Langsung ke konten utama

DUTA LITERASI KOSAKATA

Memahami sebuah wacana, bermula dari mengerti kosakata. Tidak bisa tidak, sebab pesan dalam sebuah wacana akan menjadi kabur apabila kehilangan satu saja makna kosakata di sana. Bayangkan apabila wacana tersebut menyangkut persoalan penting, maka hal penting itu menjadi sia-sia. Andaikan saja hal penting itu terkait pada soal ujian, bisa dibayangkan, bisa jadi ada dua kegagalan di sana; kegagalan memahami maksud soal ujian, dan kegagalan menjawab soal ujian dengan benar.

Problem kegagalan memahami kosakata tidak bisa dianggap sepele. Ini sangat mengganggu jika tidak ingin dikatakan sebagai persoalan serius. Tentu tingkat keseriusan itu harus dilihat secara gradual. Keterbatasan anak balita memahami sebuah kosakata tentu tidak sama dengan anak TK. Begitupun dengan tingkat keterbatasan anak TK tidak sama dengan problem keterbatasan kakak-kakak mereka di SD, SMP, SMA, atau Universitas dalam memahami sebuah kosakata.

Sebenarnya, setiap individu adalah pengemban literasi kosakata. Orang pertama yang secara disadari atau tidak sebagai penyambung lidah pertama arti sebuah kosakata adalah Ibu dan Ayah. Mereka berdua lah yang pertama kali memperkenalkan seluruh kosakata yang kelak menjadi perbendaharaan wacana sang anak. Boleh dikata, Ibu dan Ayah lah yang menabuh bunyi yang keluar dari mulut sang anak. Setelahnya adalah guru dan masyarakat sampai kekayaan kosakata sang anak sudah tak berbilang.

Namun, problem memahami suatu kosakata adalah keniscayaan, meskipun kosakata itu terbilang kosakata dasar dan sederhana, meskipun kesukaran itu dialami peserta didik tingkat Tsanawiyah kelas VII (tujuh). Di sinilah tugas guru yang sebenarnya. Dia bukan hanya fokus mengajar subjeknya semata, mati-matian menyelesaikan tuntutan KD KD dalam kurikulum, melainkan ia harus menempatkan diri sebagai duta literasi kosakata. Guru bukanlah propagandis KD kurikulum an sich, melainkan memperkaya literasi peserta didik meskipun ia tersembunyi dalam misteri sebuah kosakata.

"Pak, iba artinya apa?"

Pertanyaan itu terlontar dari seorang peserta didik saat ia mengerjakan soal Penilian Harian mata pelajaran yang saya ampu; Sejarah Kebudayaan Islam. Rupanya, kata "iba" masih asing baginya sehingga ia bertanya makna kata itu tanpa malu-malu. Kata "iba" muncul pada soal tentang makna "Rahmat" yang dalam Bahasa Arab berarti "al-riqqah wal al-ta’aththuf," artinya iba atau belas kasihan.

Saya berpikir ini tidak boleh diabaikan begitu saja dengan melempar alasan itu tugas guru bahasa sebab problem itu jelas-jelas masalah kosakata, bukan substansi soal Sejarah Kebudayaan Islam yang sedang diujikan. Problem tetaplah problem, dia tidak mengenal subjek dan dikotomi bahasa dan sejarah sebagaimana literasi tidak mengenal zona wilayah sastra, sejarah, atau eksak.

Ini satu contoh problem kosakata. Saya harus menyudahinya segera. Tetapi saya enggan kata "iba" itu saya jelaskan dengan definisi. Besar kemungkinan anak itu semakin tidak memahami sebab terlalu teknisnya sebuah kosakata dibunyikan dengan pendekatan definisi.

Sebab bahasa itu menyangkut pula soal rasa, saya berasumsi, pendekatan rasa akan lebih mudah dimengerti daripada definisi yang cenderung kaku. 

"Oke. Dengarkan cerita bapak soal iba, ya," kata saya memulai. 
"Aku duduk sendiri di pojok stasiun dengan perut keroncongan. Di luar, hujan deras. Air bagai ditumpahkan dari langit berkubik-kubik. Cuaca dingin menusuk-nusuk. Angin bertiup kencang, mengempas membawa kabut butiran hujan menyiram peron. Kulihat seorang lelaki tua berjalan tertatih-tatih. Dia menghampiriku dengan tubuh menggigil sambil memegangi perutnya.
"Pak, beri saya uang sekadarnya. Buat beli nasi. Saya lapar sekali," katanya mengiba.
Aku tak tahan. Hatiku perih. Aku merasa iba. Kubuka dompetku. Sisa uangku yang tak seberapa kuberikan padanya.
"Ini, Pak. Semoga cukup untuk sebungkus nasi," kataku.
Lelaki tua itu tersenyum. Matanya berbinar. 
"Oke, sekarang sudah mengerti makna kata iba?" tanya saya.

Anak itu mengangguk. Matanya yang jenaka seolah berkata mengucap terima kasih.

Tahukah pembaca, bahwa saya semata-mata bukan sedang memainkan peran sebagai duta literasi kosakata. Tetapi, saya sedang menggunakan cerita atau wacana sebagai alat bagi kata "iba" untuk menanamkan nilai empati pada ketimpangan sosial. Ada tiga sasaran yang saya bidik, pertama siswa itu mengerti makna "iba" secara mudah dan bermakna. Kedua, dia bisa memahami soal yang saya berikan. Dan ketiga, menanamkan nilai empati tanpa harus menggurui.

Bapak ibu guru, di samping mengajarkan subjek, kita semua adalah duta literasi kosakata buat membuka wawasan bahasa dan rasa bagi anak didik kita. 

Selamat mendidik.

Rabu, 11 Desember 2019.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap