Matahari Terbit di Kampung Kami


yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya itu dan Simalungun itu saya.

Poin ketiga sorotan Tajam buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang disampaikan H. Nawawi soal peran Muhasim. Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo Periode 1987-1995 ini pernah menjadi utusan KTNA (Kelompok Tani dan Nelayan Andalan) Depok pada acara Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara pada 22-27 Juli 1986.

Buku Matahari Terbit di Kampung Kami memuat sejarah berdirinya Muhammadiyah Ranting Pulo. Mengulas juga para pimpinan ranting yang sudah wafat. Muhasim adalah salah satu Ketua Pimpinan Ranting. Maka, pada bagian dari sub judul buku ini ada mengulas secara ringkas biografi dan kiprah Muhasim, termasuk informasi tentang keterlibatan Muhasim dalam gerakan tani pada “Kelompok Tani Sari Jaya” di Kampung Pulo dan KTNA.

Kiprah Muhasim pada gerakan tani hampir semua orang asli Kampung Pulo tahu. Saya juga tahu, karena sempat dilibatkan sebagai anggota “Kelompok Tani Sarijaya” meskipun hanya sekadar penggembira memakai kaus kuning Golkar bertuliskan “Kelompok Tani Sari Jaya” sewaktu ada acara kunjungan pejabat meninjau gerakan tani di Kampung Pulo.

Narasi kiprah Muhasim dalam gerakan tani dan KTNA, bisa sampai ke Simalungun, dan bertemu dengan Ibu Tien Soeharto di Istana Negara saya dapat melalui wawancara dengan ahli warisnya. Informasi tambahan tentang KTNA—terutama soal perhelatan di Simalungun—saya gali dari media untuk melengkapi hasil wawancara.

Akan tetapi, narasi tentang kiprah Muhasim dalam gerakan tani dan soal Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara dinilai “salah fatal”. Dalam waktu yang sempit menjelang bedah buku itu, H. Nawawi berkata, “yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya itu dan Simalungun itu saya.” Beliau kemudian menunjukkan beberapa dokumen foto dan piagam penghargaan untuk memperkuat alasan kesalahan fatal narasi pada buku saya ini.

Sekali lagi, saya sangat terbuka dengan kritik atau sorotan tajam atas semua buku yang saya tulis dengan penghakiman “salah fatal” sekalipun. Apabila kritik itu argumentatif dan substansial, saya sangat senang dan tidak keberatan untuk memperbaiki atau memasukan catatan tambahan pada edisi penerbitan berikutnya. Namun, sorotan H. Nawawi untuk kasus narasi keterlibatan Muhasim pada gerakan tani di Kampung Pulo dan Simalungun sambil menyodorkan dokumen-dokumen, itu sama sekali bukan “salah fatal”, melainkan hanya sekadar pemberitahuan bahwa H. Nawawi yang berperan.

Saya tidak mengingkari peran H. Nawawi seperti yang diutarakannya sebelum acara launching itu. Namun, pahamilah juga, saya sedang menarasikan fakta Muhasim sebagai sosok Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo, pernah aktif dalam gerakan tani, dan pernah ikut menghadiri Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara pada 22-27 Juli 1986. Itu saja. Jadi, saya sedang menarasikan sosok Muhasim, bukan orang lain.

Adapun fakta bahwa H. Nawawi lah yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya Lama dan ikut hadir di Simalungun, itu soal lain. Meskipun tidak disinggung perannya pada narasi soal Muhasim di buku buku Matahari Terbit di Kampung Kami, itu bukan suatu kesalahan, apalagi “salah fatal”.

Inilah tiga poin “salah fatal” pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang langsung disampaikan H. Nawawi kepada saya. Saya tidak menanggapi “salah fatal” yang lain yang dibeberkan H. Nawawi kepada beberapa orang—saya tahu dari informasi yang sampai kepada saya soal ini. Saya tidak menanggapi karena takut keliru menangkap substansi dari kesalahan yang dimaksud beliau.

Maka, bolehlah saya sebut, sorotan tiga poin “salah fatal” pada buku buku Matahari Terbit di Kampung Kami terlalu dipaksakan. Baiklah saya rangkum jawaban saya pada dua tulisan sebelumnya di sini.

Sorotan pertama, soal tahun 1961 pada Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961 sebagai legalitas pengakuan secara resmi PP Muhammadiyah atas keberadaan Muhammadiyah di Depok. Pada poin ini, H. Nawawi salah persepsi. Dalam persepsi saya, surat PP Muhammadiyah itu bukan menunjukkan berdirinya Muhammadiyah di Depok pada 1961, tapi legalitas pengukuhan berdasarkan dikeluarkannya surat tersebut. Adapun Muhammadiyah di Depok, jelas-jelas saya tulis pada buku  Matahari Terbit di Kampung Kami sudah dirintis H. Mualim Usman pada 21 Juni 1953, sebulan sebelum beliau menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto yang berlangsung pada 9-14 Juli 1953. Sepulangnya dari muktamar itulah H. Mualim Usman mendirikan Muhammadiyah di Kukusan.

Sorotan kedua narasi soal H. Nipan pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami. Narasi tentang H. Nipan pada buku saya ini sangat menentang Muhammadiyah dan melontarkan kalimat provokatif itu disebut H. Nawawi “salah fatal”. Menurut H. Nawawi, pelakunya bukan Nipan, melainkan H. Saprin sambil menunjukkan narasi pada bukunya; 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok.

Pada poin ini, H. Nawawi lebih salah persepsi lagi. Sebab, Nipan yang H. Nawawi bayangkan, bukanlah H. Nipan yang dimaksud narasumber saya. Ini jelas salah orang. Memang, H. Saprin mengeluarkan juga kalimat provokatif. Tapi, bunyi kalimat provokatif H. Nipan dan H. Saprin beda; beda kata, beda kalimat, dan beda redaksi. Coba bandingkan:

Kata H. Nipan: “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!”
Kata. H. Saprin: “Antum rijalun wa nahnu rijal.”

Dua orang ini sama-sama penentang Muhammadiyah yang sangat keras. Dua orang ini sama-sama menyampaikan kalimat provokatif di rumah Micang. Hanya saja, H. Nawawi mengutip ucapan H. Saprin, narasumber saya mengutip ucapan H. Nipan.

Jadi, sorotan “salah fatal” buku Matahari Terbit di Kampung Kami soal H. Nipan ini, tidak lebih seperti peribahasa “jauh panggang dari api”. Lagi pula, perlu juga H. Nawawi memahami teknik mengutip, dalam hal ini soal sumber kutipan pada footnote sebuah buku. Pada footnote buku Matahari Terbit di Kampung Kami, saya tidak mengutip dari buku 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok. Terus, “salah fatal”-nya di mana?

Sorotan ketiga, soal Muhasim, ulasan pada tulisan ini.

Lebih dari itu, saya mengucapkan terima kasih kepada H. Nawawi yang memberi perhatian pada buku saya apapun motivasi di balik sorotan tajamnya pada buku saya ini. Namun, sebagai penulis, bila sorotan itu memang perlu saya tanggapi sebagai tanggung jawab ilmiah, maka saya punya ruang untuk melakukannya, baik secara lisan maupun tulisan. Semoga beliau sehat-sehat selalu.

Kamis, 22 Mei 2025.
Ruang kelas yang sejuk sambil nungguin PH Sejarah Kebudyaan Islam