Langsung ke konten utama

Islam dan Akar Tradisi Literasi

Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta)

Iqra dan Literasi Arab Pra Islam

Tiga bulan lalu, tepatnya Ahad 8 September 2019, diperingati sebagai hari Literasi Internasional. Literasi Internasional mengingatkan kita pada tugas manusia di seluruh dunia bahwa manusia mengemban tugas literasi; literasi kehidupan. Literasi kehidupan sejak awal manusia ada sudah berjalan alamiah. Prosesnya sangat sederhana, hanya sebatas memberi pemahaman "bagimana bisa bertahan hidup di alam bebas". Lihatlah video  manusia purba di YouTube atau yang semisalnya, di sana tergambar jelas literasi kehidupan berupa teknik bertahan hidup. Teknik itu diwariskan secara turun temurun. Itulah literasi.

Sejauh mana gaung hari Literasi Internasional bagi Kaum Muslimin, belum bisa diukur. Seharusnya, antusiasme umat Islam lebih menggebu menyambut wacana ‘Hari Literasi’ itu. Bagaimana tidak, sebab 14 abad silam, wahyu pertama Al-Quran sudah bicara literasi; iqra! Baginda Nabi SAW sang penerima wahyu literasi itu, pun lahir dan diutus di tengah-tengah kabilah (Quraisy) yang memiliki budaya literasi yang kuat. Di mata mereka, orang yang sempurna (al-kamil) adalah sosok yang memiliki kecakapan menulis, di samping kecakapan berenang dan memanah.

Akar tradisi literasi Quraisy mengakar sampai ke sudut-sudut pasar. Pasar Ukaz, Dzil Majinnah, dan Dzil Majaz yang mereka bangun, bukan saja berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, melainkan mirip festival literasi. Di pasar itu, lazim digelar sayembara sastra. Karya sastra terbaik mendapatkan kehormatan, di mana nama penyair dan karya sastranya ditulis dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka’bah. Beberapa sastrawan yang mendapat kehormatan itu antara lain Mu’allaqah Imri al-Qais dan Mu’allaqah Zuhai bin Abu Salma.

Pada masa-masa awal dakwah nubuwwah, produk literasi sastra Quraisy berada pada dua jalan persimpangan; jalan penentang, dan jalan pendukung dakwah. Para sastrawan kelompok pertama mulai menyasar pada upaya-upaya kekerasan terhadap Nabi SAW. Karya-karya mereka bukan lagi murni karya literasi sastra. Ka’ab bin Zuhair (sebelum memeluk Islam) adalah contoh sastrawan Mekkah yang syair-syairnya kerap menghina Nabi SAW dan Islam. Begitu tajam syair-syairnya menyerang kepribadian Nabi SAW dan Islam, namanya masuk dalam daftar orang-orang yang tidak mendapatkan amnesti dari Nabi SAW. Andaikata bukan karena saudaranya; Bujair bin Zuhair menyuruh Ka’ab datang menemui Nabi SAW di Madinah untuk meminta maaf, bertobat dan memeluk Islam, hidup Ka’ab akan berakhir di ujung pedang.

Rasulullah SAW pun mengapresiasi syair selama syair itu tidak merupakan syair-syair celaan kepada agama. "Pernah suatu malam saat dalam sebuah perjalanan, Rasulullah SAW meminta kepada Hasan bin Tsabit untuk diperdengarkan syair. "Mana Hasan?" Tanya Rasulullah SAW. "Hadir, wahai Rasulullah," jawab Hasan. "Tolong dendangkan satu syair," pinta beliau.

Pada riwayat lain yang datang dari Amir bin Syarid disebutkan, bahwa "Aku berada di belakang Rasulullah SAW. "Apakah kamu punya syair Umaiyyah bin Shalt?" Tanya beliau kepadaku. Aku pun menjawab: "Ada." Rasulullah SAW pun berkata: "Tolong dendangkan satu bait saja." Maka aku pun mendendangkannya sampai seratus bait. Dan beliau pun mengatakan : "Umaiyyah hampir saja masuk Islam dengan syair-syairny."

Perang Badar dan Literasi Menulis

Di Madinah, Nabi SAW memperkuat tradisi literasi menulis. Di tahun pertama hijrah, pada 622 M, sebelum masyarakat dunia modern mengenal konstitusi tertulis, Nabi SAW memperkenalkan “Piagam Madinah”; konstitusi tertulis pertama di dunia. Gagasan beliau ini merupakan lompatan literasi yang spektakuler.

Jika urutan waktu kelahiran piagam bersejarah di dunia direkonstruksi, tampaklah kesenjangan waktu yang amat panjang. Magna Charta, yang berarti ‘Piagam Besar’, baru disepakati di Runnymede, Surrey pada 15 Juni 1215 M. Piagam ini membatasi monarki Inggris sejak masa Raja John dari kekuasaan absolut. Konstitusi Amerika Serikat baru disusun beberapa tahun setelah pernyataan kemerdekaan Negeri Paman Sam itu yang ditandatangani pada 1776 M. Ini berarti, kehadiran “Piagam Madinah” nyaris 6 abad mendahului Magna Charta, dan hampir 12 abad mendahului Konstitusi Amerika Serikat, bukan? Great!

Masih ingat kisah perang Badar? Bayangkan, dalam situasi dan kondisi pasca peperangan yang dahsyat, Nabi SAW masih memikirkan soal literasi. Dalam catatan sejarah, pasukan Islam berhasil menawan sekitar 70 musyrikin Quraisy di medan Badar. Dua dari 70 musyrikin Quraisy dieksekusi karena besarnya kejahatan perang yang mereka lakukan. Keduanya adalah Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith. Sisanya dibebaskan dengan tebusan harta, dibebaskan tanpa syarat, dan ini yang menarik, dibebaskan dengan tebusan mengajar baca-tulis bagi anak-anak kaum Muslimin Madinah.

Sebagai pembawa kemajuan peradaban dunia, Nabi SAW mengonversi nilai tawanan perang dengan literasi dasar baca tulis. Dalam hitungan kasar, seorang tawanan seharga 100 dinar emas. Dahulu, pernah Sayyidina Abu Bakar menebus Bilal seharga 100 dinar emas. Ada cerita lain sebagai pembanding. Adalah Urwah Al-Bariqi yang pernah diminta Nabi SAW membeli seekor kambing dengan menyerahkan uang satu dinar emas kepadanya. Jika dikomparasi dengan harga kambing hari ini –anggaplah kisaran dua juta rupiah– maka harga seorang budak kira-kira 200 jutaan. Harga tebusan perang waktu itu untuk para tawanan berlaku setara 1000 sampai 4000 dinar.

Seharga itulah literasi di mata Nabi SAW saat beliau meminta tebusan mengajar baca-tulis bagi anak-anak kaum Muslimin Madinah bagi tawanan yang tidak punya harta namun menguasai literasi dasar menulis. Setiap tawanan harus mengajari sepuluh anak-anak Madinah. Fakta ini seakan berbicara bahwa peradaban Islam adalah peradaban literasi. Sejak itu, kemampuan baca tulis kaum Muslimin meningkat pesat.

Nabi Literat

Baginda Muhammad SAW adalah Nabi literat. Bagaimana tidak, keberhasilan beliau membangun tradisi tulis menulis menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan bagi peradaban ilmu dan tulisan. Ketika Islam datang, jumlah para penulis di kalangan Kaum Muslimin masih dibilang sangat minim. Di kalangan Quraisy saja, hanya terdapat sekitar 17 orang. Namun, berkat strategi pengajaran yang diterapkan Nabi SAW, para sahabat yang memiliki kemampuan literasi menulis naik sangat signifikan. Di sekeliling Nabi ketika itu, lebih dari 60 orang sahabat sudah menguasai literasi menulis.

Allahuyarham Prof. Mustafa Azami (Guru Besar Universitas Ibnu Saud) menyebut Rasulullah SAW mempunyai 65 sekretaris. Di antara sekretaris itu ada Zaid bin Tsabit yang ditugaskan untuk menulis surat kepada raja-raja, Ali bin Abi Thalib menulis akad-akad perjanjian, al-Mughirah bin Syu’bah menulis kebutuhan-kebutuhan Nabi SAW yang bersifat mendadak, Abdullah ibnu al-Arqam bertugas mencatat utang-piutang dan akad lainnya di tengah masyarakat, dan lain-lain.

Dari percikan sejarah di atas, sangat wajar apabila tanggung jawab pengembangan literasi menulis disadari setiap para Pendidik dan Pustakawan Muslim yang digaungkan di madrasah-madrasah kita. Literasi menulis adalah pesan wahyu, pesan hadits, dan tradisi Nabi SAW. Muhammad SAW adalah Nabi yang literat, dalam arti, di samping menjalankan fungsi kerasulan, beliau amat peduli terhadap pengembangan literasi sejak mula tinggal di Madinah. Ini bukan saja soal strategi kenabian sebagaimana beliau memerintahkan mencatat dan menuliskan tiap kali wahyu diturunkan kepada sekretaris beliau, melainkan karena literasi dasar itu adalah gerbang informasi, gerbang ilmu, dan kunci peradaban masa depan.

Salam Literasi.

11 Desember 2019.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap