Langsung ke konten utama

RAYYA (Bag. 1)

Prolog





Ini adalah kisah Rayya. Gadis kecil yang ceria. Hidup dalam keluarga sederhana, bahagia, dan melimpah kasih sayang. 

Di bawah asuhan Hanifah dan Fathullah, sejak kecil, Rayya sudah diperkenalkan nilai-nilai kehidupan, akhlak, serta tanggung jawab sebagai seorang muslimah. Kelak, pengajaran ini menjadi pondasi kukuh bagi jiwanya yang tak henti dihempas badai.

Masa-masa kebahagiaan Rayya hilang saat usianya menginjak kelas lima Sekolah Dasar. Setelah itu, sampai ia tumbuh menjadi gadis remaja, adalah masa-masa derita. Rayya tak putus dirundung malang karena sebagai gadis remaja, ia tidak mendapatkan haid layaknya gadis normal.

Rayya minder saat teman-temanya selalu membicarakan soal haid, membincangkan soal pembalut, dan serunya ngerumpi saat mereka mendapatkan diskon dari kewajiban shalat, tertama saat harus bangun subuh. Lagi-lagi, Rayya tersisih. Rayya ingin sekali haid. Alih-alih, Rayya malah tersiksa dengan keluhan nyeri perut, sementara haid tak kunjung ia dapatkan.

Penderitaan Rayya memuncak saat ia merasakan nyeri perut yang amat sangat. Dukun dan dokter sudah bosan mengobati. Vonis yang amat menakutkan orang tua Rayya pun harus mereka terima; rahim Rayya harus diangkat!

Namun keajaiban terjadi.

Saat memasuki remaja, Rayya takut mendengar kata cinta. Apalah dirinya yang tidak sempurna untuk urusan cinta, cowok, dan pernikahan. Rayya hanya berada dalam ruang gelap. Baginya, tidak akan ada kebahagiaan dari cinta dan mencintai. Rayya sudah tidak peduli lagi pada semua itu.

Di saat angin asmara datang mengembus. Membuai harapan fitrahnya sebagi gadis remaja, cinta datang begitu menggoda. Tapi rupanya, angin asmara itu hanya fatamorgana. Rayya terhempas.

Saat Rayya memasuki masa kuliah, bukan sekadar angin asmara yang datang mengembus. Jodoh datang ke pelataran rumahnya tanpa diundang. Harapan Rayya dan orang tuanya melambung. Namun rupanya, nasib belum selesai mempermainkan kehidupan gadis itu. Lagi-lagi Rayya terhempas. Kali ini hempasan itu lebih keras. Hempasan yang sanggup mempengaruhi jiwa Hanifah. Hanifah yang taat beragama itu tidak sadar menyalahkan takdir atas Rayya dan dirinya. Apatah lagi Rayya, yang merasa bahwa shalat, puasa, zikir, dan doa-doanya hanya menguap begitu saja tidak sampai ke langit, doa-doanya seakan memantul ke bumi karena pintu langit tertutup untuk harapannya.

Hidup Rayya penuh liku, sampai Allah Yang Mahacinta memberikan segalanya.

Novel online ini saya persembahkan untuk Rayya; karakter untuk anak sepupu yang pernah menjalani problematika gender yang teramat kompleks.


Surga Sentiong

Rumahku di bibir sebuah kampung. Namanya kampung Sentiong. Unik, seperti nama dari Bahasa Tionghoa. 

Kontur tanahnya seperti gundukan pulau berselimut pepohonan. Dikelilingi hamparan sawah. Sawah-sawah itu kerap menghitam karena lumpur yang menyeruak usai dibajak, menghijau saat rumpun padi mulai meninggi, lalu menguning keemasan saat musim panen tiba, dan akhirnya mengering kecoklatan saat rumpun padi hanya tinggal jerami. 

Saat tiba musim membajak, luku, cangkul, dan arit keluar dari tempat penyimpanannya. Di tangan para petani, perkakas itu bekerja sejak pagi hingga menjelang sore. Luku yang ditarik seekor sapi atau kerbau membalik tanah lumpur. Cangkul menghaluskan dan menggemburkan. Arit membabat rumput yang tumbuh lebat di pematang dan pinggiran sawah. Nanti, sawah akan tampak cantik dan siap ditandur. Segera wanita-wanita bertopi lebar turun menunaikan tugasnya menanam sejumput demi sejumput bibit padi yang sudah lebih dulu disemai.

Nanti, ketika padi mulai jeli, ribuan burung pipit ramai mencuri padi. Suaranya gemerisik saat terbang berhamburan karena diusir dengan ketapel. Berkali-kali diusir, kawanan burung mungil berparuh kokoh itu tidak juga kapok. Padahal ada satu, dua, atau lebih dari empat ekor dari mereka tumbang dihantam peluru Manjanik tangan alias ketapel yang dilontar petani. Nyawa pipit itu melayang, pulang ke haribaan Sang Pencipta demi sebulir padi. Namun saat petani lengah, mereka menyerbu kembali ke tengah sawah seolah tidak berduka atas temannya yang gugur. Menghisap lagi bulir-bulir padi muda yang isinya baru berupa santan. Aroma santannya yang wangi dan rasanya manis, sangat disukai mereka. Mereka belum berhenti sebelum tembolok mereka kenyang atau mati seperti nasib kawannya yang nahas. Esok pagi, kawanan pipit itu kembali lagi, mengulang rutinitas sampai padi habis dipanen, lalu mereka menghilang mencari rumpun padi yang baru di sawah lain.

Selain sawah, ada kolam-kolam ikan piaraan. Air melimpah memenuhi sawah dan kolam-kolam ikan itu. Mengalir dari sungai kecil yang membelah tepat di tengah-tengah hamparan sawah. Hulunya genangan setu di ujung kampung paling selatan. Hilirnya bertemu dengan aliran sungai Sanggrahan. Bagi kampungku, setu itu merupakan sumber mata air kehidupan kampung, sumber suburnya sawah-sawah penduduk, dan suplai air untuk kolam-kolam ikan yang tidak pernah kering.

Kampungku juga kaya dengan pohon buah. Beberapa di antaranya tinggi-tinggi dan batangnya besar-besar. Hampir semua pohon buah seperti durian, nangka, kecapi, rambutan, duku, jambu batu, jambu air, boni, sirsak, nangka landa, manggis, mangga, salak, kelapa, dan pisang tumbuh dan berbuah sesuai musim. Belum lagi pepohonan liar seperti waru, jinjing, dadap, rumpun bambu, aren, kiray, dan aneka macam pohon liar di kebun atau tegalan. Aku rasa, bentang sawah dengan air yang melimpah dan rimbun pepohonan itu yang menjadikan hawa kampungku terasa sejuk. 

Kampungku juga semarak. Saat pagi merayap naik dan senja menjelang, kicau burung bersahutan menyambut hari. Cakrawala kampungku jadi riuh rendah oleh merdu, parau, dan gemericit kicau burung yang bersahutan. Burung-burung dewasa bernyanyi merdu. Pagi dan petang seperti panggung pertunjukkan adu kicau bagi mereka. Sementara anak-anak burung berkicau parau menciap-ciap tanda mereka riang karena induknya datang membawa makanan. Makin semarak saja suara alam di kampungku berpadu harmoni dengan dahan-dahan hijau yang melambai disapu angin sepoi. Di situlah burung-burung itu bertengger, mambangun sarang, kawin, dan bertelur lalu membesarkan anak-anak mereka. Dari beranak-pinak, kemudian burung-burung itu membangun koloni. 

Itulah Sentiong yang bertetangga dengan kampung Pitara, Mampang, Rawadenok dan Kekupu. Dipisah oleh hamparan sawah dan kolam-kolam ikan yang mengelilingi tepian kampung. Ada jalan penghubung yang menurun dan berkelok-kelok membelah hamparan sawah. Lebarnya tidak lebih dari empat langkah kaki orang dewasa. Jalan itu terputus oleh sungai selebar kira-kira lima meter. Letaknya tepat di tengah hamparan sawah. Sungai itu bagai garis demarkasi yang membagi dua sisi hamparan sawah, separuh untuk Kampung Sentiong, dan separuh lagi untuk Kampung Kekupu dan Mampang. Nah, lebih kurang dua ratus meter dari bibir tebing lembah paling utara kampung Sentiong, di situ rumahku berada.

Namun sekarang Sentiong sudah berubah. Seiring ekspansi para pemilik modal, Sentiong disulap jadi kompleks perumahan. Kini tebing curam yang membelah kampungku itu pun sudah rata dikeruk buldozer. Sentiong benar-benar divermak. Semak belukar yang rimbun di bibir-bibir kampung berubah jadi tumpukkan batu kali. Dulu, semak belukar itu merupakan ekosistem bagi burung-burung sawah membangun sarang, tempat mereka bersembunyi dari bidikan ujung-ujung senapan angin atau ketapel para pemburu musiman. Suasana asli kampungku hampir tak tersisa lagi. Yang tersisa hanya keaslian namanya saja, Sentiong. Sementara surga Sentiong sudah pergi.

Di kampung inilah aku lahir dan dibesarkan. Tumbuh dan berkembang dengan limpahan kasih sayang Umi dan Ayahku yang penyabar. Aku sebut begitu, karena keduanya tidak pernah kehabisan daya demi kodratku, puteri pertama mereka yang mengidap kelainan yang paling ditakuti oleh setiap gadis dan perempuan. Hampir saja impianku menjadi wanita sempurna yang subur mengikuti jejak nenek kandas di meja operasi. Mengapa begitu? Nanti semuanya akan aku ceritakan. Sekadar berkisah bahwa aku pernah putus asa yang hampir menenggelamkan hidupku.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap