Langsung ke konten utama

DYAH (Bagian 3)



SEBELUM boarding pass, kuperiksa tiketku berulang-ulang. Aku ingin memastikan bahwa malam ini aku dan putriku benar-benar menikmati perjalanan Pasar Senen-Jogja dengan nyaman, tak diganggu lagi persoalan misschedule tak penting. Aku tidak membayangkan jika saja di boarding pass terjadi kebalikannya seperti kemarin malam, mending kiamat dipercepat saja sekalian.

Jadwal keberangkatan keretaku masih satu jam kurang lima menit. Masih cukup waktu untuk menikmati sejenak suasana malam stasiun Pasar Senen sambil menyesap kopi panas di kedai stasiun. Tetapi aku memilih boarding lebih awal dan menikmati kopi panas di bangku peron saja karena malam itu stasiun terlalu ramai, lebih ramai dari malam kemarin.

“Ayah, kopinya,” kata putriku setelah kami duduk di bangku peron.

Kuraih kopiku. Kusesap tegukan pertama perlahan. Saat cairan hitam pekat dengan aroma khas itu melewati kerongkonganku, rasa hangatnya seketika menjalar, merambat memenuhi pori-pori. Tubuhku seakan tersihir oleh efek relaks dalam satu tarikan napas saja. Bisa jadi karena relaksasi kurasakan begitu cepat, semua kesadaranku terkumpul menegurku bahwa sesuatu telah terjadi beberapa menit yang lalu.

“Astaghfirullah, Kak! Tas punggung ayah!”

Putriku terkejut melihat ekspresiku. Segera dia menyadari apa yang sedang aku alami.

“Loh, tadi waktu beli kopi, masih di punggung Ayah, kan? Terus, ayah ke kamar kecil.”

Aku tersentak. Iya, benar. 

“Coba Ayah ingat-ingat lagi.”

Aku ingat, tasku kutaruh di dekat wastafel saat mencuci tangan. Setelah itu aku bergegas mengejar boarding. Saat hendak menuju pintu boarding, HP-ku berdering. Mudir pondok menghubungiku menanyakan kepulangan putriku malam kini. Aku katakan bahwa kami sudah di stasiun. 

“Ayah, ingat. Sewaktu ayah menerima panggilan mudir, ayah meletakkan tas itu di bawah tiang kanopi. Ok, Kakak tunggu di sini. Ayah akan ke pintu boarding meminta izin keluar.”

Masih ada empat puluh lima menit sebelum kereta berangkat. Kusampaikan beberapa pesan buat putriku dengan harap-harap cemas. 

“Aku ikut!” kata putriku merajuk.

“Tidak perlu. Tenang, Kakak tunggu saja di sini. Masih cukup waktu buat ayah mencari tas itu. Ayah pasti kembali. Oke?”

“Kalau Ayah belom kembali, terus kereta harus segera berangkat, gimana?”

“Dengar, Kak. Kalau itu yang terjadi, Kakak harus naik. Tunggu ayah di dalam kereta. Ayah dapatkan atau tidak tas itu, ayah pasti kembali ke sini. Oke, ayah harus segera ke boarding, waktu ayah sempit.”

Kukecup kening putriku sebelum meninggalkannya. Kulihat wajahnya memelas tak ingin ditinggalkan. Aku bisa merasakan kekhawatirannya. Apalagi saat aku katakan dia harus menungguku di kereta jika lama aku belum kembali. Sesungguhnya perasaanku lebih khawatir bila katerlambatanku memaksanya berangkat sendiri ke Jogja. Itu akan menjadi hal terburuk sepanjang hidupku. Kepada petugas stasiun di peron, aku sampaikan maksudku sekalian menitipkan putriku.

Sampai di lorong bawah tanah penyebrangan menuju pintu boarding, sejenak aku ragu. Aku berhenti. Aku tak ingin situasi terburuk ini merugikan psikologis putriku. Bagaimana mungkin gadis berusia tiga belas setengah tahun naik kereta dari Jakarta ke Jogja tanpa orang tuanya? Kejam sekali. Ayah macam apa aku ini? Tidak! Lebih baik aku kehilangan tas itu daripada menelantarkan putriku sendirian.

Masih ada setengah jam. Aku masih bimbang antara kembali ke peron mendapatkan putriku atau tetap pergi menemukan tasku. Di sana ada uang sepuluh juta untuk keperluan semua administrasi pondok putriku untuk satu semester ke depan, sementara putriku mungkin semakin cemas dengan lelehan air mata ketakutan yang tidak bisa dia bendung lagi.

Aku harus memutuskan dengan cepat untuk kembali saja menemani putriku. Tetapi dalam keputusan yang masih menyisakan rasa berat yang menghimpit itu, aku tidak mengerti, tiba-tiba saja ingatan akan Dyah berkelebat. Dyah yang pernah berkata kepadaku bahwa cepat atau lambat setiap orang akan mengalami hal yang paling buruk dan paling menakutkan dalam hidup. Kata-kata Dyah itu aku dapat saat aku bertanya, apa dia tidak takut berkeliaran di sekitar stasiun sampai jam sembilan malam? “Mungkin sudah nasib Dyah, Om. Tapi rasa takut akan sirna jika hidup dijalani dengan prasangka baik,” begitu kata Dyah waktu itu. 

Aku terjerembab pada pertarungan mengalahkan rasa takut atas putriku dan rasa takut diriku sendiri. Payah rasanya aku berprasangka baik pada keadaan putriku, pada tasku, dan pada semua anasir yang semakin menebalkan rasa takut itu. Hingga aku percaya pada ilham dari Tuhan, bisa jadi kata-kata Dyah dipersiapkan Tuhan untuk menumbuhkan prasangka baikku sekarang.

“Bismillah!”

Aku bergegas ke pintu boarding. Sepuluh menit aku habiskan untuk bimbang dan mengambil keputusan hingga sampai di depan pintu boarding. Dengan napas terengah-engah kusampaikan maksudku kepada petugas boarding. Petugas itu tersenyum tapi sambil membekaliku dengan peringatan menyindir atas keteledoranku setelah kuceritakan mengapa aku harus kembali keluar stasiun.

“Bapak masih muda, sudah pelupa. Untung masih ada orang baik,” katanya.

Petugas itu mengeluarkan sesuatu dari balik laci mejanya.

“Yang ini bukan?” katanya sambil menunjukkan tas punggung warna hitam.

Mataku berbinar.

“Alhamdulillah. Betul, Pak. Ini tas saya. Terima kasih,” kataku sambil memeriksa isinya. Utuh.

Petugas itu berkata bukan padanya aku harus berterima kasih, tapi pada gadis kecil pemungut botol plastik di area stasiun. Gadis kecil itu bisa mangkal di depan toko swalayan sebelah selatan stasiun dekat mushalla. Dialah yang mengantarkan tasku pada petugas boarding.

Kulirik jam tanganku. Masih tersisa waktu setengah jam jadwal kereta berangkat. Aku bisa mengambil space lima sampai tujuh menit buat menemui gadis kecil itu.

“Pak, jika diizinkan, saya boleh keluar stasiun menemui gadis itu?”

“Jadwal kereta Bapak, jam berapa?”

Kusebut nama dan jadwal keretaku.

“Baik, silakan. Tapi jika jika ketinggalan, tanggung sendiri.”

“Oh, iya, pak. Siapa bernama gadis itu?”

“Wah, saya tidak tahu. Cari saja yang pake kaus putih dekil bergambar Winny The Pooh. Badannya kurus.” 

Aku melesat bagai kijang. Kucari lokasi gadis itu dekat mushalla. Aku beruntung, kulihat gadis kecil dengan baju dekil Winny The Pooh sedang duduk memegang karung berisi penuh botol plastik. Kusapa gadis itu. Kupastikan, apakah dia yang menitipkan tasku pada petugas boarding. Gadis itu mengangguk. Aku mengucapkan terima kasih.

“Siapa namamu?”

“Dyah, Om.”

Aku terkesiap.

“Dyah?”

Gadis itu mengangguk. Dadaku sesak. 

“Dyah, om ngucapin terima kasih Dyah sudah berbaik hati menyelamatkan tas om. Maaf, om enggak bisa membalas kebaikan Dyah. Tapi, om punya sedikit uang untuk Dyah. Terimalah.”

Kusodorkan lima lembar uang lima ratus ribuan yang kuambil dari amplop di dalam tasku. Kugulung uang itu seukuran jari telunjuk. Tapi aku terkejut, Dyah menolak.

“Terima kasih, Om. Dyah tidak bisa menerimanya. Yang Dyah lakukan barusan, suatu keharusan.”

Dyah bersikeras menolak. Aku jadi salah tingkah. 

Waktuku semakin sempit. Aku tak ingin kehilangan momen Dyah, juga tak rela ketinggalan kereta.

“Terima kasih, Dyah. Om bangga padamu,” kataku sambil menyalami gadis itu dan menggenggam tangannya. Kuselipkan gulungan uang itu di antara tangan kami. Lalu aku bergegas mengucap kata perpisahan, “Maaf, Dyah. Om buru-buru. Lima belas menit lagi keretaku berangkat. Sampai jumpa!”

Aku berlari tanpa menoleh lagi. Di depan meja petugas boarding, kuucapkan terima kasih sekali lagi. Setelah itu aku melesat menuju peron.

“Kakak!”

“Ayaaah!”

Kupeluk putriku yang terisak. Kubelai rambutnya. 

Sepuluh menit kemudian, kereta perlahan bergerak. Di atas kursi kulempar senyum pada putriku sambil memujinya bahwa dia adalah gadis berani.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap