Langsung ke konten utama

DYAH (Bagian 4 habis)




Aku dan putriku terlelap sepanjang perjalanan. Suara mesin kereta dan lindasan roda besi seperti lenyap ditelan mimpi. Hanya sesekali guncangan kecil yang sedikit menyadarkan kantuk, tapi lebur kembali dalam lelap. Jarak Jakarta-Jogja di atas kereta seperti bukan dominasi bosan yang kerap harus dibunuh dengan cemilan, kopi, atau browsing menunggu kantuk. Hingga saatnya tiba, delapan jam perjalanan ke Jogja terasa singkat. Tahu-tahu kereta sudah hampir sampai di Stasiun Tugu.


“Alhamdulillaah,” gumamku.

Putriku masih terlelap. Kubangunkan perlahan. Dia menggeliat. 

“Kak, hampir sampai. Ayo, shalat Shubuh dulu,” kataku.

Masih ada sepuluh menit untuk shalat Subuh di kereta sebelum kereta sampai di Tugu. Aku sudah lebih dulu shalat, sepuluh menit dari waktu Shubuh wilayah Yogya saat kereta melintas Rewulu. 

Pagi menyapa Tugu. Sepagi itu, Stasiun Tugu sudah menggeliat. Inilah yang aku suka, suasana Jogja yang selalu mengundang rindu. Jogja selalu menarik langkahku mendekat. Karena keramahannya, budayanya, toleransinya, gudegnya, dan tentu pondok putriku yang bersahaja.

“Kita sarapan dulu, Kak,” kataku selepas turun dari kereta sambil merapat di kedai yang menjual aneka sarapan pagi.

“Kakak mau susu coklat panas, ya.”

“Ok. Susu coklat panas rasanya cocok buat mengusir dingin.”

“Tapi, sarapannya di luar stasiun, Yah. Bosen dengan suasana kereta dan peron.”

“Siip. Itu di depan pintu Barat banyak pilihan. Kita keluar dari sana saja.”

Berrrr. Udara dingin menerpa saat aku dan putriku keluar stasiun disusul beberapa porter menawarkan jasa angkutan. Berapa di antaranya sedikit memaksa dengan menawarkan harga miring. Dengan ramah kujawab bahwa kami ingin mencari sarapan dulu, jalan-jalan, dan mencari penginapan sekitar stasiun. Barulah mereka mengerti dan berhenti menguntit kami.

Tidak sukar mencari tempat sarapan. Di sekitar trotoar pinggir jalan stasiun, banyak penjual jajanan pasar, kopi, susu, teh, dan berbagai kudapan untuk sarapan. Putriku menunjuk gerobak di depan sebuah hotel. 

“Di sana, yah. Kayaknya enak sambil menikmati suasana jalan raya yang masih lengang,’ ucap putriku.

Berdua kami bergegas. Segera kupesan dua susu coklat panas, memilih menu sarapan, dan menikmati pesanan sambil menghirup suasana pagi Jogja yang ramah. Seketika aku ingat Dyah malam tadi selepas menyesap susu coklat panas di tanganku. Seperti kebetulan saja rasanya. Nama yang sama, nasib yang sama, dan sama-sama menolak pemberian cuma-cuma. Bedanya cuma waktu dan perjumpaan dan sosok Dyah yang dahulu aku kenal.

Lebih kurang setengah jam aku dan putriku menghabiskan waktu sarapan. Saat semuanya sudah kurasa cukup, aku memesan taksi buat mengantar ke pondok. Lumayan waktu tempuh dari stasiun ke pondok putriku di Bambanglipuro kira-kira empat puluh lima menit dengan kecepatan sedang. 

Seperti biasa, aku disambut sang mudir sesaat sampai di pondok. Begitulah sifatnya yang ramah memperlakukan setiap wali santri yang datang berkunjung, bukan hanya kepadaku saja ia berlaku ramah. Diajaknya aku ke kantor mudir, sementara putriku sibuk melayani teman-temannya sesama santri saling berbagi cerita semasa liburan.

Baru saja aku duduk di ruang mudir, mudir memperkenalkanku pada musyrifah yang baru bergabung dengan pondok hari itu. Dia lebih dahulu sampai setengah jam yang lalu sebelum kedatanganku.

“Kenalkan, ini musyrifah baru, Pak. Bergabung dengan kita mulai hari ini. Hafizhah 3o juz,” kata mudir.

Aku mengangguk, memberi hormat pada musyrifah baru itu. Aku taksir, usianya masih muda. Paling baru menginjak usia dua puluh lima atau dua puluh tujuh.

“Namanya ustadzah Dyah Cempaka Herdianti. Alumni Mua’llimat.”

Dyah tersenyum ramah. Mengangguk sopan.

Dadaku berdebar. Dyah? 

Sejenak aku terpana. Menatapnya sekilas. Aku malu sendiri. Tak kuasa aku harus mengakui betapa cantiknya musyrifah itu. Sekali lagi kuberanikan diri menatapnya. Lesung pipi itu, itu milik Dyah. Ya, tahi lalat pada kelopak mata itu, juga milik Dyah. Ya, Tuhan, apa aku tidak salah, hafizhah itu adalah Dyah yang kukenal dahulu?

“Dyah?” sapaku.

Dyah membalas menatapku lekat meski sekilas saja. Gadis itu hanya berucap kata maaf sambil menanyakan siapa aku sambil menunduk.

“Apa Bapak mengenal ustadzah Dyah sebelumnya?” tanya mudir.

“Bisa jadi saya salah. Memang, dahulu, saya pernah mengenal gadis kecil bernama Dyah. Kami bersahabat. Ah, tapi mungkin bukan Dyah yang saya maksud. Namun saya tak mengerti, tadi malam di stasiun Senen, saya juga bertemu dengan gadis kecil bernama Dyah juga. Dyah ini mengembalikan tas punggung saya yang tertinggal dekat beranda stasiun. Dyah menitipkannya pada petugas boarding. Saya heran, Dyah yang tadi malam saya jumpai, sama sifatnya dengan Dyah yang saya kenal dahulu.”

“Sama sifatnya?” tanya mudir penasaran. Kulihat Dyah pun seperti penasaran.

“Iya, Mudir. Saya memberi Dyah uang sebagai tanda ucapan terima kasih. Di tas punggung saya ada uang sepuluh juta biaya mondok putri saya untuk satu semester ke depan. Saya sangat beruntung tas saya ditemukan Dyah. Herannya saya, Dyah menolak pemberian saya, sama seperti Dyah yang saya kenal tidak pernah mau menerima pemberian saya cuma-cuma.”

Kulihat Dyah seperti tersentak, seakan terjaga dari lamunan.

“Dyah yang saya kenal Mudir, pernah bertanya arti sebuah ungkapan, Isy kariiman aw mut syahiidan!” kataku kemudian.

Kali ini Dyah terbelalak. 

“Om! Om Aji?”

Aku mengangguk. Aku tersenyum. 

Aku menunjuk putriku yang masih asyik bersama teman-teman santri putrinya. 

“Itu putri Om, Dyah.”

Dyah tak henti-henti mengucap rasa syukurnya. Begitu juga aku.[]



Di ruang tamu, sebelum aku kembali ke Depok, Dyah bercerita. 

Hari itu, hampir dua puluh tahun lalu, Dyah menungguku di stasiun. Dyah tahu jadwalku naik kereta, jam berapa, di mana aku duduk menunggu kereta datang, dan koran apa yang aku baca. Dyah hafal betul. Aku sendiri sudah tak ingat lagi persis hari yang diceritakan Dyah itu.

“Sehari setelah ibu meninggal, hari itu, Dyah menunggu Om sampai jam dua belas siang Om tidak datang-datang. Dyah ingin pamit. Jam lima sore hari itu juga, Dyah akan dibawa Bude ke Jogja. Alhamdulillah, Dyah masih punya famili dari ibu. Di Jogja, Dyah tinggal bersama Bude setahun, terus mondok. Cita-cita Dyah kesampaian, Om.”

Panjang cerita Dyah sejak mula terdampar di Depok. Dadaku sesak karena begitu mengharukan kisah hidupnya. Dyah anak yatim. Bersama ibunya dia diusir keluarga dari bapaknya karena persoalan harta warisan beberapa bulan setelah kematian ayahnya. Dyah dan ibunya pergi meninggalkan rumah mengelana dari stasiun ke stasiun, mengamen untuk bertahan hidup, lalu menetap di rumah kardus dekat stasiun Depok. Dari hasil mengamen dan memulung, Dyah dan ibunya pindah mengontrak rumah petak. 

Sampai satu hari, Bude Dyah yang tinggal di Jogja menyusul ke Depok sebab tidak pernah mendapat kabar berita tentang saudara perempuannya, ibunya Dyah. Dengan secarik alamat pemberian Gayatri; ibunya Dyah, sewaktu gadis itu minggat, sang Bude menyusul ke Depok. Takdir mempertemukan mereka di stasiun saat Dyah dan ibunya mengamen. Sepenggal pertemuan dua saudara yang terpisah akhirnya bertemu dengan cara dramatik mengharukan. 

Sang Bude membujuk mereka untuk kembali ke Jogja. Dia tidak ikhlas saudara perempuannya yang masih punya keturunan ningrat harus menjalani hidup dengan mengamen, terlunta-lunta, dan terbuang dari trah keluarganya yang terhormat. Tetapi ibunya Diyah menolak karena tidak sanggup bertemu keluarga besar mereka, terutama ayah dan ibunya. Rupanya, Ibunya Dyah memilih kawin lari dengan laki-laki pilihannya, ayahnya Dyah, karena tidak mendapat restu dari keluarga besarnya di Jogja. Sang Bude kemudian menitipkan nomor kontaknya jika suatu saat Dyah dan ibunya membutuhkan sesuatu buat menghubungi dirinya atau berubah pikiran ingin pulang ke Jogja.

Dyah terisak. Wajahnya memerah. Dadaku semakin sesak.[]


Allahu Akbar. Allah, Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim memang selalu punya cara untuk sesuatu yang kadang tidak bisa dicerna akal manusia. Aku dan Dyah mengalami 'kesalahan' yang sama secara bersamaan. Seharusnya Dyah baru akan masuk pondok dua hari setelah jadwal resmi santri masuk pondok, sehari sebelum kedatanganku hari ini. Dyah salah membaca pengumuman, seharusnya tgl 17 Juli, tetapi dia sudah tiba di pondok tertanggal 16 Juli. Sementara seharusnya aku datang mengantar putriku tanggal 15 harus sudah sampai ke pondok hari kemarin, tetapi karena salah memesan tiket aku jadi terlambat sehari. Dyah maju sehari, sementara aku mundur sehari dengan kasus sendiri-sendiri. Di sinilah rencana Allah berbicara. Rupanya kesalahanku dan Dyah hanya masalah teknis agar aku dapat berjumpa Dyah setelah sekian lama kami berpisah. 

“Sebentar lagi tesisnya rampung, Pak,” kata mudir memecah keharuan kami.

“Waah, Alhamdulillah. Harus makan-makan ini,” kataku spontan mengusir rasa haru.

Kami tertawa.

Dua jam bercengkerama dengan Mudir dan Dyah sudah cukup membuatku lega. Lega karena pertemuan itu, lega karena aku menjadi lebih tenang menitipkan putriku sebab ada Dyah di pondok.

Aku pamit. Satu jam lagi keretaku berangkat. Dyah dan putriku mengantarku sampai di gerbang pondok. Mereka berdua melambaikan tangan sebelum taksi pesananku mengantarku ke Stasiun Tugu. Dari balik jendela taksi aku berkata kepada mereka berdua. Mereka yang mondok dan berkhidmat di dalamnya.

“Dyah, Om titip Mikal, ya. Tolong berikan putri om pelajaran hidup yang paling berharga yang kamu punya. I proud of you, Dyah! Kakak, ayah pulang. Baik-baik sama tante Dyah, ya Nduk!”

Kami berpisah. Kembali, Dyah menitipkan senyum dengan lesung pipinya yang merona. Sedangkan putriku seakan bertanya, sebenarnya ada apa di antara Ayahnya dengan musyrifahnya yang cantik itu?[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap