Langsung ke konten utama

DYAH (Bagian 2)



ENTAH di mana Dyah sekarang. Aku ingat-ingat, sudah hampir dua puluh tahun lebih aku tidak menjumpainya lagi di stasiun sejak aku lulus kuliah. Hari ini aku merindukannya karena putriku menjadi jembatan penghubung kenangan itu. Hari terakhir bertemu Dyah, usianya lebih kurang seumuran putriku sekarang. Aku benar-benar rindu warna rambut dan suara cengkoknya saat ia mengamen. Lebih-lebih, aku rindu pikiran dewasanya.

Aku merasa Commuterline masih melaju kencang. Aku tengah terbuai melamunkan Dyah. Hingga kecepatan kereta mulai diturunkan masinis, aku masih melamunkan gadis itu yang kubayangkan dia sudah menjelma menjadi gadis dewasa. 

Suara gesekan roda kereta di atas rel berdenyit, disusul aroma besi terbakar menyeruak menyadarkanku. Rupanya stasiun tujuanku sudah hampir sampai. Commuterline melambat. Tapi aku masih seperti sedang bercengkrama dengan Dyah, sementara putriku sudah berdiri bersiap-siap untuk turun.

“Ayah, sudah sampai!” seru putriku mengingatkan.

“Oh! Sudah sampai?”

“Eh, Ayah ngelamun, ya?”

“Ah, eng ... enggaak,” kataku salah tingkah. “Ayo turun!” kataku menghapus jejak lamunan di rona wajahku yang memerah.

Ya, aku melamun, melamunkan Dyah sejak dari Stasiun Depok Baru hingga Pasar Senen. Begitu dalam aku melamunkannya. Aku melamunkan sekolahnya. Jika Dyah benar-benar jadi nyantri, mungkin Dyah sudah jadi santri senior atau bahkan sudah menjadi ustadzah di pondok. Hari ini, saat aku mengantar putriku kembali ke pondok setelah liburan semester, seolah aku sedang mengantar Dyah meluluskan harapannya menjadi santri seperti keinginannya dahulu.

Aku melamunkan lagi uang lima puluh ribu pemberianku buat membeli obat tetangganya yang sakit. Susah payah aku memaksa sampai Dyah menerima uang itu. Ini yang benar-benar aku lamunkan, bagaimana bisa, Dyah yang susah payah mencari uang untuk sesuap nasi dengan mengamen, tetapi masih memikirkan buat meringankan beban orang lain?

Empati Dyah yang sedemikian itu aku perbandingkan dengan putriku. Sering perbandingan itu berakhir dengan ketakutan. Aku takut, putriku yang menikmati pendidikan dan buaian, serta pendampingan dari Ayah Bundanya, tidak memiliki empati seperti Dyah yang lahir dari keterbatasan-keterbatasan. Bila itu terjadi, aku tak menyalahkan putriku, melainkan kegagalanku sebagai orang tua.

Sebab itulah aku begitu bersemangat saat putriku memutuskan untuk memilih pondok selepas lulus SD. Boleh dibilang, ini keputusan berani dari putriku yang ‘rumahan’ memutuskan berpisah dari keluarga dalam ukuran jarak sejauh Depok-Yogyakarta. Kerap aku membayangkan, malam-malam putri pertamaku ini menelpon sambil menangis minta dijemput pulang. Atau ngambek tidak mau kembali ke pondok saat liburannya usai. Betul, aku betul-betul khawatir itu terjadi. Tapi rupanya tidak. Aku senang karena putriku kerasan. Aku bangga padanya. Aku juga bangga pada pondoknya yang berhasil mengikat hati putriku.

Antrian mengular. Boarding terasa melelahkan. Akhirnya sampai juga di pintu boarding pass. Aku keluarkan KTP dan tiket. Namun sedetik kemudian aku terkejut.

“Pak, maaf. Jadwal keberangkatan Bapak, baru esok malam,” kata petugas.

Putriku yang berdiri di samping kaget. Aku bahkan lebih kaget.

“Hah?”

“Iya. Ini lihat. Di tiket Bapak, tertulis keberangkatan tanggal 12 pukul 09.00. Sekarang, kan baru tanggal 11, Pak.”

“Astaghfirullah!”

Aku hampir tidak percaya. Aku seperti orang yang tengah tidur nyenyak dibangunkan keras-keras. Kaget, bingung, linglung, dan tidak percaya jadi satu. Aku bahkan merasa seperti orang yang tidak bisa membaca tanggal keberangaktan. Aku bolak-balik tiketku, kubaca berkali-kali jadwal keberangakatan, seakan-akan bisa mengubah waktu keberangkatan menjadi hari ini. Berkali-kali aku lakukan itu. Tapi, semua tak mengubah segalanya. 

Dalam hati, aku mengutuki costumer service tempat aku membeli tiket. Jangan-jangan, dia salah memasukkan tanggal keberangkatan saat aku memesan. Tapi, apa iya? Bisa jadi malah aku yang salah memilih tanggal. Ya, Tuhan. Mengapa bisa jadi misschedule begini?

Kupandangi putriku yang masih terlihat kebingungan.

“Kak, Ayah enggak ngerti. Kita salah jadwal. Jadwal keberangkatan kita besok malam,” kataku.

“Terus? Kan, besok kakak harus sudah masuk pondok, Yah. Gimana dong?”

“Ayah akan telpon mudir. Ayah akan jelaskan alasan keterlambatan Kakak masuk pondok. Ini bukan kesalahan Kakak, kok. Ini kesalahan ayah saat memesan tiket.”

Malam itu kami kembali ke rumah dengan menyisakan pertanyaan sederhana yang tidak bisa aku pecahkan tentang muisschedule itu.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap