![]() |
Ucapan bela sungkawa KMMD. Flyer milik pengurus KMMD |
Kalau saya jadi Pak Mutaqin, akan saya ambil kesempatan ini. Itu sekolah bagus. Ambillah kesempatan ini!
Dua puluh tahun yang lalu, mulutku seperti menelan sekam. Tak kuasa lisan hendak berkata. Tak kuat hati hendak berterus terang. Ya, seperti itu, karena, beliau sudah kadung menganggapku guru kesayangan. Entahlah, mungkin itu hanya rumors yang sempat sampai ke telingaku. Atau hanya perasaan ge er-ku saja saat itu.
Akan tetapi, aku harus berterus terang, meski dengan suara terbata karena rasa sungkan, rasa hormat, dan posisinya yang aku tempatkan sebagai guru. Tidak ada lagi selain perasaan itu. Maka, kukatakan juga maksudku, maksud pamit mundur dari mengajar pada yayasan yang beliau pimpin. Aku menyatakan berhenti.
Hening. Senyap. Beliau diam membisu. Aku juga diam membisu. Kami berdua, seperti berbicara dalam diam. Beliau bertanya dalam diam. Aku menjawab dalam diam.
Beberapa menit berlalu, kami masih sama-sama diam. Itu jeda waktu yang masih aku ingat sampai hari ini. Aku kenang sepanjang aku melangkah pergi dari latar rumahnya sampai aku berteduh di latar rumah yang lain. Saling diam itu seperti peristiwa seorang ayah akan melepas anaknya merantau. Atau, seorang anak akan melepas ayahnya untuk menikah lagi dengan perempuan lain setelah ibunya pergi. Rela, tapi berat, berat rasanya.
Saat beliau bertanya di sekolah mana aku berlabuh, hatiku lega, wajahku berbinar. Rasa sungkan yang beku mencair seperti gumpalan es dibakar matahari yang terik. Maka, aku bilang, setelah melalui proses seleksi yang panjang, aku diterima di sebuah yayasan untuk posisi guru Sejarah Kebudayaan Islam.
Tiada aku duga, beliau berkata lugas, “Kalau saya jadi Pak Mutaqin, akan saya ambil kesempatan ini. Itu sekolah bagus. Ambillah kesempatan ini!”
Mendengar repsonsnya, diamku semakin beku meski perlahan meleleh, hangat, dan haru. Lalu, ada bulir menitik di kelopak. Dan, kurasa beberapa saat, bola mataku jadi berkaca-kaca. Buru-buru kupalingkan muka. Aku tidak ingin mataku yang berkaca itu ditangkap mata beliau.
Dan, aku melangkah pergi dengan bahagia. Semoga, beliau juga bahagia melepasku.|
“Innalillahi wa innalillahi rajiun.. Telah berpulang ke rahmatullah Buyut, Kakek, Bapak, Guru kami Bp. H. Kastubi, BA di RS. Awal Bros, Batam pd hari Senin, 12 Mei 2025 pukul 19.30. Mohon diampuni segala dosa beliau dan berkenan memberikan doa al-fatihah yg terbaik untuk almarhum.”
Demikian bunyi pesan yang masuk di beranda gawaiku kemarin malam. Seketika ingatanku terlempar pada peristiwa saling diam dua puluh tahun yang lalu itu. Teringat lagi saat kucium tangannya sambil berpamitan, pergi meninggalkan takdir di Nurussyamsi untuk menjalani takdir yang lain. Beruntunglah waktu itu aku membawa restunya.
Hari ini, Selasa, 13 Mei 2025, saat jenazahnya tiba untuk dishalatkan, kebisuan orang tua yang lembut ini abadi. Siapa orang tua yang paling lembut bicaranya padaku sepanjang aku bergaul, belum ada gantinya selain H. Kastubi. Hari ini, lembut saat beliau bicara itu, pergi, hilang, dan fana bersamaan jasadnya dikebumikan.
Jangan lagi ditanya garis hidupnya ada di mana. Jangan lagi ditanya jejak kedermawannya pada siapa saja. Dan, jangan pula ditanya komitmennya pada Qur’an dan Sunnah. Jawaban atas semua itu terekam baik dalam memori masing-masing orang yang mengenalnya.
Aku percaya, hadir dalam mengantar jasad kematian adalah kesempatan terakhir untuk manusia yang pernah berperkara. Besar atau kecil, sengaja atau spontan, sadar atau karena lupa. Setiap orang punya salah. Ini sunnatullah fil kaun yang berlaku sampai kiamat.
Maka, gugurlah semua perkara hari ini. Aku rida, semoga beliau rida. Ya, Allah, ridailah kami semua yang hadir menyaksikan, menyalatkan, mendoakan, dan menguburkan jasadnya. Ridai juga siapa saja yang mengenalnya, mereka yang tidak berkesempatan hadir karena keterbatasan ruang dan waktu yang tidak terelakkan. Asalkan doa-doa dipanjatkan, semoga sampai juga rida-Mu kepada kami semua.
Maka, Ya Allah, semoga beliau sudah memaafkan hamba pada kali terakhir kami bertemu entah di mana. Sebab, waktu yang kejam tidak memberi kesempatan bagi hamba bersua lagi dan meminta maaf sebelum kepergiannya kemarin. Meskipun maaf itu beliau utarakan dalam diam, seperti diamnya beliau dua puluh tahun yang lalu itu, tiada mengapa, asalkan maafnya sampai ke pangkuan-Mu.
Jangan lagi ditanya garis hidupnya ada di mana. Jangan lagi ditanya jejak kedermawannya pada siapa saja. Dan, jangan pula ditanya komitmennya pada Qur’an dan Sunnah. Jawaban atas semua itu terekam baik dalam memori masing-masing orang yang mengenalnya.
Aku percaya, hadir dalam mengantar jasad kematian adalah kesempatan terakhir untuk manusia yang pernah berperkara. Besar atau kecil, sengaja atau spontan, sadar atau karena lupa. Setiap orang punya salah. Ini sunnatullah fil kaun yang berlaku sampai kiamat.
Maka, gugurlah semua perkara hari ini. Aku rida, semoga beliau rida. Ya, Allah, ridailah kami semua yang hadir menyaksikan, menyalatkan, mendoakan, dan menguburkan jasadnya. Ridai juga siapa saja yang mengenalnya, mereka yang tidak berkesempatan hadir karena keterbatasan ruang dan waktu yang tidak terelakkan. Asalkan doa-doa dipanjatkan, semoga sampai juga rida-Mu kepada kami semua.
Maka, Ya Allah, semoga beliau sudah memaafkan hamba pada kali terakhir kami bertemu entah di mana. Sebab, waktu yang kejam tidak memberi kesempatan bagi hamba bersua lagi dan meminta maaf sebelum kepergiannya kemarin. Meskipun maaf itu beliau utarakan dalam diam, seperti diamnya beliau dua puluh tahun yang lalu itu, tiada mengapa, asalkan maafnya sampai ke pangkuan-Mu.
Sebagaimana kewajiban kami yang masih hidup merelakan maaf atas salah dan khilafnya, terimalah doa hamba Ya Allah, “Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘aafihi wa'fu anhu.” Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, sejahterakan dia, dan maafkanlah segala kesalahannya."
Aamiin.
Selamat jalan guru, orang tua, dan pemilik bahasa yang lembut.
Depok, 13 Mei 2025.
Sore yang sejuk dengan rinai hujan yang luruh.
0 Comments
Posting Komentar