Langsung ke konten utama

RAYYA Bag. 3



Insiden di Meja Makan

Sesudah makan semua anak laki-laki yang bikin ulah dihukum. Husin mengisi bak mandi sampai penuh. Dayat mencuci piring. Salam dan Said membelah kayu bakar. Ahlan dan Muhajir memandikan sapi. Malamnya sehabis shalat Maghrib, Husin, Ahlan, dan Dayat dinasehati nenek. Umi dan saudara-saudara perempuannya menguping. 


LAIN waktu, ada cerita Umi yang amat menggelikan. Cerita tentang suasana waktu makan siang. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Waktu itu, empat belas anak nenek hadir berkumpul karena hari sedang libur sekolah. Cerita Umi ini benar-benar membuatku seolah hadir di tengah-tengah mereka saat peristiwa itu berlangsung. Aku seperti merasakan kegaduhan khas anak-anak keluarga besar yang tengah makan siang. Seumur hidup, aku tidak bisa melupakan cerita ini.

Empat belas anak duduk berbaris menunggu antrian nasi dan lauk pauk. Insiden terjadi. Entah siapa yang memulai, saat mengantri itu, Umi, adik-adik, dan kakak-kakaknya memukul-mukul piring dengan sendok sambil menunggu piring mereka diisi nasi dan lauk pauk. Ting tang ting tong, ting tang ting tong, suara sendok, gelas, dan piring berdenting bersahutan. Ruang makan berubah gaduh. 

Saat kegaduhan anak-anak nenek mulai tak terkendali, Umi sempurna sekali menggambarkan kegaduhan itu.

“Mak, Mumun dulu dong,” pinta Maimunah. 

“Enggak boleh. Ucin dulu, Mak,” saut Husin.

“Perempuan dulu, Mak,” kata Saodah.

“Laki-laki duluan, Mak,” balas Ahlan.

“Maaak. Lauk Udin ada yang ngambiiiil,” teriak Udin. 

“Gantian dooong,” pinta Ucup.

“Wooi, tertib wooi,” kata Hasan setengah marah.

“Maak, sambelnya manaa?” keluh Dayat.

“Maak, udah lapeerrrr,” teriak Khadijah.

Menyusul teriakan Umi, Salam, Winarni, Muhajir, dan Said yang meminta ikan, sayur, tempe dan sebagainya. Tiba-tiba nenek mengangkat baskom alumunium. Bagai sipir penjara tengah menenangkan rusuh para napi, nenek memukul baskom tersebut dengan sendok sayur. 

Dang! 

Dang!

Dang!

Dang! 

“Mau tertib, atau tidak bolah makan!” teriak nenek ditirukan Umi. 

Nenek lalu menyebut nama satu persatu ke-empat belas anaknya meminta mereka berhenti memukul-mukul piring, gelas, dan sendok. Dengan nada tinggi nenek menegaskan. 

“Isi dapur emak masih cukup. Walaupun datang sepuluh orang anak lagi, masih bisa makan bersama kita!”

Hening.

Memang, untuk urusan dapur, keluarga nenek sudah mapan. Beras yang ditanak nenek menjadi nasi, diketam dari tangkai padi yang terhampar di petak-petak sawahnya. Sebagai keluarga petani, persediaan beras bukanlah masalah yang merisaukan nenek. Nenek tidak perlu pula membeli sayuran. Ada dari petak-petak sawahnya yang lain yang ditanami kangkung, genjer, bayam, jagung, kemangi, daun singkong, pepaya, kacang panjang, mentimun, terong, atau labu. Juga tomat, cabai, talas, dan kacang tanah. Jahe, kunyit, kencur atau lengkuas tinggal digali. Kelapa tinggal dipetik kapan saja nenek membutuhkannya. Nenek juga tidak perlu membeli ikan. Empang atau kolam ikan sudah menyediakan mujair, tawes, lele, gurame, mas, atau tembakang. Kapan saja nenek ingin memasaknya tinggal meminta anak-anaknya memancing atau menebar jala. Telur atau daging ayam juga bukan barang mahal bagi nenek. Ayam atau bebek peliharaan yang nenek punya sudah menyediakannya. Hanya susu, gula, teh, minyak goreng, garam, tahu, tempe, atau terasi saja bahan pokok yang tidak tersedia di sawah warisan nenek. Kopi pun hasil olahan kebun sendiri. Jadi meskipun anak nenek ada empat belas orang, perkara makan bukan perkara yang sulit.

Suasana kemudian senyap dan tertib lagi setelah nenek menegaskan bahwa mereka semua akan menikmati porsi hidangan masing-masing. Hanya saja dasar anak-anak, terutama anak-anak nenek yang laki-laki tidak sabaran, mereka malah mengambil lauk-pauk saudara-saudara mereka yang perempuan sambil menunggu giliran. Husin mencomot ikan Mumun, Ahlan menilep tempe Saodah, Dayat menggigit kerupuk Khadijah, begitu juga dengan Salam, Said, dan Muhajir. Anak-anak nenek yang perempuan lalu merengek-rengek merasa dicurangi sudara-saudara laki-laki mereka. 

Nenek hanya menggeleng melihat ulah anak-anak laki-lakinya. Lalu, keluarlah titah nenek.

“Husin! Jatah ikanmu berikan pada Mumun! “Ahlan! Tempemu untuk Saodah!”Dayat! Kerupukmu untuk Khadijah!”

Sesudah makan semua anak laki-laki yang bikin ulah dihukum. Husin mengisi bak mandi sampai penuh. Dayat mencuci piring. Salam dan Said membelah kayu bakar. Ahlan dan Muhajir memandikan sapi. Malamnya sehabis shalat Maghrib, Husin, Ahlan, dan Dayat dinasehati nenek. Umi dan saudara-saudara perempuannya menguping. 

“Cuman becanda kan, Mak,” kata Husin

“Kata Emak, persediaan Emak masih cukup,” timpal Ahlan. 

“Sekali-kali laki-laki duluan, Mak,” protes Dayat.

Nenek tidak menimpali keluhan mereka. Nenek malah meminta ketiganya membuka Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188. Mula-mula Husin disuruh membaca keras-keras ayat yang diminta nenek. Bergantian kemudian Ahlan dan Dayat yang membaca. 

“Ahlan, baca terjemahnya!” kata nenek.

Ahlan membaca terjemahan. Suara Ahlan pelan sekali.

“Kurang keras. Ulangi!” kata nenek. 

Ahlan mengulangi bacaannya. Suaranya lebih keras.

“Janganlah kalian memakan harta orang lain dengan jalan batil. Dan, jangan pula membawa urusan harta kepada hakim agar kalian dapat memakan harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengerti.” 

Ahlan menyudahi bacaannya. Nenek meminta mereka bertiga meresapi terjemah ayat tersebut baik-baik.

“Kalian sudah mengerti?” tanya nenek lagi.

Husin, Ahlan dan Dayat menggeleng.

Rupanya nenek benar-benar tidak berkenan dengan ulah ketiga anak laki-lakinya itu tadi siang. Nenek kemudian menasihati mereka. Dengan fasihnya, nenek mengutip ajaran-ajaran Kiai Usman, guru ngaji nenek setiap Jum’at dan Selasa pagi. Kata nenek, setiap manusia telah ditentukan kadar rezekinya masing-masing. Bahkan, sejak manusia itu belum lahir, rezekinya sudah dicatat untuknya. Saat manusia berada selama 40 hari dalam rahim lalu ditiupkanlah ruh ke dalamnya, Allah sudah menetapkan empat hal: rezeki, ajal, amal, dan nasibnya di dunia. 

Sebagai makhluk yang telah ditentukan kadar rezekinya itu, manusia dilarang memakan atau mengambil harta atau rezeki orang lain secara tidak dibenarkan. Tindakan itu merupakan perbuatan buruk yang dibenci.

“Nanti, kata Nabi, akan ada beberapa orang di antara manusia yang mengambil harta Allah dengan cara yang tidak benar, pada hari kiamat orang-orang seperti itu akan dimasukkan ke dalam neraka. Siapa saja yang merampas hak seorang muslim maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga,” tegas nenek. 

“Kan cuman sedikit, Mak,” cetus Ahlan. 

Rupanya Ahlan sudah mengerti arah penjelasan nenek.

“Sedikit atau banyak, sama saja. Meskipun hanya setangkai kayu siwak. Ngerti!”

Nenek menyambung nasihatnya. Kali ini nenek mengutip kisah Rasulullah SAW menyuruh memotong tangan seorang anak pejabat suku yang terbukti bersalah karena mengambil harta orang lain. Anak pejabat suku itu bernama Fathimah Makhzumiyah yang pada hari Fathu Makkah tertangkap basah mencuri. Setelah melihat bukti-bukti yang kuat, Rasulullah SAW memutuskan memotong tangan anak pejabat itu. Wanita anak pejabat itu benar-benar dipotong tangannya. 

“Masa cuman kerupuk doang, tangan Dayat dipotong, Mak?”

Nenek menjelaskan maksudnya lagi bahwa nenek tengah mendidik mereka untuk menghormati hak-hak orang lain. Bahwa siapa saja tidak boleh semena-mena mengambil hak meskipun itu milik saudara sendiri. Membiasakan diri untuk merasa cukup dengan rezeki sendiri sangat penting. Tidak boleh tamak tapi juga tidak boleh kikir. Jika belum mampu mendahlukan kepentingan orang lain, jangan menzalimi hak orang lain.

“Emak tahu, kalian hanya iseng. Emak ingin mendisiplinkan kalian.”

Nenek menekankan anak-anaknya agar saling menjaga dan melindungi, baik dalam urusan agama, harta, nasab, akal, darah, dan kehormatan sesama saudara. Nenek berkewajiban menanamkan kesadaran itu sejak mereka masih kecil. Harapannya agar kelak anak-anak nenek hidup rukun, terutama dalam urusan kehartabendaan yang seringkali menjadi sumber keretakan sesama saudara.

Nenek tidak ingin gara-gara satu atau dua anak yang tidak disiplin dalam urusan bagian harta, persaudaraan mereka rusak. Kakak dengan adik lalu saling curiga. Yang laki-laki dan perempuan tidak saling percaya, yang tua serakah, yang muda menggugat, dan seterusnya. Ibarat bertemu dalam satu nasab, tapi tidak membaur senyawa seperti air dengan gula, tapi layaknya minyak dengan air saja. Ujung-ujungnya putus persaudaraan karena sibuk dengan urusan memenangkan percekcokkan soal harta peninggalan orang tua mereka. 

Nenek sangat tegas mengingatkan, sebanyak apa pun harta yang dimiliki manusia, sebanyak itu pula dia merasa kurang. Andaikata manusia sudah memiliki satu bukit emas, dia pasti akan mencari bukit emas yang kedua. Saat bukit emas yang kedua sudah dia dapatkan, dia akan berusaha lebih keras untuk mendapatkan bukit emas yang ketiga. Begitu seterusnya. Kata kuncinya karena serakah. Manusia ingin menguasai semuanya sendirian. 

“Semoga kalian mengerti. Jika dalam hal-hal sepele kalian sudah tertib, maka dalam perkara yang besar-besar kalian akan lebih mudah tertib. Ingat baik-baik, setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, harga dirinya, dan hartanya.”

Nenek menyudahi nasehatnya. Husin, Ahlan, dan Dayat meminta maaf. 

Beruntungnya Umi memiliki ibu seperti nenek. Beruntung pula Umi dilahirkan di tengah-tengah keluarga besar yang berharta. Belakangan aku tahu, kakek dan nenekku sama-sama dari keluarga berada. Warisan sawah nenek moyang mereka yang luas cukup untuk membekali sandang, pangan, dan pendidikan anak-anak nenek. 

Meskpiun demikian, nenek tetap mendidik anak-anaknya untuk hidup hemat. Nenek tidak membiasakan memberi anak-anaknya uang untuk jajan jika dirasa nenek anak-anaknya tidak perlu jajan. Bukan pelit, tapi mengajarkan bagaimana anak-anaknya bertanggung jawab menggunakan uang sesuai keperluan, bukan berdasar keinginan. Selagi apa yang diinginkan anak-anak nenek bisa disediakan sendiri, tidak perlu membeli, lebih baik uangnya ditabung. 

Satu kali, Khadijah, adik bungsu Umi, pernah merengek minta dibelikan getuk lindri penjual keliling. Nenek tidak memenuhi rengekan Khadijah. Tidak mungkin pula hanya Khadijah yang dibelikan. Oleh nenek, Khadijah, Umi, dan dua kakak perempuan mereka diajak ke sawah. Dua batang singkong yang tua mereka cabut lalu dibuat getuk. Jadi, untuk apa harus membeli?[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap