Langsung ke konten utama

QURBAN BAYRAMI

Prolog

"Jangan coba-coba tafsirkan senyum gadis itu. Saya beri tahu, apa pun tafsiran Anda tentang arti dari senyumannya itu, ia tetap menjengkelkan. Ada sekali yang saya ingat kejengkelan itu terjadi sebab nasib mempertemukan kami lagi di lain kesempatan. “Eh, kamu yang ketemu waktu ngarit, ya?” Nah, langit terasa runtuh tahu saat dia mengatakan itu. Ya, Allah, mengapa takdir sekejam ini?

INI catatan atas anugerah ‘hidup biasa’ sepanjang yang telah saya habiskan. Boleh dikata, terlalu biasa bila diteropong dari semua sudut. Bisa jadi karena terlalu biasa, menjadi sangat membosankan untuk diikuti. Tidak penting. Untuk apa hal biasa dibagi-bagi ke khalayak? Buang waktu. Harusnya yang luar biasa dong? 

Tapi, tunggu. Jangan dulu berhenti pada paragraf ini karena merasa ini tidak menarik. Awalnya tidak seperti akhirnya, kok. Tapi terserah Anda, mau melanjutkan mengikuti hal biasa ini sampai berjilid, atau berhenti sampai di sini saja. Sumonggo.

Saya anak laki-laki biasa. Maksud saya, biasa menahan lapar sebab suatu hari, Ibu tidak bisa menghadirkan sepiring nasi meski dengan lauk sederhana. Ada saja deret hari dalam seminggu di mana Ibu sudah tak punya beras di ‘pendaringan’ barang sebutir untuk ditanak. Kadang kondisi demikian itu datang pada saat yang sangat tepat. Tepat pada jam pulang sekolah, saat yang paling menyenangkan untuk makan dan minum es sirup di rumah. Tepat pada jam makan sahur di mana esok anak-anak kampung seperti saya sudah terbiasa puasa menahan lapar. Ini hal biasa yang terasa ‘mengasyikkan’ untuk saya kenang sekarang, di saat dahulu begitu menyiksa hidup saya lahir dan batin.

Pundak saya biasa memikul rumput dengan sundung. Beratnya bisa dua kali lipat dari berat tubuh saya yang cungkring. Oh, iya, apa Anda kenal sundung? Saya percaya, siapapun Anda yang menghabiskan masa kecil di kampung atau desa pasti mengenalnya. Apalagi jika akrab dengan arit dan batu asah. Bagi Anda anak kota tulen, pasti bertanya sundung itu makhluk jenis apa sih? Apakah sejenis Alien seperti makhluk dalam film Bollywood yang dibintangi Hrithik Roshan dan Preity Zinta, Koi Mil Gaya

Jika Anda penasaran what is sundung mean, googling saja ya. Bila dideskripsikan khusus soal sundung di sini, tak cukup satu dua paragraf. Makan tempat. 

Tapi masa kecil saya memang tidak lepas dari si sundung ini. Ia adalah armada pengangkut pakan kambing-kambing gaduhan peliharaan Bapak yang dipanen dari tegalan, galengan sawah, atau kebun rumput liar makanan kambing. Satu kali pundak saya pernah terjepit pikulan sundung yang patah karena beban rumput yang berat. Pundak saya luka, memar membiru. Sakitnya berminggu-minggu. Saat kisah ini ditulis, seakan rasa sakit itu seketika datang lagi. Perih.

Sundung, arit, dan kambing adalah ‘nyawa’ bagi sekolah saya. Sejak SD sampai tamat SMA, 90 % (sembilan puluh persen) biaya sekolah saya dikaver gaduh kambing. Jadi untuk bisa sekolah, saya harus mempertaruhkan pundak. Jika sekolah pagi, sore harus memikul. Jika sekolah sore, pagi yang memikul. Jika sekolah libur, itu artinya ‘penderitaan’ dua kali, sebab harus memikul sundung pada pagi dan sore sesudah ashar.

Musim kemarau atau musim hujan menjadi pengalaman paling berat hidup dengan gaduh kambing. Pada musim hujan, rumput tumbuh subur di mana-mana. Tidak perlu mencarinya terlalu jauh keluar kampung. Tetapi pundak bekerja lebih keras sebab rumput bisa tiga kali lebih berat karena basah bercampur air hujan. Belum lagi jalan becek berlumpur dan licin menjadi tantangan tersendiri saat sundung dipikul. Risiko jatuh terpeleset dan cedera, alamat tak bisa pulang. Atau rumput jatuh berhamburan menjadi kotor oleh lumpur, alamat ada tambahan kerja sebab rumput harus dicuci. Jika tidak, kambing tak mau menyantapnya. Itu pun, rumput masih harus diciprati air garam baru kambing sudi menyantapnya.

Yang paling mengerikan adalah petir. Menyabit rumput di bawah guyuran hujan dengan kilatan petir di tengah sawah, seperti meletakan telur di ujung tanduk. Tetapi apa mau dikata, sebab ‘nyawa’ demi tetap bisa sekolah, demi gaduh kambing tidak kelaparan yang mengembik sepanjang malam, adalah satu-satunya pilihan saat itu. Lidah berzikir tiada henti meminta keselamatan sepanjang tangan menyabit rumput. Mengusir jauh-jauh dari mengingat tragedi orang kampung saya yang tewas disambar petir saat menyabit rumput. Cerita nahas yang menimpa anak Wak Haji Midi pada kasus petir ini yang paling baru harus sementara dilupakan demi sesundung rumput untuk dibawa pulang. Bukhari; adik saya menjadi alasan menyudahi menyabit karena ia sudah menggigil kedinginan. Terpaksa pulang meskipun rumput yang didapat hanya cukup untuk dua sampai tiga jam kambing tidak mengembik sebab hujan tak kunjung reda.

Saat kemarau tiba, itu artinya mental disiapkan untuk jarak tempuh yang panjang. Memang rumput terasa lebih ringan, tetapi panjang pula siksaan di atas pundak berlangsung. Kerap untuk mendapatkan rumput saya harus pergi jauh-jauh keluar kampung di mana rumput masih tersedia karena tegalan, sawah, atau bulakan di kampung sendiri rumput sudah sukar ditemukan. Nah, godaan yang paling berat di musim kemarau adalah ngarit saat puasa Ramadhan. Tenggorokan tercekik, energi terkuras. Dan ini yang paling menjengkelkan, saat teman ngarit saya yang tidak puasa sengaja meledek menawarkan minum sambil, “eeuuuuugh!” membunyikan sendawa. “Kampret, lu!” hardik saya saat itu menahan jengkel.

Tahukah Anda hal yang paling memalukan saat ngarit? Yaitu saat bertemu anak gadis, cakep, kemudian pandangan mata bersirobok terus sesungging senyum merekah. Aduh, malunya bertemu anak gadis di saat yang tidak tepat. Apalagi ada sesungging senyum di bibirnya itu. Jika saja kesempatan tidak terlalu pelit buat memberi tahu akan kehadirannya, pasti ada peluang buat menghindar. 

Jangan coba-coba tafsirkan senyum gadis itu. Saya beri tahu, apa pun tafsiran Anda tentang arti dari senyumannya itu, ia tetap menjengkelkan. Ada sekali yang saya ingat kejengkelan itu terjadi sebab nasib mempertemukan kami lagi di lain kesempatan. “Eh, kamu yang ketemu waktu ngarit, ya?” Nah, langit terasa runtuh tahu saat dia mengatakan itu. Ya, Allah, mengapa takdir sekejam ini?

Moment paling berkesan saat ngarit adalah ketulusan Bapak. Ya, Bapak tidak pernah membiarkan saya memikul sundung bila dia harus turun tangan ikut mencari rumput. Ketulusan rasa sayang Bapak amat terasa di sini dibanding nasib teman saya sesama ‘anak sundung’. Dia tidak seperti Pak Fulan, ayah dari teman sekelas saya yang selalu memaksa anaknya memikul tiap kali mereka mencari rumput bersama. Sang ayah melenggang mengikutinya di belakang sementara anaknya terengah-engah dengan beban berat di pundak.

Saya anak laki-laki biasa yang waktu SD bisa jajan tiap hari meskipun Bapak jarang memberi uang saku. Asalkan projek PR dari guru selalu ada, uang jajan bukan masalah. PR bagi saya adalah tender yang selalu saya menangkan untuk tetap bisa menikmati jajan waktu istirahat. 

Adalah Si Fulan, teman sebangku saya sumber rezeki dari tender itu. Sekarang saya paham, dialah potret siswa dengan kesiapan belajar tertatih-tatih. Satu-satunya kelebihan anak itu di bangku SD adalah uang sakunya yang kencang seperti arena Formula 1. Kalau dipotret, saya juga bingung, apakah kawan saya ini masih nyangkut bila dipetakan dengan teori Multiple Intelligences? Tak tahulah saya.

Saya pun bukan siswa yang cerdas-cerdas amat, saya hanya siswa laki-laki biasa. Saya hanya rajin mengerjakan setiap PR titipan guru sebelum sekolah bubar. Sementara Si Fulan, sudahlah kesiapan belajarnya tertatih-tatih, malas pula dia mengerjakan PR. Siswa model begini, literasi tentang pentingnya tanggung jawab menyelesaikan PR sendiri hampir tidak ada. Dia hanya berpikir, selama dia punya uang, PR bukan masalah. Saya sebaliknya, selama projek PR tetap ada, problem uang jajan terpecahkan. Ini makanan empuk para perompak uang saku. 

Hei, tunggu! Saya bukan perompak. Saya tidak pernah meminta uang sakunya. Dialah perompak sesungguhnya yang meminta buku PR saya untuk dia salin. Dia pula yang memberi harga tiap satu projek PR. Saya hanya memberikan pertimbangan dan nasihat. “PR yang ini susah, kawan. Tak cukup harga segitu,” kata saya. Lalu dia kasih harga yang pantas. Harga pantas itu jika saya mengangguk sambil berujar, ”Untukmu, bolehlah segitu?” Nah, saya bukan perompak. Adakah perompak yang peduli buat memberi saran dan nasihat?

Ya Allah, jika memang pembaca menganggap saya tetap seperti perompak, maafkan saya. Bukan maksud hati, tapi takdir yang memaksa. Saya tak kuasa. Heeee …..

Ada hal biasa lain yang ternyata begitu berkilauan dalam kehidupan saya di belakang hari. Salah satunya adalah kosa kata “QURBAN BAYRAMI” yang akan saya kisahkan pada tulisan berikutnya.

Sampai jumpa. Selamat menikmati libur.

Meruyung, Sabtu, 21 Desember 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap