Langsung ke konten utama

QURBAN BAYRAMI

Mehmed dan Konstantinopel

Apabila dunia ini adalah sebuah negara maka tempat yang paling layak sebagai ibukotanya adalah Konstantinopel. 

BYZANTIUM, Konstantinopel, begitulah dahulu orang menyebutnya. Sedikit kisi-kisi tentang Konstantinopel perlu saya singgung.

Konstantinopel menghampar di atas daratan menyerupai tanduk di sebelah barat Selat Bosphorus. Itu, loh, selat yang memisah (Turki sekarang) menjadi dua bagian, sebagian Benua Eropa dan sebagian Benua Asia. Di Sebelah utara, riak-riak keperakan Teluk Tanduk Emas (Golden Horn) berkilau diterpa sinar matahari. Golden Horn begitu berharga sebagai pelabuhan alami yang sempurna bagi Konstantinopel. Di seberang Selat Bosphorus, menghampar tanah Anatolia atau yang sering disebut orang dengan ‘Semenanjung Asia Kecil’, daratan yang kaya dengan hasil bumi.

Bila Anda iseng berlayar terus ke utara dari Selat Bosphorus, Insya Allah Anda akan sampai ke Laut Hitam (Black Sea). Bila memilih berlayar ke selatan melalui Selat Dardanella (bahasa Turki; Çanakkale Boğazı), Anda akan sampai ke Laut Mediterania. Dengan batas-batas demikian itu, Konstantinopel persis berada di tengah dunia. Ia menjadi kota pelabuhan paling sibuk pada masanya. Dia digelari “The Gates of The East and West”.

Konstantinopel adalah kota berbentuk segitiga. Dua sisinya dikelilingi air laut seperti dijelaskan di muka. Sisi ketiganya diselubungi dua lapis pagar dan parit. Dua lapis pagar itu tidak lain berfungsi sebagai benteng kokoh. Di luar dua lapis pagar itu terdapat parit air dengan lebar 60 kaki dan kedalaman 10 meter. 

Pagar pertama berdiri menjulang setinggi 25 kaki dengan ketebalan 10 meter. Pagar kedua setinggi 40 kaki dengan ketebalan temboknya sampai 15 meter. Pagar kedua dilengkapi beberapa menara pengawas setinggi 60 kaki. Sementara dari arah laut, kota ini dijaga dengan perlindungan ekstra ketat. 400 kapal berpatroli menjaga Konstantinopel setiap saat. Dengan struktur perlindungan tembok-tembok dan parit serta penjagaan kapal, Konstantinopel merupakan kota dengan sistem pertahanan terbaik. Lengkaplah gelar kota itu dengan julukan lain; “The City with Perfect Defense”.

Bisa jadi dengan deskripsi Konstantinopel yang sedemikian sempurna itu, Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis pernah berkata tentang kota ini, “Apabila dunia ini adalah sebuah negara maka tempat yang paling layak sebagai ibukotanya adalah Konstantinopel.” 

566 tahun yang lalu pada Maret 1453, adzan belum berkumandang di sana. Barulah pada Selasa, 29 Mei 1453 M / 20 Jumadil Ula 857 H Fâtih Sultan Mehmed Han II atau Muhammad Al-Fatih membuka adzan berkumandang saat sang sultan dan pasukannya memasuki gerbang Charisian setelah menaklukkan kota itu. Orang Eropa menyebutnya “The Grand Turk Mehmet” sebagai ekspresi kekaguman, ketidakpercayaan, ketakutan, bisa jadi juga kebencian atas jatuhnya tahta suci Kristen Timur di tangan Mehmed penguasa muslim yang masih muda belia.

Sultan memasuki gerbang kota di bawah kibaran ak sancak, bendera putih bertuliskan kalimat syahadat dan bendera-bendera merah, hijau khas Turki bertuliskan kalimat syahadat atau bulan sabit. Nanti, pada Jumat pertama setelah tiga hari penaklukkan, pada 1 Juni 1453, adzan berkumandang lagi menjelang shalat Jumat dilaksanakan untuk kali pertama di Konstantinopel di bangunan paling megah, Hagia Sophia, gereja yang diubah sang sultan menjadi masjid kota. Sultan menyampaikan khutbah pada Jumat pertama di masjid Hagia Sophia itu. Pada hari yang sama 560 tahun kemudian, pada Jumat 15 Maret 2013, tanah kekaisaran Romawi Timur yang telah ‘di-Islamkan’ itu itu saya kunjungi dengan suka cita sambil sesekali bergumam “Qurban Bayrami, the dream come true”. 

1453 M bukan hanya tahun drama akhir bagi Byzantium. Kekaisaran Kristen Timur yang mewakili abad pertengahan ini telah merawat kecantikan dan kemegahan Konstantinopel selama 1.243 tahun, 10 bulan, dan 4 hari takluk bertekuk lutut di kaki Mehmed. Sang Kaisar; Konstantinus XI tewas dan tak berdaya ibukotanya jatuh ke dalam pangkuan Islam. Sultan lalu mengganti sebutan Konstantinopel menjadi ‘Islambol’ atau ‘Istanbul’.

Tahukah Anda, pada usia berapa tahun Mehmed menaklukkan Konstantinopel? Terbayang tidak, baru berusia 21 tahun lewat dua bulan. Dialah yang mengakhiri kedigdayaan Byzantium membuktikan bisyarah yang disebut baginda Nabi SAW dalam riwayat Imam Ahmad, “Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan oleh kalian. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya.” 

Sedikit lagi saya tambahkan tentang Mehmed dalam narasi keberhasilannya penaklukkan Benteng Konstantinopel. Mehmed itu piawai menerapkan cara berpikir out of the box, think the unthinkable. Gebrakannya sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh musuh, bahkan oleh pasukannya sendiri saat penaklukkan. Mehmed mengerti betul, Konstantinopel tidak mungkin bisa ditembus dari jalur laut, mustahil. 

Namun siapa menyangka Mehmed dan pasukannya bisa masuk ke belakang garis pertahanan Byzantium yang sangat kokoh. 70-an kapalnya ‘berlayar’ di atas bukit yang ditarik di atas landasan gelondongan kayu yang diberi minyak binatang. Ya, kapal-kapal itu mengarungi Selat Bosphorus ke Selat Tanduk melalui Pegunungan Galata dalam waktu satu malam menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 16 km. Saking tidak terpikir oleh pasukan Byzantine, mereka mengira hantu-hantu lah yang bersekongkol menggerakkan kapal-kapal Mehmed berlayar di atas bukit Galata. 

Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al-Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Alexander yang Agung.

Demikian ditulis Felix Shiaw mengutip Yilmaz Oztuna di dalam bukunya Osmanli Tarihi menceritakan salah seorang ahli sejarah tentang Byzantium. Literasi tentang strategi Mehmed di bukit Galata ini bertebaran di mana-mana dan sangat populer. 

Seperti sudah disinggung, pada 29 Mei 1453, serangan terakhir dilancarkan, dan sebelum Ashar, Mehmed sudah menginjakkan kakinya di gerbang masuk konstantinopel. Berakhirlah pengepungan selama 52 hari lamanya dan penantian panjang akan janji Allah selama 825 tahun lamanya. Konstantinopel berhasil dibebaskan. 

Dua hal penting tentang Mehmed tidak ingin saya lewatkan sebab kekaguman. Pertama. Mehmed adalah tipe leader yang sangat mengerti strategi harus bagaimana dan melakukan apa di saat genting, bukan tipe leader saya akan dapat apa dengan memanfaatkan situasi menguntungkan. Dia inisiator, kreator, dan eksekutor dari strategi jitu ide briliannya, bukan plagiator, showing ide yang dicangkoknya dari orang lain, dan lalu bercerita sambil minta dukungan cetak biru ide yang dicangkoknya itu dengan suara lantang.

Kedua, kapasitas iman dan intelektual yang besar dan mengakar. Dialah Al-Fatih yang sejak usia baligh belum pernah sekalipun melewatkan shalat rawatib dan tahajjudnya. Pada malam hari penaklukkan, Mehmed meminta seluruh pasukannya bermunajat pada Allah, menjauhkan diri dari maksiat, bertahajjud dan berpuasa pada esok harinya. 

Pada usia 16 tahun, Mehmed telah menguasai 8 bahasa dan telah memimpin ibukota Kesultanan Utsmani di Edirne. Sejak berumur 12 sampai 21 tahun, Mehmed sudah intens menjalani proses mencapai kematangan politik. Sebagian besar hidupnya berada di atas kuda mengasah ketangkasan sebagai syarat mutlak seorang panglima yang sejak dari buaian sudah bercita-cita menaklukkan Konstantinopel. Saya begitu kagum. Kekaguman itu kemudian saya sematkan pada satu kata nama anak saya yang ke-5; Uwais Fetih Hikmatyar.

Pagi masih basah oleh salju tipis yang masih turun dari langit Istanbul. Dari WOW Hotels & Convention Center, di Yeşilköy Mh. 34149 Bakırköy, Istanbul, agenda utama pertama mengunjungi Blue Mosque untuk shalat Jumat di sana. Saya membayangkan, seakan itu adalah shalat Jumat yang ‘dihadiri’ Fâtih Sultan Mehmed Han II, ‘dihadiri’ pula Syaikh Aaq Syamsuddin, guru spiritual mehmed yang setia mendampinginya selama penaklukkan. Meski di manapun shalat Jumat pasti dua rakaat, dengan dua khutbah di atas mimbar, bolehlah saya klaim bahwa ini salah satu shalat Jumat amat berharga untuk saya seumur hidup selain di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Boleh kan?

Pukul 10 pagi waktu Istanbul, saya tiba di Hippodrome Square, di Binbirdirek Mh., Sultan Ahmet Parki No: 2, 34122 Fatih/Istanbul, Turki. Masih ada sekitar dua jam sebelum shalat Jum’at. Di sini Saya melepas lelah. 

Dahulu, Hippodrome merupakan gelanggang pacuan kereta kuda, pusat olahraga, dan arena pagelaran seni kekaisaran Byzantium. Monumen ini menjadi saksi dari banyak peristiwa mengagumkan seperti perkelahian gladiator yang terkenal, kerusuhan, dan peristiwa berdarah di masa lalu.

Hippodrome dibangun dua kali, pertama kali oleh Septimius Severus untuk ruang hiburan publik pada awal abad ke-2 (tahun 196 M) lalu dibangun kembali oleh Konstantin I. Di sana berdiri Obelisk Mesir; ‘Dikilitas’ disebut dalam Bahasa Turki, dan Tiang Serpent atau Obelisk Constantine. Saya kurang begitu tertarik dengan obelisk-obelisk itu sebab sangat kental dengan cerita paganisme kuno di baliknya. 

Hippodrome bersebelahan dengan Bule Mosque, hanya dipisahkan Atmeydani cad, jalan yang terletak di tengah-tengah antara Hippodrome Square dan Blue Mosque. Maka, saya tidak terlalu khawatir bakal ketinggalan shalat Jumat bersejarah hari itu. 

Sambil menikmati panorama Hippodrome Square, di bangku kayu dengan rangka besi, saya duduk bergaya pelancong kelas amatiran yang kedinginan meskipun sudah mengenakan jaket tebal. Beruntung matahari perlahan mengusir sedikit suhu dingin. Meskipun demikian, masih tak sanggup buat melepas sarung tangan. Saya coba sekali saja melepasnya buat merasakan sensasi dinginnya Eropa. Namun tak lebih dari lima menit, jari-jemari sudah terasa kaku dan mati rasa. Begitulah hal menggelikan orang yang di kampungnya hanya mengalami musim panas dan musim hujan, ditambah musim rambutan, dan musim kawinan harus beradaptasi dengan penghujung musim dingin yang beku di Eropa. 

Empat puluh lima menit menjelang azan Jumat berkumandang, saya sudah di pancuran wudhu Blue Mosque yang megah untuk berwudhu. Brrrr, rasanya seperti berwudhu dengan air es. Di pintu masjid, satuan keamanan mulai menghalau antrian turis-turis asing non muslim yang hendak masuk ke masjid untuk menikmati kemegahan arsitekturnya. Para turis itu dilarang masuk sebab sebentar lagi shalat Jumat akan dilaksanakan. Nanti setelah shalat Jumat digelar, para turis itu baru diizinkan masuk berkunjung.

Saya takjub, saya tak berkedip menyaksikan kemegahan arsitektur Blue Mosque sesaat kaki melangkah masuk.

“Maa Syaa Allah!”

Keyword dari Fâtih Sultan Mehmed Han II adalah karakter pemimpin yang mengerti bahwa dia seorang leader. Berani berpikir out of the box dan think the unthinkable. Dia adalah perpaduan kesalehan, kecerdasan, dan keyakinan kuat bahwa Allah berkuasa mengubah kemustahilan seperti kemustahilan membebaskan Konstantinopel yang berhasil dia lakukan.

Selamat menikmati libur semester.
Meruyung, Dini hari, Sabtu 28 Desember 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap