Langsung ke konten utama

‘Sinisisme’ Produk Fikih Perang Salib


KITAB-kitab fikih yang kita pelajari sebetulnya produk-produk, sebagian besar produk Perang Salib. Maka itu konsep kenegaraan itu masih ada Darus Silmi, negara Islam. Kalau bukan negara Islam, berarti Darul Harb, negara musuh.




Membaca utuh berita CNN pada https://www.cnnindonesia.com/, ada tiga kata kunci sebagai poin pentingnya, yaitu produk fikih, Perang Salib, dan radikalisme. Pada paragraf awal berita, ketiga kata kunci itu sudah sangat jelas bahwa dikatakan “untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pondok pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme.” Secara tidak langsung, ini sama saja ‘menuduh’ pesantren dan kitab fikih sebagai pemicu radikalisme.

Bagi para santri alumni pesantren, mungkin akan sangat mudah menjawab ‘tuduhan’ itu. Merekalah yang tahu persis tentang muatan kitab fikih yang didalami di pesantren, mengajarkannya kembali kepada para santri di tempat lain, dan tentu mengamalkannya dalam praktik ubudiyah sehari-hari. Dari sini, para santri tentu bisa mengukur apakah mereka sudah menjadi radikal karena belajar fikih di pesantren atau tidak.

Bagi kita yang bukan santri alumni pesantren, paling banter hanya menduga-duga, apa benar produk fikih dan pesantren mengarah kepada radikalisme? Bukankah pondok pesantren sudah mengakar eksistensinya di nusantara selama berabad-abad? Mengapa baru sekarang isu radikalisme dikait-kaitkan dengan fikih dan pesantren? Di luar itu –ini yang perlu juga diperhatikan– makna radikalisme itu menurut siapa?

Beberapa pihak sering menggunakan istilah intoleran dan radikal untuk menunjuk orang Islam yang bercelana cingkrang, berjanggut lebat, anti LGBT, atau menolak orang nonmuslim menjadi gubernur pun dicap radikal. Sementara, para pelaku kasus pembakaran masjid di satu wilayah NKRI pada 2015 misalnya tidak ramai dicap sebagai kelompok radikal. Jadi, makna radikal sedemikian bebasnya digunakan dan dipersempit hanya sebatas ekstrimisme untuk kepentingan tertentu. Sangat tidak adil.

Di samping itu, istilah moderat pun digiring untuk membentuk kesan yang sama. Seolah kalau tidak moderat dia pasti menjadi radikal. Ciri dari orang moderat pun dibuat menggelikan, seperti orang yang apabila agamanya dihina, dia tidak boleh marah. Orang taat menjalankan syariat, itu dianggap tidak moderat, karena syariat itu sendiri dianggap mengajarkan kekerasan. Turut mengucapkan selamat perayaan hari raya umat lain, pasti muslim moderat. Orang yang menerima konsep LGBT sebagai keadaan sah dan normal, ini juga muslim moderat plus toleran, dan lain sebagainya.

Sekarang, muncul istilah kitab fikih produk Perang Salib yang selama ini diajarkan di pesantren-pesantren. Bisa jadi, yang dimaksud adalah kitab fikih yang ditulis saat era Perang Salib berlangsung. Bisa jadi pula produk kitab fikih yang disusun pasca peristiwa Perang Salib. Entahlah. Sayangnya, kitab produk fikih Perang Salib yang diajarkan itu yang mana tidak dijelaskan. 

Pastilah bukan fikih bab thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, i’tikaf, jual beli, wasiat, nikah, talak, jinayat, hudud, hewan sembelihan bab-bab dalam bahasan fikih yang persoalkan sebagai fikih produk Perang Salib itu. Ini pasti bab jihad yang berhubungan langsung dengan persoalan peperangan. Lebih spesifik lagi Fikih Politik. 

Umumnya, rujukan tentang Fikih Politik adalah karya Imam al-Mawardi yang wafat tahun 450 H/1059 M dengan kitabnya "al-Ahkam as-Sulthaniyah" dan karya Imam al-Haramain (Syaikh Abdul Malik An-Naisaburi) yang wafat tahun 478 H/1087 M dengan kitabnya "Ghiyats al-Umam wa at-Tabats azh-Zhulam." Hanya saja, kedua ulama besar kontemporer dan karyanya inipun hadir sebelum perang Salib berlangsung.

Bila waktu ditarik mundur ke era empat Imam Mazhab fikih –Imam Abu Hanifah (w.150 H/767 M), Imam Malik (w.179 H/789 M), Imam Syafi’i (w.204 H /820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H/855 M)– yang sudah menjadi rujukan dan pegangan mayoritas Umat Islam di dunia semenjak seabad yang lalu, masanya dengan Perang Salib pun semakin jauh. Ada selisih 241 tahun antara fikih empat Imam yang sudah mapan itu dengan Perang Salib yang baru berlangsung pada 490 H sampai 670 H/1096 M sampai 1271 M. 

Tidak mungkin pula dijawab dengan menyebut kitab “Matn al-Ghayah wa at-Taqrib” karya Syihabuddin Abu Syujak Al-Ashfahani –kitab fiqh paling populer di kalangan pesantren salaf yang dipelajari hampir di seluruh pesantren salaf di Indonesia. Namun, lagi-lagi masalah waktu dengan Perang Salib pun masih belum clear. Sudah pasti kitab ini disusun sebelum pecah Perang Salib apabila ditilik dari tahun kewafatan Abu Syujak yang wafat di Madinah pada 488 H atau 1095 M –setahun sebelum Perang Salib babak pertama mulai dikobarkan Paus Urbanus II pada pertemuan akbar di The Council of Clermont, Prancis Selatan. Maka, kitab fikih mana yang dimaksud sebagai produk Perang Salib pun masih menyisakan ‘kepo’ berkelanjutan.

Shalahuddin dan Perang Salib

NAMA lengkapnya Abul Muzhaffar Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadzi, populer dipanggil dengan Shalahuddin Al-Ayyubi. Garis keturunannya dari suku terhormat, yaitu suku Rawadiyyah atau Kurdi dari kawasan Hadzyaniyyah. Lahir pada 532 H/1137 M di benteng Tikrit, sebuah kota di tepian sungai Tigris, sekitar 140 kilometer di barat laut kota Baghdad. Ayahnya, Najmuddin bin Ayyub bersaudara dengan Asaduddin Syirkuh. Keduanya merupakan petinggi Tikrit yang mengabdi kepada Sultan Saljuk Muhammad Malik Shah.

Kiprah Shalahuddin dalam Perang Salib merupakan salah satu episode yang paling heroik dalam karir militer dan kekuasaannya. Pada Perang Salib babak kedua yang ditandai dengan bangkitnya Umat Islam merebut daerah-daerah yang telah diduduki pasukan Salib, Shalahuddin turun gelanggang bersama para tokoh kunci kemenangan. Dimulai pada 1144 M, Imaduddin Zangi, seorang gubernur Mosul, Irak melancarkan serangan terhadap posisi-posisi pasukan Salib di Aleppo dan Hamimah. Sepeninggal Imaduddin Zangi 1146 M, Nuruddin Zangi melanjutkan perjuangan ayahnya merebut kota Antioch pada 1149 M. Pada 1151 M seluruh Edessa direbut kembali.

Bangkitnya umat Islam dan keberhasilannya merebut daerah-daerah pendudukan kaum Salib, mendorong Paus Eugenius III mengobarkan Perang Salib II yang disambut dengan baik oleh raja-raja Eropa seperti Louis VII, Raja Perancis, dan Conrad III, Raja Jerman yang memimpin pasukan Salib merebut wilayah Syria. Namun, usaha mereka dapat dihalau oleh Nuruddin Zangi. Pada 1174 M Nuruddin Zangi meninggal. Pimpinan pasukan diambil alih oleh Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pada 1187 M Shalahuddin berhasil merebut Yerusalem dan kota-kota lain dari kekuasaan pasukan Salib. Pada periode ini, pertempuran yang paling terkenal sebelum Yerusalem berhasil direbut Shalahuddin adalah pertempuran Cresson, pertempuran Tiberias, dan pertempuran Hattin yang paling banyak dikenang peminat sejarah Perang Salib. Pertempuran Hattin terjadi pada 18 Rabi'ul Tsani 583 H/ 4 Juli 1187 M yang mengantar pada puncak perang dengan dibebaskannya Al-Quds atau Baitul Maqdis pada 27 Rajab 583 H/2 Oktober 1187 M oleh Shalahuddin.

Shalahuddin berhasil mengembalikan marwah Khalifah Umar bin Khattab ra. yang dahulu membebaskan Yerusalem pada 637 M. Saat itu, Yerusalem berada di bawah tanggung jawab Pemimpin Kristiani Uskup Sophronius sebagai perwakilan Byzantium dan kepala gereja Kristen Yerusalem. Ketika pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci tersebut, Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Yerusalem kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar  yang datang langsung menerima penyerahan darinya. Mendengar kabar tersebut, Khalifah Umar langsung berangkat dari Madinah menuju Yerusalem berkendara keledai ditemani satu orang pengawal. Setibanya di Yerusalem, Khalifah Umar disambut oleh Sophronius. Kunci gerbang kota diserahkan. 

Karena kelemahan barisan kaum muslimin, pada 1099 M Yerusalem direbut pasukan Salib. 88 tahun kemudian, saat kaum muslimin bersatu di bawah kepemimpinan Shalahuddindan, Yerusalem kembali ke pangkuan kaum muslimin.

Fikih Toleransi di Tengah Gelombang Perang Salib

MAKA, wajarlah kening berkerut jika radikalisme hari ini dikaitkan dengan produk fikih Perang Salib, sementara fikih mana yang dimaksud tidak jelas subjeknya. Jangan pula dilupakan, di akhir babak Perang Salib era Shalahuddin yang berkecamuk pun, Shalahuddin menampilkan sikap toleran. Ksatria muslim ini membebaskan sebagian besar kaum Kristen tanpa dendam, bahkan memberikan perlindungan kepada mereka orang Kristen itu. Perlakukan Shalahuddin ini berkebalikan 180 derajat dari kebengisan Pasukan Salib saat dahulu pada 1099 M mereka merebut Yerusalem di mana tidak kurang dari 70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.

Sejarawan Inggris, John Stuart Mill menuturkan bahwa, sejumlah orang Kristen yang sudah meninggalkan Yerusalem pergi mengungsi ke negeri Kristen Antioch usai penaklukkan, bukannya diterima dengan baik di sana. Mereka malah ditolak lalu diusir tidak diterima oleh sesama orang Kristen. Para pengungsi kemudian memutuskan pergi menuju negeri Islam di bawah kekuasaan Shalahuddin. Di sana, mereka disambut penuh kehangatan dan kemurahan. 

Tidak sampai di sini, pada saat para Uskup dan orang-orang Kristen keluar dari Yerusalem menuju kota Shur (Asshur atau Siria), kota pertahanan terakhir pasukan Salib sebab kekalahan mereka dalam perang Hittin dan direbutnya kembali kota-kota serta wilayah-wilayah yang dulu dikuasai salibis di seluruh Syam oleh Shalahuddin, para Uskup dan orang-orang kristen didampingi para pengawal dari kaum muslimin untuk melindungi dan mengantarkan mereka sampai ke Shur.

Secara pribadi, Shalahuddin pun menunjukkan simpati pada Richard The Lionheart, musuhnya di medan perang saat raja Inggris itu jatuh sakit. Shalahuddin Al-Ayyubi mengirim dokter, menghiburnya, mengirimkan buah-buahan, dan es kepadanya.

Pertanyaan pentingnya adalah, Shalahuddin itu penganut mazhab fikih apa? Jawabannya jelas, Shalahuddin dalam banyak literatur disebutkan adalah penganut mazhab Syafi’i. Shalahuddin pula yang berjasa mengembalikan mazhab Ahlussunnah di Mesir setelah sekian lama di bawah kendali Dinasti Fathimiyah (910 M hingga 1171 M) yang bermazhab Syi’ah.

Meskipun menganut mazhab Syafi’i, akan tetapi sebagai seorang Sunni, Shalahuddin mendirikan madrasah-madrasah berdasar pemahaman empat mazhab fikih. Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak ditemukan sama sekali madrasah yang mengajarkan fikih Mazhab Hanbali dan Maliki. Setelah Ayyubiyah berkuasa di kawasan itu, ditemukan 40 madrasah Syafi’i, 34 madrasah Hanafi, 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki.

Shalahuddin pun sangat dekat dengan para ulama selain pengikut Mazhab Syafi’i secara personal. Beberapa di antara mereka memiliki andil besar mendampinginya dalam medan jihad, seperti An-Nashih Abdurrahman bin Najm, seorang ulama Madzhab Hanbali yang menjadi rujukan setelah Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Syeikh Abu Umar Al-Maqdisi saudara dari Syeikh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, juga bersama dengan sepupunya Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisi serta saudaranya, Syeikh Imad Al-Maqdisi. Keempat ulama bersaudara itu selalu ikut serta dalam barisan Shalahuddin Al-Ayubi dalam berjihad melawan Pasukan Salib. Demikian pula Ibnu Munajjih, seorang fukaha Madzhab Hanbali yang lain yang ikut serta dalam pembebasan Al-Quds.

Darah Fikih Para Ulama dan Santri

DARAH para ulama yang tumpah saat merebut kemerdekaan republik ini bukan berbau amis, melainkan "berbau fikih” dengan semangat jihad keluar dari penjajahan. Semangat jihad mereka sama seperti dahulu semangat jihad Khalifah Umar bin Khattab ra. dan Sultan Shalahuddin saat keduanya membebaskan Al-Quds. Mustahil tanpa semangat jihad yang membara, Indonesia bisa merdeka sebagaimana Al-Quds berhasil dibebaskan.

Sekadar menyebut contoh, bangsa ini punya Kiai Subchi Parakan yang sering disebut “Kiai Bambu Runcing”. Ada pula KH Abdullah Syafi’i yang dijuluki “Singa Betawi”. Ada Kiai Abbas Buntet Cirebon, kiai rujukan dalam strategi perang kemerdekaan. Mustahil dalam diri mereka tidak mengalir darah fikih. 

Begitu juga Laskar Hizbullah (LH), tentara rintisan para ulama Ahlussunah Wal Jamaah yang juga berandil besar dalam peperangan 10 November 1945, mesti mereguk aroma fikih sebelum turun ke medan tempur. Bagaimana tidak, sebab mayoritas LH adalah para santri di bawah komando langsung KH Hasyim Asy'ari Jombang. Secara militer dipimpin KH Zainul Arifin Tasikmalaya dan KH Abbas Abdul Jamil dari Buntet Pesantren. Sebagaimana diketahui, Buntet Pesantren atau Pesantren Buntet menjadi markas latihan LH, Sabilillah, dan pasukan PETA.

KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan Muhammadiyah-nya, juga tak kalah sengit meski tidak berada pada front mengangkat senjata di medan tempur. Jihadnya Kiai Dahlan lebih tampak pada gerakan dakwah, sosial, dan pendidikan guna mengatasi hegemoni penjajah waktu itu. Kiai Dahlan fokus pada jihad memberantas kebodohan melalui sekolah-sekolah yang didirikan, bidang sosial dengan rumah-rumah sakit, panti asuhan, dan menyantuni anak-anak yatim, serta memurnikan ajaran Islam dari syirik, khurafat, dan  bid'ah yang merajalela. Satu lagi, Kiai Dahlan concern dengan upaya membendung kristenisasi yang digawangi zending  atau Kristening Politik kolonial untuk pribumi. Sudah pasti, Kiai Dahlan juga sudah "terpapar" pemahaman fikih yang bersumber pada Al-Qur'an dan sunnah sahihah dalam menjalankan gagasan dan organisasinya.

Pekik takbir Bung Tomo masih pula bisa ditelusuri jejaknya dalam buku-buku sejarah. Resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari masih pula belum hilang dari dokumen sejarah. Jauh sebelumnya, pada abad ke-18, Syeikh Abdu Somad al-Palimbani, ulama dari Palembang telah menginspirasi gerakan jihad di Nusantara dalam melawan penjajah dalam kitabnya "Nasihat al-Muslimin wa Tazkirawat al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah". Terus, salahnya fikih di mana?

Mengaitkan fikih dan pesantren dengan radikalisme rasanya lebih kepada sinisisme daripada objektivitas sejarah. Apalagi, radikalisme sudah menjadi barang jualan. Selama ini, yang paling merasa tersudut dengan istilah itu adalah umat Islam.

Allahu a’lam.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap