H. Nawawi adalah statement H. Saprin bisa dikembalikan pada footnote dari mana peristiwa itu saya kutip.

Perlu saya spill sedikit tentang H. Nipan dan H. Saprin ini supaya jelas siapa mereka dalam eskalasi konflik pada awal-awal Muhammadiyah berdiri di Rawadenok dan Pulo. Kedua mereka ini tokoh Ahlussunnah wal Jamaah, penentang dakwah Muhammadiyah yang paling gigih.

Lalu, mengapa soal H. Nipan dan H, Saprin dipermasalahkan H. Nawawi dan menjadi dasar menilai pada bagian dari buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” sebagai “salah fatal”?

Begini masalahnya.

Pada halaman 53 dan 54 buku Matahari Terbit di Kampung Kami ada narasi peristiwa yang melibatkan H. Nipan. Saya screenshot narasi tersebut dan saya turunkan di sini. Berikut screenshot-nya:




Narasi dan statement H. Nipan di atas saya kutip dari buku saya sebelumnya; “Tarawih Terakhir”. Narasi itu saya olah dari hasil wawancara dengan M. Ma’ruf. Peristiwa H. Nipan menyampaikan ceramah bernada agitasi di rumah Micang itu, diketahui M. Ma’ruf, bahkan ia hafal statement yang dilontarkan H. Nipan waktu itu.

Biar lebih jelas, saya screenshot juga narasi dari buku “Tarawih Terakhir” untuk saya turunkan di sini:



Menurut H. Nawawi, tokoh yang berceramah di rumah Micang itu bukan H. Nipan, melainkan H. Saprin. Kalimat yang dilontarkan H. Saprin pun bukan : “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!”, melainkan kalimat: “Antum rijalun wa nahnu rijal”.

H. Nawawi memang ada memuat peran H. Saprin sebagai sosok yang sangat keras menentang dakwah Muhammadiyah saat itu pada bukunya “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”. Pada bukunya itu, narasi ini dimuat pada halaman 55. Supaya jelas, saya lampirkan hasil jepretan halaman dimaksud di sini:



Karena persoalan ini, buku saya disebut “salah fatal”.

Oke, meskipun wajah memerah mendengar penilaian itu, tidak apa-apa. Penilaian ini malah membuat saya penasaran. Saya temui kembali narasumber saya; M Ma’ruf untuk meminta konfirmasi soal H. Nipan ini. Boleh jadi memang narasumber saya keliru mendeskripsi tokoh seperti yang dimaksud H. Nawawi.

Akan tetapi, M. Ma’ruf malah memberikan penjelasan tambahan soal H. Nipan ini. Artinya, sosok H. Nipan dalam konteks pendiriannya menentang dakwah Muhammadiyah dan menyampaikan ceramah bernada agitasi di rumah Micang yang saya tulis pada “Tarawih Terakhir” dan saya kutip untuk buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” adalah benar, bukan H. Saprin tokoh yang dimaksud H. Nawawi.

Maka, kesimpulan saya, pertama, H. Nawawi tidak paham, atau belum paham, atau pura-pura tidak paham soal teknik footnote dan kutipan dalam sebuah buku. Di buku “Matahari Terbit di kampung Kami”, jelas sekali saya cantumkan dari mana sumber narasi H. Nipan itu saya ambil. Artinya, saya tidak mengutip buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” dalam konteks H. Nipan.

Kedua, penulis yang tidak mengutip —katakanlah saya tidak mengutip dari buku H. Nawawi, tapi mengutip dari sumber lain—dari satu buku di antara banyak sumber, tidak berarti penulis itu melakukan “kesalahan fatal”, meskipun kutipan itu sama substansinya. Sebab, sumber atau pelaku sejarah dalam satu peristiwa itu boleh jadi tidak tunggal. Persoalannya terletak dari sumber mana kutipan itu diambil.

Lagi pula, bunyi statement H. Nipan yang saya kutip jelas berbeda dengan bunyi statement H. Saprin meskipun maknanya sama-sama menentang dakwah Muhammadiyah. Fakta ini saja sudah cukup untuk dipahami sebagai bukan fakta yang harus dipermasalahkan H. Nawawi.

Lain ceritanya, bila bunyi statement H. Nipan sama persis dengan bunyi statement H. Saprin, lalu di buku “Matahari Terbit di kampung Kami” saya tegaskan sebagai statement H. Nipan, sementara di buku H. Nawawi; “30 tahun Muhammadiyah Cabang Depok” statement itu disampaikan H. Saprin.

Masalah ini seperti jalan buntu sebelum akhirnya terurai pada satu waktu. Satu hari, saat H. Nawawi—mungkin sengaja datang menemui saya untuk meminta kembali buku "Matahari Terbit di Kampung Kami" yang sudah ditandai sebagai kesalahan fatal yang saya minta untuk saya pelajari catatan-catatannya—saya konfrontir dengan M. Ma’ruf soal sosok H. Nipan ini. Maka, terbukalah tabir “salah fatal” itu.

Rupanya, sosok H. Nipan yang diceritakan M. Ma’ruf dan saya kutip untuk dua buku saya itu bukan Nipan yang dimaksud H. Nawawi. Bila saya tidak keliru, Nipan yang dimaksud H. Nawawi pada kesempatan konfrontir itu Nipan orang tua H. Maarif, orang Rawadenok.

“Salah lu, Wi. Bukan Nipan itu yang gua maksud, tapi H. Nipan, guru ngaji, orang Cipayung, mertuanya Si Micang,” tegas M. Ma’ruf. “Nipan yang lu maksud mah bukan guru ngaji, juga belom haji,” tegas M. Ma’ruf sekali lagi.

Karena saya yang paling berkepentingan dalam masalah ini sebab persoalan “salah fatal” itu, saya tegaskan kepada H. Nawawi saat itu, clear soal H. Nipan yang dimaksud buku saya. Jadi, permasalahannya hanya soal siapa mengutip siapa. Dalam hal ini, H. Nawawi mengutip peristiwa H. Saprin yang mengatakan: “Antum rijalun wa nahnu rijal” yang dilontarkan tokoh ini saat berpidato di rumah Micang. Sedangkan M. Ma’ruf mengutip pernyataan H. Nipan, “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!” yang juga disampaikannya pada saat ceramah di rumah Micang.

Boleh jadi, kemungkinan kedua tokoh ini sama-sama melontarkan statement pada waktu yang sama dan forum yang sama di rumah Micang. Boleh jadi juga, kemungkinan H. Saprin dan H. Nipan berbicara pada forum dan waktu yang berbeda meskipun peristiwanya sama-sama berlangsung di rumah Micang. Hanya saja, H. Nawawi menangkap statement H. Saprin, sedangkan M. Ma’ruf menangkap statement H. Nipan.

Pada akhirnya, setelah proses konfrontasi sumber, “kesalahan fatal” justru ada pada H. Nawawi. Pertama, ternyata, Nipan yang disangka H. Nawawi sebagai Nipan orang tua Ma’arif bukanlah sosok H. Nipan yang dimaksud M. Ma’ruf sebagai H. Nipan guru ngaji, mertuanya Micang.

Kedua, sorotan “salah fatal” atas satu bagian dari buku “Matahari Terbit di kampung Kami” karena dianggap salah mengutip H. Nipan sebagai pelaku, bukan H. Saprin sesuai buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” sudah kadung ditimpakan kepada saya. Sebagai kalimat menilai “salah fatal” yang telah dilontarkan dari mulut H. Nawawi, ia tidak bisa ditarik lagi.

Si cela est, que peut-on faire?|

Jakarta, 15 Mei 2025.
Siang yang lelah, di antara draft-draft baru.