Matahari terbit di Kampung Kami


Buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang saya tulis mendapat sorotan H. Nawawi Napih, tokoh Muhammadiyah, dan penulis buku 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok. Sebagai diskursus, sebuah buku disorot tajam itu soal biasa. Dianggap “salah fatal” pun biasa, asalkan bangunan argumentasinya kokoh, jelas rujukannya, dan bisa diuji berdasar sumber yang dirujuk.

Buku saya sebelumnya: Tarawih Terakhir, pun tidak lepas dari sorotan H. Nawawi. Ada beberapa sorotan saya terima karena memang setelah saya tinjau materi yang saya tulis mengundang kontroversi seperti tentang sejarah Depok. Di sini, sorotan atau kritik menjadi sangat berguna untuk perbaikan.

Satu kali dalam perbincangan dengan H. Nawawi mengenai buku Tarawih Terakhir, ada dua buku —satu buku tentang Muhammadiyah dan dan satu lagi sejarah Islam Depok yang sampai ke tangannya—pun disorot, dikritik tajam, dan dijumpai poin-poin kesalahan, bahkan menurutnya salah fatal. Dua buku yang saya ingat yang menurut H. Nawawi mengandung kesalahan fatal adalah buku tulisan Muhsin MK, KH. M. Usman Perintis Muhammadiyah Depok Ulama dan Pejuang Bangsa. Buku ini terbit pada 2018.

Satu lagi, bukunya Syamsul Yakin—saya agak lupa judulnya, mungkin JEJAK LANGKAH ISLAM DI DEPOK : KEMBALI KE AKAR SEJARAH KEMBALI KE SUMBER SYARIAH. Syamsul Yakin ini doktor, dosen Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta. Buku ini pun dikritik habis H. Nawawi.

Pahamlah saya, soal menilai buku, H. Nawawi lugas sekali. Maka, ketika ada bagian dari buku Matahari Terbit di Kampung Kami disebutnya ada yang “salah fatal”, saya tidak terlalu kaget. Buku Syamsul Yakin yang seorang doktor dan dosen UIN saja dianggap banyak kekeliruan fatal, apalagi saya. Apalah saya ini.

Persoalan lain, buku apabila sudah di-publish, itu menjadi milik publik. Publik berhak membaca, menilai, memuji, bahkan berhak menjatuhkan dengan sorotan, kritik, atau bahkan membongkar isinya bila dianggap salah dengan menunjukkan letak dan poin-poin kesalahannya.

Dengan argumen ini, seorang yang berani menulis dan mem-publish bukunya, dia harus siap menghadapi risiko publik. Bukan sekadar girang menikmati pujian dari pembaca, tapi harus siap dikuliti kesalahan-kesalahan dari buku yang ditulisnya. Maka, seorang penulis itu harus siap “bertarung” mempertahankan apa yang ditulisnya. Akan tetapi, penulis juga harus legowo apabila ternyata memang yang ditulisnya itu mengandung kesalahan setelah “pertarungan” adu argumentasi usai ditengkarkan.

Sebagai yang belum bosan untuk belajar soal tulis menulis, diksi “salah fatal” itu serem. Bila merujuk ke kamus, penjelasan kata itu demikian bunyinya: fatal/fa·tal/ a 1 mematikan; 2 tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi (tentang kerusakan, kesalahan); 3 menerima nasib (tidak dapat diubah lagi); celaka.

Ini poin pertama. Artinya diksi “fatal” kesannya terlalu berlebihan. Kesalahan fatal untuk menilai sebuah buku itu bisa diganti dengan diksi lain, misalnya “serius”. Kesalahan serius pada sebuah buku itu bisa jadi karena tidak sesuai fakta, menyalahi kebiasaan, atau bertentangan dengan sumber lain yang lebih kredibel.

Apalagi menyangkut narasi dalam sebuah buku, ia rawan mispersepsi pembaca, atau karena mengandung kesalahan berat secara substansi. Namun harus dipahami, kesalahan itu bisa diperbaiki seringan atau seserius apa pun kesalahannya. Kesalahan itu bisa jadi sekadar typo. Ini kesalahan ringan. Bisa jadi salah kutip, ini kesalahan sedang. Cukup merujuk lagi pada sumber kutipan, selesai.

Disebut sebagai kesalahan serius apabila kesalahan itu menyangkut substansi. Bentuknya bisa karena bertentangan dengan data rujukan, data sejarah, atau fakta yang sesungguhnya. Tapi, ini bukan kesalahan fatal, hanya kesalahan serius atau kesalahan berat karena masih bisa diperbaiki. Tinggal penulisnya mau atau tidak memperbaiki kesalahan narasi pada bukunya itu berdasar sumber data, rujukan, atau fakta yang sesungguhnya sebagai alat koreksi.

Sekarang saya masuk pada poin kesalahan fatal versinya H. Nawawi atas beberapa bagian dari buku Matahari Terbit di Kampung Kami. 

Tiga poin kesalahan fatal disampaikan H. Nawawi—boleh jadi lebih dari tiga kesalahan setelah acara launching yang menghadirkannya sebagai testimoni dan telah tuntas mengoreksi buku saya. Tiga poin kesalahan fatal itu diutarakan beberapa menit menjelang acara launching dan bedah buku ini di MTs. Muhammadiyah Kukusan. Rasanya, karena waktu yang mepet, sangat tidak memadai untuk saya menjawab atau memberikan klarifikasi tuduhan salah fatal itu.

Saya bahas satu poin dulu. 

Poin pertama ini, soal legalitas berdirinya Muhammadiyah Cabang Depok. Poin ini dianggap salah fatal. Tertulis pada halaman 35 buku Matahari Terbit di kampung Kami yang dipegang Pak H. Nawawi—pada edisi revisi tertera pada halaman 40 dengan redaksi sama persis, menyangkut tahun legalitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok. 

Berikut saya kutipkan sebagian narasi pada halaman 35 yang disebut sebagai kesalahan fatal itu:
Nanti, bersama Kamaludin, warga Muhammadiyah asal Jasinga, Kabupaten Bogor yang memimpin Kecamatan Depok, KH Usman mendirikan Cabang Muhammadiyah Depok membawahi dua ranting, yakni Ranting Muhammadiyah Kukusan dan Ranting Muhammadiyah Srengseng. Legalitas Muhammadiyah Cabang Depok ini kemudian disahkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961…
Poin kesalahan yang menurut H. Nawawi fatal adalah data tahun 1961 yang kemungkinan dipahami beliau sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah Cabang Depok. Kata H. Nawawi, “Muhammadiyah di Depok sudah ada tahun 1952”, tegasnya.

Saya tidak mengerti, bagaimana H. Nawawi salah memahami redaksi pada paragraf di atas. “Legalitas Muhammadiyah Cabang Depok ini kemudian disahkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961”. Terang sekali, tahun 1961 adalah tahun legalisasi secara administratif dari PP Muhammadiyah sebagai bentuk pengakuan bahwa Muhammadiyah Cabang Depok telah sah, legal, bukan tahun resmi berdiri Muhammadiyah di Depok yang ditetapkan PP Muhammadiyah.

Pertanyaannya sekarang, dari mana data tahun 1961 saya ambil?

Data tahun ini saya ambil dari mengutip: PDM Kabupaten Bogor pada website http://bogor.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet- sejarah.html. Saya akses website ini pada 09 Maret 2024. Saya cantumkan pada catatan kaki no. 54. Pada naskah revisi catatan kaki nomor 51.

Namun, sayang sekali, saat website PDM sesuai link di atas saya kunjungi lagi—11 Mei 2025—halaman sudah tidak ada, Web server is down.

Tangkapan layar website PDM Bogor saat dikunjungi pada Ahad, 10 Mei 2025.


Akan tetapi, saya menemukan jejak data yang sama pada sebuah blog. Di sini alamatnya:
https://ipmcbeji.blogspot.com/2012/05/sejarah-muhammadiyah-kota-depok.html
Data yang ditampilkan blog ini sama persis dengan website PDM Bogor. Berikut tangkapan layarnya-nya:


Tangkapan layar website IPM Beji

Sebagai orang yang pernah belajar menulis, pernah menempuh ujian dan lulus memegang lisensi penulis profesional dari LSP Penulis & Editor Profesional, saya hanya disiplin pada etika mengutip. Penulis tidak boleh mengubah data dari sumber kutipan. Data yang saya dapat dari website PDM Bogor harus saya tulis apa adanya, 1961, tidak boleh saya ubah jadi 1952.

Dalam satu kesempatan bertemu, H. Nawawi tidak menerima klarifikasi saya dan masih menyebut data itu sebagai kesalahan fatal dalam buku Matahari Terbit di Kampung Kami. Ya, sudah. Mau bagaimana lagi. Barangkali H. Nawawi memegang salinan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September, namun tahunnya 1952”.

Saya tidak menolak, bahwa Muhammadiyah sudah ada di Depok tahun 1952, didirikan oleh M. Usman sebagaimana informasi dari buku H. Nawawi: “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” pada halaman 18. Buku ini pun banyak saya kutip dan saya rujuk saat menulis Tarawih Terakhir dan Matahari Terbit di Kampung Kami.

Baiklah, sekarang giliran saya mengkritisi buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”—terutama soal tahun 1952 yang disebut H. Nawawi sebagai tahun di mana Muhammadiyah sudah ada di Depok. Kritik saya bukan pada salah atau benar 1952, tapi soal hasil analisis saya dari satu dua sumber dan keterangan selain buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”.

Ditulis pada halaman 18, sebagai berikut:
Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, M. Usman sangat dikenal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa sampai kepada para pejabat di Kecamatan Depok. Pada tahun 1952 Kecamatan Depok, dipimpin oleh Kamaludin seorang warga Muhammadiyah berasal dari Jasinga Kabupaten Bogor. Sebagai warga Muhammadiyah kedua tokoh tersebut saling berkenalan. Atas perkenalannya itu mereka berdua bersepakat mendirikan Cabang Muhammadiyah Depok. Waktu pendiriannya disaksikan oleh Kamil Jamil Konsul Muhammadiyah Daerah Bogor, bertempat di Kantor Kecamatan Depok.
Bagi H. Nawawi, narasi paragraf di atas boleh jadi tidak menimbulkan penafsiran lain dari maksud yang ditulisnya. Tapi, bagi pembaca, atau saya yang akan mengambilnya sebagai rujukan, didirikannya Muhammadiyah Cabang Depok pada 1952 pada paragraf di atas masih multitafsir. Berikut tafsiran saya atas narasi di atas:
  1. H. Nawawi secara eksplisit menyebut 1952 sebagai tahun bersamaan Kamaludin menjabat Camat Kecamatan Depok;
  2. H. Nawawi tidak secara eksplisit menyebut 1952 sebagai tahun Muhammadiyah sudah ada di Depok atau sudah didirikan di Depok;
  3. Muhammadiyah sudah ada di Depok atau sudah didirikan di Depok pada 1952 bersamaan dengan Kamaludin menjabat Camat Kecamatan Depok;
  4. Muhammadiyah sudah ada di Depok atau sudah didirikan di Depok bersamaan dengan Kamaludin menjabat Camat Kecamatan Depok. Hanya saja tahunnya belum tentu pada 1952, boleh jadi sebelum atau sesudahnya;
  5. H. Nawawi secara eksplisit hanya menyebut tahun 1952 saja, tanpa tanggal dan bulan. Tentu akan lebih meyakinkan untuk memberikan kepastian kapan sebenarnya Muhammadiyah sudah ada di Depok bila dilengkapi tanggal, bulan, dan tahun didirikan.
Andai saja redaksi paragraf di atas itu begini:
Muhammadiyah didirikan pada 1952, bersamaan dengan Kecamatan Depok dipimpin oleh Kamaludin, seorang warga Muhammadiyah yang berasal dari Jasinga Kabupaten Bogor. Sebagai sesama warga Muhammadiyah, M. Usman dan kamaludin saling berkenalan. Atas perkenalannya itu mereka berdua bersepakat mendirikan Cabang Muhammadiyah Depok. Kesepakatan itu terlaksana. Muhammadiyah Depok didirikan. Waktu pendiriannya disaksikan oleh Kamil Jamil Konsul Muhammadiyah Daerah Bogor, bertempat di Kantor Kecamatan Depok.
Nah, bila redaksinya demikian, tidak mungkin multitafsir. Dan, kecil kemungkinan timbul pertanyaan untuk mencari kepastian, “Ini tahun 1952 tahun didirikannya Muhammadiyah, atau tahun Kamaludin jadi Camat Depok?”

Maka, bagi saya tidak ada salah, apalagi salah fatal narasi pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami pada halaman 35 soal tahun 1961. Jadi, Muhammadiyah boleh jadi sudah eksis pada 1952 di Depok, namun legalitas resminya baru tahun 1961. Inilah yang saya pahami.

Sebenarnya, bila mau disebut salah fatal dan dipersoalkan, data tahun 1953 yang saya ambil sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah di Depok—dalam hal ini adalah Kukusan—bukan 1952 seperti yang disebut H. Nawawi. Dalam soal ini—untuk keberadaan Muhammadiyah di Depok—saya tidak mengutip buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”.

Di buku Matahari Terbit di Kampung Kami, tahun 1953 saya ambil sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah Depok. Bahkan 1953 saya sebut sampai tiga kali. Satu kali pada halaman 30, dan dua kali pada halaman 34—pada edisi revisi, satu kali disebut pada halaman 35, dan dua kali disebut pada halaman 40.

Saya menganalisis sumber lain untuk mengambil data 1953.

Pertama, sumber dari Iis Muala Wati, “JEJAK KH. M. USMAN MEMBANGUN MUHAMMADIYAH DI KOTA DEPOK” yang dimuat di https://pdmdepok.com/jejak-kh-m-usman-membangun-muhammadiyah-di-kota-depok/. Pada situs ini disebutkan, pada tahun 1953, KH. M. Usman ikut menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto, Jawa Tengah. Inilah titik awal berdirinya Muhammadiyah di Kota Depok. Clear, jelas sekali.

Informasi Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto yang berlangsung pada 1953 memang patut dipertimbangkan. Pasalnya, M. Usman menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah itu.

Perkembangan Muhammadiyah di bidang pendidikan, ibadah, dan sosial kesehatan dari berbagai daerah disiarkan dalam muktamar ini. Kemajuan Amal Usaha Muhammadiyah yang disiarkan saat itu sangat menggembirakan dan membuat kagum M. Usman. Makin tertariklah beliau buat mendirikan Muhammadiyah. Maka, bisa dimengerti, sepulangnya dari Purwokerto, tidak beberapa lama kemudian beliau mendirikan Muhammadiyah di Kukusan.

Sumber kedua, laman webiste https://profil.mediamu.com/kh-muthalib-usman-ulama-pejuang-dan-tokoh-pendiri-muhammadiyah-depok-jawa-barat. Pada laman website ini, secara eksplisit disebutkan M. Usman baru merintis Muhammadiyah pada 21 Juni 1953, kira-kira sebulan sebelum Muktamar di Purwokerto digelar.

Akan tetapi, bila dikatakan 1952 M. Usman sudah merintis Muhammadiyah, ini masih logis. Sebab, yang namanya merintis baru sekadar meletakkan dasar-dasar, menyiapkan segala keperluan sebelum semuanya benar-benar siap. Walaupun H. Nawawi menyebut Muhammadiyah sudah ada pada 1952, pastilah ada sumber yang dijadikan rujukan.

Dari dua data; 1952 dan 1953, keduanya bisa dianggap mendekati benar. Hanya saja, saya memilih 1953 sebagai tonggak Muhammadiyah berdiri di Depok. Data ini lebih meyakinkan saya bila dihubungkan dengan peristiwa hadirnya M. Usman pada Muktamar ke-32 yang baru berlangsung pada 9-14 Juli 1953 sebagai aktor di balik berdirinya Muhammadiyah Depok setelah pulang dari Muktamar. Maka, bila pada 21 Juni 1953 M. Usman baru merintis Muhammadiyah Depok, ini masuk akal.

Sorotan berikutnya akan saya ulas pada tulisan mendatang.

Depok, 11 Mei 2025 setelah Isya yang sejuk.