Langsung ke konten utama

QURBAN BAYRAMI

12 Jam di Atas Awan

This aircraft was thrown several feet because of comulus cloud. Please calm down. Everything will be fine. Enjoy this flight

TURBULENSI dan jatuh momok di atas pesawat. Penerbangan domestik yang kadang ditempuh kurang dari satu jam saja, momok itu baru hilang saat roda pesawat menyentuh landasan landing. Bagaimana harus melewatinya dalam hitungan dua belas jam?

Semua alat transportasi menyimpan risiko kecelakaan. Sepeda dan becak yang dikayuh, motor atau mobil yang dijalankan mesin, kereta di atas rel, kapal laut di atas bahtera, atau pesawat terbang di udara tak luput dari risiko itu. Maka memilih satu alat transportasi dengan alasan supaya terhindar dari risiko kecelakaan, rasanya mustahil. Yang paling masuk akal memilih transportasi yang paling kecil risiko kecelakaannya atau paling aman selama perjalanan. Itupun bila semua faktor pendukung keamanan itu terpenuhi.

Begitulah perasaan digoda rasa takut pada kesempatan mula-mula duduk di atas kursi pesawat dengan durasi cukup panjang. Satu-satunya cara memenangkan penerbangan memang hanya satu; melumpuhkan rasa takut itu. Bagaimana cara melumpuhkannya? Tawakkal. Apa senjatanya? Zikrullah. Jika metodologi spiritual itu tidak dilakukan, alamat tersiksa sepanjang pesawat belum mendarat. Coba saja.

Saya pasti tak tenang jika tidak berhasil melumpuhkan rasa takut itu. Pesawat Airbus A330-200 Turkish Airlines dengan nomor penerbangan TK 0067 Jakarta-Istanbul harus terbang dua belas jam menempuh jarak sekitar 9086.66 km, setara dengan 5446.19 mil jauhnya pasti terasa seperti di dalam kamp penyiksaan. Lalu, apa fungsi kendaraan sebagai fadhilah dari Allah jika jiwa yang menumpangnya tidak merasakan ketentraman di dalamnya? 

Bersyukurnya saya bisa keluar dari ketakutan itu. Selanjutnya terpesona menikmati Airbus yang elegan meski pada kelas ekonomi. Eh, tunggu, satu lagi, pramugarinya sedap dipandang sekilas. Apalagi saat ia tersenyum menyapa sambil menawarkan makan dan minum. Iya sekilas saja, tambah sedikit, terlalu lama bahaya dan tidak boleh.

Kosakata Qurban Bayrami perlahan mendekati takdirnya sejak Turkish Airlines meninggalkan Jakarta. Kosa kata itulah yang menjadi motivasi bahwa ia harus saya hantarkan ke kampung halamannya bukan dengan rasa takut, tapi bersama jiwa berani seperti keberanian Fetih Sultan Mehmet saat merebut Benteng Konstantinopel dengan begitu heroik pada 1453 M.

Benar, saat rasa takut itu sudah tidak berdaya, saat jiwa sudah memenangkan pertarungan, maka yang tersisa hanya sensasi dan relaksasi Airbus di atas ketinggian 35,000 fit dengan kecepatan maksimum 568 mph, 493 knot, 913 km/h. Malah, badan rasanya ingin melompat saja keluar dari pintu pesawat lalu berenang di atas tumpukan awan yang amat memesona. Bila Anda pernah membaca novel saya Balerina di Atas Pelangi, imajinasi tokoh utamanya yang menari balet di atas awan bersama Kei si kurcaci, benar-benar saya terjemahkan dari mengamati awan saat penerbangan. Tuh, jadi sumber inspirasi bukan?

Dua belas jam di atas pesawat mengajarkan banyak hal, bahwa ada Yang Maha Tinggi dari semua ketinggian makhluk. Manusia memang sering terpesona dengan segala ketinggian; ketinggian nasab, gelar, pangkat, jabatan, karir, dan hal-hal yang sebenarnya hanya ketinggian semu. Begitulah ketinggian semu itu kerap mendorong orang menjadi angkuh dan lupa daratan. Ia memandang orang lain dengan pandangan rendah menghinakan hanya karena merasa lebih tinggi kedudukannya bak di atas awan. Ia dengan sadar menciptakan kesenjangan yang tak terjangkau sebagai sesama manusia. Ia lupa, bahwa jangkauan ketinggian itu masih punya batas kemakhlukannya. Setinggi-tingginya capaian kebanggan itu, pada akhirnya tempat kembalinya adalah kerendahan perut bumi. Literasi saya tentang manusia sebagai makhluk yang lemah tumbuh dengan sendirinya dalam dua belas jam penerbangan itu.

Mengapung di atas cakrawala langit, kapasitas manusia mungkin hanya sepersekian ribu dari butiran debu bumi dari alam semesta. Teeeeramat kecil. Begitu pun semuanya termasuk alam semesta di mana manusia mengecil trilyunan kali di samping galaksi Bimasakti. Andaikatapun galaksi-galaksi berkumpul jadi satu, ia masih teramat kecil, tak akan pernah sebanding dari Yang Maha Besar.

Di atas ketinggian, kesadaran pada Yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu melelehkan air mata batin lagi. Khawatir Dia tidak berkenan mengembalikan raga kembali ke bumi, khawatir … dan terus khawatir. Maka kembali lagi pada senjata pamungkas; tawakkal, lalu berkemul di balik selimut Turkish Airlines yang lembut dan hangat di saat hidangan makan malam mulai disajikan. 

Begitu lelapnya, sesi makan malam itu terlewatkan hingga rasa lapar membangunkan mata hendak menyantap hidangan. Tetapi hidangan sudah lenyap dari meja saji. Rupanya, hidangan itu sudah keburu diangkat lagi oleh pramugari. Dipikir pramugari, saya belum menyentuhnya sama sekali karena sengaja ingin melewatkan makan malam agar tidak gendut. Bisa jadi sebelum sajian itu diangkat, sang pramugari membangunkan saya sebagai tatakrama. Pada setiap penerbangan yang pernah saya habiskan, pramugari meminta izin lebih dahulu sebelum mengangkat sisa atau kemasan makanan. Tetapi semua tak berarti saat fisik sudah dipeluk kantuk yang sangat malam itu.

Hati saya ciut kemudian. Turbulensi. Guncangan bukan saja menggetarkan kursi pesawat, tetapi mengisi seluruh pikiran dengan kepanikan. “This aircraft was thrown several feet because of comulus cloud. Please calm down. Everything will be fine. Enjoy this flight” terdengar dari kopkit. Di sini kepasrahan diuji lagi. Ya Tuhan, Istanbul masih jauh. Posisi pesawat baru mendekati Irak, masih 615.22 mil lagi jaraknya dengan waktu tempuh sekitar satu jam seperempat menit.

Waktu satu jam seperempat menit terasa lebih panjang dari sebelas jam waktu yang sudah ditempuh. Turbulensi itulah penyebabnya. Waktu benar-benar menguras kesabaran ingin segera mendarat. Mata saya terus menatap monitor detik perdetik. Di sana pergerakan pesawat, berapa ketinggian, berapa kecepatan, dan di mana posisi pesawat berada ditampilkan real time.

Saat Turkish Airlines memasuki wilayah Ankara, berarti kosakata Qurban Bayrami telah tiba di rumahnya. Pukul 04.40 waktu Istanbul, pesawat mendarat dengan pra kondisi yang tidak kalah mendebarkan dari turbulensi. Cuaca dingin, minus lima derajat. Salju masih turun. Landasan landing basah. Peluang roda pesawat tergelincir ada sekian persen. Beruntung semuanya berjalan baik. Pesawat mendarat mulus di Bandara Atatürk. Para penumpang memberi applause untuk pilot Turkish.

Dua belas jam penerbangan yang melelahkan dengan selisih waktu 5 jam berakhir sudah. Iya, Istanbul lima jam lebih lambat dari Jakarta. Saat pesawat yang saya tumpangi take off pukul 21.40 dari Bandara Soekarno Hatta, di Istanbul baru pukul 16.40. Ini artinya, penerbangan melewati malam lebih panjang dari waktu normal Jakarta.

Urusan bagasi di bandara Atatürk baru kelar dalam setengah jam. Selanjutnya, dengan bus, saya dan rombongan diantar menuju WOW Hotels & Convention Center, di Yeşilköy Mh. 34149 Bakırköy, Istanbul untuk sarapan. Sepanjang perjalanan, mata saya menangkap satu dua kuntum tulip sudah mekar di sela trotoar yang ditanami bunga khas Turki itu. Merah, putih, dan kuning sedap dipandang mata. Butiran-butiran salju yang masih turun sejak dari Havalimani Cd, belum juga berhenti sampai bus memasuki Dünya Ticaret Merkezi tampak membasahi badan tulip.

Di dalam bus saya sudah membayangkan susu coklat panas dan roti selai atau gulungan omlet. Cuaca dingin yang menggigit pasti segera luruh disiram susu coklat yang masih mengepul meluruskan jemari yang sudah keriting dibekukan cuaca. Ah, badan pasti terasa segar, hangat dan nyaman. Perut yang yang sudah meronta-ronta minta dipuaskan akan segera berhenti bersuara.

Saat saya benar-benar sudah di meja hidangan, segala ketegangan selama dua belas jam penerbangan baru benar-benar luruh. Seperti kotak puzzle, kosakata Qurban Bayrami sudah menempati tempatnya persis sempurna.

Sekarang saya sedang menunggu takdir bisa terbang dari Jakarta ke Granada, Spanyol. Waktu tempuhnya lebih panjang, sekitar 20 jam. Di sana ada istana Alhambra, warisan kebesaran Dinasti Umayyah Andalusia. Alhambra adalah kompleks istana sekaligus benteng yang megah dari kekhalifahan Bani Umayyah di Granada, Spanyol bagian selatan, yang mencakup wilayah perbukitan di batas kota Granada. Istana ini dibangun sebagai tempat tinggal khalifah beserta para pembesarnya.

Saya begitu penasaran dengan istana yang dibangun oleh Bani Ahmar itu pada kisaran 1238 dan 1358 M. Istana ini dilengkapi taman juga bunga-bunga indah nan harum. Ada juga Hausyus Sibb (Taman Singa) yang dikelilingi oleh 128 tiang yang terbuat dari marmer.

Bismillah, semoga Allah takdirkan untuk melengkapi Konstantinopel.

Selamat rihat.

Meruyung, pada tengah malam, 27 Desember 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap