Langsung ke konten utama

QURBAN BAYRAMI

I Love Turkey

"Mulanya hanya kosa kata, lalu dia menjadi bayi yang lucu. Pada Ahad pagi, 20 Desember 2007, kosa kata itu betuah untuk kali pertama. Saya tidak tahu, skenario Allah berjalan begitu sangat sempurna bagi kelahiran anak ketiga saya." 

I LOVE Turkey bukan berarti nasionalisme saya atas Indonesia kalah dengan Turki. Meski saya tidak terlalu suka dengan teriakan “NKRI Harga Mati”, atau “Saya Indonesia” bukan alasan I Love Turkey sudah cukup dijadikan indikasi bahwa saya warga negara radikal, musuh negara. Indonesia bukan harga mati, juga bukan kita atau saya. Indonesia itu nama negara. Saya lahir dan besar di Indonesia, bahasa saya Bahasa Indonesia, KTP saya dan paspor saya Indonesia, mau apa lagi? Kalaupun dipaksakan saya radikal, saya juga berhak memaksa makna radikal itu sesuai keinginan saya. Radikal bagi saya adalah ‘rasional, terdidik, dan berakal’. Boleh, kan?

Siapa yang tidak sedih? Makin hari, jargon ‘NKRI Harga Mati’ atau ‘Saya Indonesia’ malah kehilangan makna. Apa sesungguhnya yang diinginkan dari jargon itu diteriakkan di depan publik dengan gegap gempita, sementara peneriaknya ditangkap KPK karena korupsi? Masa, jargon sedemikian gagah itu tak kuasa melindungi tubuh peneriaknya dari ganasnya rompi orange KPK. Lalu, siapa sesungguhnya yang tidak cinta NKRI?

Stop! Saya sudahi soal rompi orange KPK sampai di sini. Tulisan ini bukan ingin menguliti topik itu. Tulisan ini ingin mengajak pembaca bersenang-senang dengan I Love Turkey seakan pembaca sedang terbang bersama saya ke bekas pusat peradaban Romawi Timur itu.

Ada alasan mengapa saya harus mengatakan I Love Turkey. Adalah kosakata Qurban Bayrami sebagai pemicunya. Saya bersyukur, kekaguman pada kosa kata inilah yang pada akhirnya menyusun fragmen sisa-sisa Ottoman Empire yang melegenda menjadi kisah nyata yang ingin saya sajikan.

Qurban Bayrami pertama kali saya temukan kosakata itu sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Saya lupa persisnya awal mula kosa kata itu bisa menjadi milik saya. Pada semester berapa kosa kata itu saya temukan pun, hampir tidak bisa saya ingat kapan pastinya. Bila tak salah pada kisaran 1995, awal masuk program konversi dari Diploma 2 ke jenjang S-1 IAIN (sekarang UIN) Jakarta. 

Yang saya ingat betul, bahwa saya menyalin kosakata itu di buku catatan kuliah. Buku itu pun entah di mana sekarang berada, saya tak tahu. Mungkin sudah lapuk dimakan masa yang terlewat di tempat barang-barang bekas. Tetapi Qurban Bayrami manjadi kosa kata yang terpahat di hati saya sampai kapan pun. Dia tidak hilang dimakan zaman sampai nanti saya harus mengucap selamat tinggal pada zaman saat tarikan napas terakhir saya berembus. 

Entah, saya begitu terkesan dengan kata yang bermakna “Hari Raya Idul Adha” itu. Ia enak disebut, enak didengar, dan unik. Setidaknya untuk saya. Saat saya menyalinnya, terbetik dalam hati, “Kelak, jika saya punya putra, saya akan beri nama dia dengan nama ini.”

Selain kosakata itu, Konstantinopel, Aya Sophia, Blue Mosque, Grand Bazaar, Topkapi Palace, atau bunga tulipnya, adalah daya tarik yang lain yang semakin menambah bobot I Love Turkey semakin menggairahkan. Tetapi dari semuanya, ada yang paling membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada Turki, yaitu Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Benteng Konstantinopel.

Ottoman Empire, Muhammad Al-Fatih, inilah keyword bagi seorang guru Sejarah Kebudayaan Islam saat di kelas dia menarasikannya dengan gegap gempita tetapi kabur sebab masih meraba-raba gambaran utuh wujud fisiknya. Dan kosa kata Qurban Bayrami seolah menjadi ‘mantra’ bagi Turkish Airlines menjadi sapu terbang mengajak sang guru bisa menginjakkan kaki di pelataran Konstantinopel delapan belas tahun setelah kosa kata itu disalin di buku hariannya. Sampai hari ini, sang guru tak percaya pada takdirnya yang sudah berlalu itu. Kosakata itu benar-benar bertuah untuk kali kedua.

Mulanya hanya kosakata, lalu dia menjadi bayi yang lucu. Pada Ahad pagi, 20 Desember 2007, kosakata itu betuah untuk kali pertama. Saya tidak tahu, skenario Allah berjalan begitu sangat sempurna bagi kelahiran anak ketiga saya. Dua minggu berlalu dari perkiraan melahirkan yang mulai mencemaskan, rupanya Allah ingin mengabulkan azam saya pada buku catatan kuliah itu. Allah ingin memberikan tanggal mulia pada Ahad 20 Desember itu sebab bertetapan pada 10 Dzul Hijjah 1428 H, tepat saat saya melangkah untuk menunaikan tugas menjadi khatib dan imam shalat Idul Adha. Apakah ini sebuah kebetulan? Saya tidak tahu. Yang saya sadari, air mata saya meleleh saat mendengar tangis bayi itu untuk kali pertama melalui sambungan handphone.

Saat kisah ini saya tulis, Qurban Bayram Jaziila sudah genap 12 tahun lebih satu hari. Usianya yang genap 12 tahun jatuh kemarin pada hari Jum’at 2019, 23 Rabi’ul Akhir 1441 H. Rabi’ul Akhir adalah bulan hijriyah yang ke-4. Salah satu arti 'rabi’' dalam Bahasa Arab yakni ‘musim bunga atau musim semi’ sementara kaki saya menjejak Istanbul pada pertengahan Maret 2013. Bulan Maret itu awal musim bunga tulip mekar di Turki. Nanti puncak mekarnya terjadi pada bulan April, bulan ke-4 hitungan miladiyah. Apakah ini sebuah kebetulan juga? Ataukah ini cuma cocoklogi yang dipaksakan seolah-olah semua fakta itu saling berkaitan?

Jangan pernah anggap sepele serangkai kata-kata, bisa jadi dia akan menjadi kenyataan, begitu sering dikatakan orang. Saya memahaminya lebih dari sekadar jangan ‘menyepelekan’ kata-kata. Tapi katakan saja suara hati nurani tanpa memikirkan balasan akan begini dan begitu. Bebaskan saja hati Anda dari belenggu keinginan di balik kata yang dituliskan. Nanti, dia akan menemukan jalannya sendiri kapan saatnya akan menyampaikannya pada Anda. Anda cukup melupakannya sedetik setelah hal itu berlalu dan Anda benar-benar melupakannya. Anda baru akan menyadarinya kembali bila hal besar terjadi pada hidup Anda. Dan, hal besar itu punya relasi yang kuat dengan ketulusan yang sudah Anda lupakan itu cocoklogi atau bukan, bukan soal penting untuk diperdebatkan.

Ketulusan memang perkara privat, bahkan sangat privat. Soal kosakata Qurban Bayrami, kelahiran putra ketiga saya yang persis pada Hari Raya Qurban lalu saya beri nama Qurban Bayram Jaziila, kemudian Allah takdirkan saya bisa berangkat ke bekas kota kekaisaran Byzantium, itu benar-benar privacy saya. Dia bukan cocoklogi buat saya sebab semua premis-premis yang mengantar saya ke Konstantinopel saya bangun dengan kesadaran yang saya lupakan. Saya baru terbelalak saat orang yang mengajak saya ke sana berkata, “Sebelum umrah, kita ke Turki dulu, Pak.”

“Tidak kawan, semua yang kita petik adalah hasil usaha kita,” begitu sering orang ingin menampik dimensi spiritual perihal keberhasilan. Pendapat seperti ini seakan ingin mengeliminir campur tangan Tuhan dalam setiap capaian keberhasilan seolah Tuhan tidak hadir dalam kehidupan, seolah enggan mengaitkan keberhasilan sebagai bagian dari rasa syukur dengan mempersempitnya pada sikap jumawa, lupa diri, dan takabur. Nanti, saat terpuruk tiba-tiba datang tanpa permisi, barulah ratapan mengemis-ngemis dialamatkan pada pada Tuhan, seakan Tuhan lah sumber segala keterpurukan itu. Masih beruntung masih ingat Tuhan pada kondisi kritis. Yang menakutkan apabila pada kondisi kritis itu jiwa diambil alih oleh setan. Bahaya.

Dalam bahasa agama, ada sebuah riwayat yang begitu populer bagi dunia sugesti. Anda pasti ingat firman Allah dalam hadits qudsi, ”Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” Riwayat ini Muttafaq ‘alaih. Bagi saya, riwayat ini adalah literasi paling autentik soa relasi keinginan dengan restu Tuhan. Tuhan memberi seperti apa yang diminta kita.

Jadi jangan katakan cucuklogi jika niat, persepsi, kata-kata, bahkan cita-cita disandarkan pada Allah dengan ketulusan. Bisa jadi, itulah sebab dibukanya jalan yang mengantarkan Anda sampai pada apa yang dipersangkakan itu atas kemurahan Dia Yang Maha Rahman dan Rahim. Dan kosakata Qurban Bayrami sudah membuktikannya. Tak berlebihan bukan jika saya berkata, “I Love Turkey,” di pelataran Aya Sophia yang megah oleh sebab ketulusan mengagumi kosakata Qurban Bayrami?

Sekarang mulailah menyugesti diri sendiri pada segala hal yang positif. Teruslah berprasangka baik pada Allah dan biarkan prasangka itu memenuhi lembaran-lembaran hidup hingga Anda melupakannya karena saking banyaknya lembaran itu. Nanti, suatu ketika, Allah akan mengingatkan Anda dengan sesuatu yang tidak pernah Anda bayangkan. Nanti Anda baru sadar bahwa hal besar itu masih terkoneksi dengan prasangka baik pada Allah dan Anda sendiri sudah lupa kapan prasangka itu Anda deklarasikan.

Allahul musta’an.

Meruyung, Ahad, 22 Desember 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap