Langsung ke konten utama

MENULIS DI ATAS GUNUNG

Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta).


UDARANYA bersih, segar. Hawanya sejuk. Tanahnya rimbun oleh pepohonan. Beberapa bagian dari konturnya masih berupa hutan, lembah, dan ngarai. Pada ketinggian tertentu, jurang menganga, topografi khas daerah pegunungan. Suara tonggeret bersahutan memecah sunyi.

Sungai membelah batas wilayah, berkelok-kelok mengikuti kontur tanah. Bebatuan tampak berkilat dibasuh sisa hujan. Posisinya yang di tengah aliran membentuk riak air. Di sisi kanan dan kiri, hamparan sawah menguning. Kemuningnya menghibur mata sejak dari kejauhan. Belum lagi ketenangan, keramahan, dan keaslian suasana desa yang melenakan. Rasanya, menjejak kaki di Desa Sukajaya, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat tak ubahnya menikmati relaksasi otak dari kebisingan kota.

Malam sebelum tiba, lukisan alam sedemikian eksotik itu tak tampak. Kehitaman malam yang pekat selepas perlintasan perkotaan sekitar Cikijing menutup rapat-rapat eksotiknya. Andaikata tidak ada lampu mobil yang memandu menapaki aspal menembus hutan, malam benar-benar sehitam jelaga, kecuali cahaya gemerlap bak bintang di lembah dataran rendah yang memendar dari bangunan rumah penduduk. Jalan berkelok, tikungan tajam menanjak, pun hanya dirasa dari posisi mobil yang miring ke atas. Mobil meliuk-liuk meninggalkan kaki gunung dengan suara gas yang konstan. Selebihnya, perjalanan diisi silih berganti dengan tidur, terjaga, membasahi kerongkongan, atau berandai ketakutan. Otak menghayal nakal, membayangkan tiba-tiba ada macan atau singa melompat dari semak-semak nangkring di balik kaca mobil. Raja Hutan itu menatap tajam sambil berujar: “Selamat malam! Numpang ya, Om?” 

Satu momen tak akan bisa terlupa seumur hidup melintas. Malam saat perjalanan menembus hutan menuju Sukajaya itu, laiknya malam yang mengintai buat merenggut jantung. Bagaimana tidak? Dalam satu tanjakan dengan tikungan curam, mobil berhenti, gagal menanjak. Bau hangus minyak rem menusuk hidung. Mesin menjerit, mobil mundur perlahan beberapa meter. Mobil berhenti buat mengambil aba-aba dengan injakan gas sesuai instruksi pemandu. Mobil berhenti lagi, gagal menanjak untuk kali kedua. Stag.

“Gas terus,” ucap pemandu.

“Ya, Allah! Selamatkan kami,” desau hati ketakutan. 

Mata seperti berair dan hati mengiba-iba bergantian merasakan ngeri meminta keselamatan dari sulitnya medan Ciparigi. Berhasil. Alhamdulillah. Kalau saja bukan karena Allah menyelamatkan, bisa jadi esok harinya, koran-koran lokal Ciamis sudah memuat berita ada mobil masuk jurang Ciparigi di malam buta, di pinggiran hutan wilayah Kuningan menuju Ciamis.

Villages Humanity

DEBUR jantung mengendur. Makan malam dengan menu sop ayam kampung yang amat sedap, gurame goreng, kerupuk udang, sambal segar plus lalap leunca serta mentimun, dan keramahan tuan rumah menjamu benar-benar meleburkan debur jantung menjadi stabil kembali. Sejenak, hilanglah ketegangan peristiwa di tanjakan itu. Ngerinya yang masih 'mengintil' sampai ke meja makan  buyar, menguap, diempas air muka perjamuan yang bersahaja.

Begitu pagi menjelang, selepas shalat Subuh, otak benar-benar seperti baru. Perasaan sesejuk menyesap embun pagi. Sekali lagi, nikmat pagi disempurnakan oleh air muka sahibulbait dengan selaksa kerendahan hati. Berkali-kali sang tuan rumah meminta maaf, khawatir menu hidangan yang disediakan dan kamar untuk istirahat tidak memenuhi selera orang kota. Padahal orang kota yang disuguhi menikmatinya ‘berkenan-kenan’. Itulah kearifan, itulah karakter orang-orang yang masih menghuni Villages Humanity, tempat paling autentik untuk menemukan keramahtamahan dan ketulusan.

Keramahtamahan, ketulusan, dan kerendahan hati rupanya belum selesai. Ia masih dijumpai pada sivitas akademika Madrasah Aliyah Al Istiqomah Rajadesa, tempat workshop Kurikulum 2013 dan Literasi digelar. Para guru, pengurus yayasan, dan peserta didik di sana seakan hendak menempatkan tamu mereka di atas singgasana Kerajaan Pasundan. Rasanya, narasumber ibarat para ‘Raden’ yang turun gunung menyapa rahayat.

Keramahtamahan itu begitu tampak saat peserta mengikuti dua sesi workshop; kurikulum dan literasi, sejak pukul 08.00 sampai 16.00, antusiasme mereka tak jua mengendur.

Villages Humanity itu begitu dekatnya dari jangkaun perasaan dan tatapan mata di MA Al Istiqomah. Jarang-jarang bisa menikmati view wujud hutan mahoni dari depan kelas dengan simponi suara tonggeret saling berkejaran. Batang, dahan, dan rantingnya begitu sedap di mata. Saat hujan turun mengguyur sekitar setengah empat sore tiga puluh menit menjelang workshop selesai, tampak jelas hutan mahoni itu seperti bersorak menadah air, meliuk-liuk diempas angin seperti tarian gembira mendapat rezeki dari langit. Lalu aroma tanah menguap, harum seharum wewangian tanpa wujud. 

Sukajaya memang desa yang elok, seperti gambaran hutan mahoni di depan kelas itu. Ada empat kampung di wilayah ini; Citapen Pasir, Citapen Landeuh, Jamuresi, dan Kampung Bentuksari. Bisa ditebak, keempat desa itu mesti sama eloknya, sama cantik dan eksotiknya. Hanya saja, geografis Sukajaya berada paling utara dari Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan Kabupaten Kuningan. Ia berada jauh di atas gunung.

Beruntung sekali orang Sukajaya dititipkan kekayaan panorama yang memukau. Di sana ada bukit Upsa dan puncak Rahong (Gambar Puncak Rahong, diambil dari https://deskgram.co/). Dari ketinggian bukit itu, panorama Gunung Cakrabuana dan Gunung Ciremai bertengger begitu cantiknya. Di bawahnya hamparan sawah, hijau ranau pegunungan kecil, serta lenturnya liukkan Sungai Cijolang yang membatasi wilayah Ciamis dan Kuningan. Sayang, karena sempitnya waktu, tak sempat menikmati suguhan alam pada kesempatan itu. 

Menulis Dengan Rasa

TIGA jam sharing materi literasi menulis di hadapan guru-guru MA Al Istiqomah terasa tak cukup. Setidaknya, begitulah kata mereka. Sejatinya, waktu sependek itu memang tak cukup. Apalagi mengharap ada produk antologi, kecuali ada follow-up yang terukur untuk mewujudkan harapan tersebut.

Merasakan langsung potensi menulis guru-guru MA Al Istiqomah hari itu, rasanya harapan sebentuk antologi bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Sangat mungkin mereka bisa mewujudkannya, atau bahkan karya solo sekalipun. Darimana itu bisa diketahui? Dari memecahkan misteri susahnya menulis.

Misteri bahwa menulis itu susah bermula dari persoalan ide. Namun, problem ide ini mulai terurai dengan quote sharing. Quote sharing sangat penting untuk mendorong adrenalin belajar menulis naik sampai tangga naskah berhasil diciptakan. 
“If there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it.” Begitu kata Morisson.
“Penulis yang masih muda, meniru. Penulis yang sudah berpengalaman, mencuri ide.” kata T. S. Eliot, Penyair, Peraih Nobel sastra (1948) dari Amerika 1888-1965.
“Jika kamu ingin menjadi seorang penulis, hal penting pertama hanyalah menulis. Jangan tunggu ide. Mulailah menulis sesuatu dan ide akan datang.” kata Louis L’Amour, Penulis dari Amerika Serikat 1908-1988. 
'Hantu’ nggak punya ide dibalikkan narasumber seratus delapan puluh derajat. Peserta diyakinkan bahwa ide menulis itu berserakan di mana-mana. Selama orang itu masih hidup, punya otak, punya hati dan perasaan, itulah sumber ide. Bahkan bagi orang yang sudah terbiasa dan terlatih menulis, orang mati sekalipun bisa menjadi sumber ide menulis.

Salah satu peluang di zaman social media hari ini adalah everyone can be a writer,  meskipun sekelas penulis status di akun Facebook. Banyak orang tidak menyadari bahwa saat ia membuat status di akun Facebooknya sebenarnya dia sudah boleh disebut seorang penulis; penulis status. Masalahnya, tinggal bagaimana menulis konten status layaknya ‘penulis beneran’, bukan status alay yang tidak jelas garis nasab genre-nya. Apalagi meracau menumpahkan emosi kegalauan, marah-marah, curhat yang tidak jelas sabab musababnya. Bukan, bukan begitu. Menulis saja dengan hati, dengan perasaan.

Sekali lagi, ide menulis itu berserakan di mana-mana. Pengalaman, sering mengamati, suka membaca, punya hobi, punya keahlian, atau hanya punya imajinasi sekalipun, itu kekayaan ide yang bisa ditulis. Kekuatan itulah yang dibangun narasumber di MA Al Istiqomah. Dan, seperti angin berembus mengusir kabut, remang-remang soal kebuntuan ide menulis menjadi jelas dan tersambungkan di benak para peserta.

Peserta kemudian diajak bermain kata. Satu kata direproduksi menjadi kata baru. Dimulai dari suku kata terakhir sebuah kata. Suku kata terakhir itulah yang direproduksi menjadi kata-kata baru. Kata-kata baru itu kemudian dirangkai menjadi paragraf atau wacana. 

Nara sumber memberi contoh mengutip Fuadi:

SEGI. Suku kata terakhir kata ‘Segi’ adalah ‘gi’. ‘Gi’ direkayasa menjadi sebuah kata yaitu ‘Gila’. Seterusnya lahir kata baru dari suku kata terakhir kata ‘Gila’ yaitu ‘Laci’, ‘Cita’, ‘Tali’, ‘Lisan’, ‘Sandang’, dan terakhir ‘Dangkal’.

Oleh Fuadi, kata-kata baru itu kemudian dirangkai menjadi wacana berikut:
“Manusia gila tak pernah punya cita-cita sedikit pun. Pertalian dengan mimpinya saja tidak, apalagi melisankannya. Setiap kali bangun pagi, ia tak peduli ada berapa uang di lacinya, berapa banyak sandang-pangan yang ia punya. Pikirannya bukan saja sedangkal parit.“
Rupanya teknik ini sangat menarik peserta workshop. Ide mereka seakan menyembul-nyembul dari balik kepala ingin segera dituangkan. Narasumber meminta peserta mulai memainkan rasa untuk memproduksi kata baru dan menuliskannya menjadi wacana.

Dari Kata Menjadi Wacana

KATA ‘LITERASI’ dilontarkan narasumber. Secara bergantian, peserta mereproduksi kata baru seperti teknik yang sudah mereka pahami. Dari kata ‘LITERASI’ itu lahir kata ‘Siapa’, ‘Pagi’, ‘Gila’, ‘Lalu’, ‘Lusa’, ‘Sabtu’, ‘Tuan’, ‘Anda’, ‘Daerah’, dan ‘Rahasia’.

Dan, peserta mulai beraksi.

Keren. Lebih kurang sepuluh menit, peserta mampu menulis wacana dari kata-kata tersebut. Hasilnya cukup memuaskan. Hasil itulah yang ditangkap narasumber untuk memberi penguatan. Optimisme tumbuh spontanitas. Peserta sangat mungkin akan mampu menulis satu topik sesuai dengan pijakan idenya masing-masing. Buktinya, mereka berhasil memainkan kata menjadi wacana yang menarik.

Sebagai apresiasi kepada mereka, beberapa wacana itu ada baiknya dituangkan di sini.

Karya Pak Asep:
“Di sabtu pagi, orang gila itu telah membuat hidup saya terasa ricuh. Siapakah Tuan yang berani beraninya telah membebaskan orang gila tersebut lepas dari kurungannya setelah sekian lama dipenjara di hutan di rumah tak berhuni? Di rumah itu dia selalu termenung di atas tangga memperhatikan orang-orang yang selalu lalu lalang.”
Karya Ibu Nina :
Sabtu pagi di suatu daerah, terdapat tanda rahasia akan datangnya Tuan dari kota yang membuat Anda gila, sehingga membuat suasana hati menjadi ricuh lalu teringat sampai lusa.”
Karya Ibu Hani
“Ada tanda di sebuah daerah di mana daerah tersebut memiliki rahasia. Yaitu, barang siapa yang menyusuri jalan pada pagi hari ia akan gila. Lalu pada lusa selanjutnya, tepatnya hari Sabtu, ada seorang Tuan yang mencoba menyusuri jalan pada pagi hari. Tiba-tiba Anda melihatnya dan akhirnya memberi tahu Tuan tersebut. Namun sayang, Anda berdebat dan tidak bisa terlepas dari ricuh.”
Karya Pak Opik:
“Tangga pembangunan yang ada di daerah terus naik seiring dengan rahasia perencanaan pemerintah yang entah siapa yang merancangnya. Cuaca pagi di desa semakin indah dan membuat hilang gilanya penat kota yang semakin panas. Lalu hari terus berganti menciptakan harapan anak-anak desa untuk esok hari dan lusa semakin cerah. Hari Senin sampai Sabtu menjadi hidup dengan berjalannya pendidikan di desa ini yang pernah Tuan ciptakan. Saya dan Anda mempunyai cita-cita yang sama mengubah desa dari ketertinggalan, menjauhkan ricuhnya kehidupan dengan menciptakan ketenangan."
Narasumber terkesima dengan tulisan hasil imajinasi peserta. Tampaknya, peserta pun seperti terbangun dari mimpi. Mereka seakan siuman menyadari kekuatan imajinasi menjadi ide menulis melalui bermain kata. Seolah mereka tak percaya bahwa mereka bisa menuliskannya dan membacakan wacana yang mereka tulis secara bergantian. Waw! Itu seperti sebuah pertunjukkan “Menulis Di Atas Gunung”. 

Hei Bapak Ibu! Iya, kalian guru-guru di atas gunung. Wujudkan impian punya antologi. Ayo jadi guru literat! Pasti bisa. Sebab kalian hebat dan tinggal di daerah yang kaya ide untuk dituliskan.

Salam literasi.



Senin, 16 Desember 2019, dua hari setelah workshop.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.

Komentar

  1. Emang mantul, kalau sudah jatuh ditangan penulis,, ide sekecil apapun akan menjadi indah,, terima kasih share Ilmu dan Pengalamanya,, 🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap