Langsung ke konten utama

NUZULUL QUR'AN; REFLEKTIF ATAS PERADABAN ISLAM DAN AKAR TRADISI LITERASI

O, putera pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah takkan mencemoohkanmu; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.
PADA pertengahan Ramadhan 14 abad silam, Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Persisnya –menurut mayoritas pendapat terjadi pada Senin 17 Ramadhan– sekitar tahun 610 M di Gua Hira. Wahyu pertama yang diturunkan yaitu surat Al-’Alaq [96] 1-5.

Efek pesan wahyu pertama ini luar biasa. Ia mampu mengubah peradaban. Bukan saja peradaban Arab saat itu, melainkan peradaban dunia di belakang hari. Tak pelak, peradaban berubah dahsyat, melebihi dahsyatnya goncangan yang dialami baginda Muhammad saw. saat wahyu pertama itu beliau terima. Khadijah, istri tercinta, sampai harus menghibur jiwa sang suami buat menenangkan hati beliau yanag terguncang:

”O, putera pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah takkan mencemoohkanmu; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”

Begitulah seterusnya, wahyu pertama itu bukan saja pesan paling unik yang hanya ada pada kitab suci Al-Qur’an dari semua kitab suci yang dikenal perdaban manusia, melainkan secara keseluruhan Al-Qur’an menjadi inspirasi bagi peradaban yang berubah cepat.

Rasanya, fakta memaksa umat Islam saat ini harus mengakui bahwa tingkat literasi mereka masih jauh tertinggal. Seharusnya bisa mendekati masa emas literasi Umat Islam abad pertengahan. Maka, sudah sewajarnya, tiap kali 17 Ramadhan diperingati sebagai malam Nuzulul Qur’an, kesadaran atas wahyu pertama yang kental muatan literasi; iqra, membangkitkan kesadaran literasi yang mengakar. Sekadar diingat lagi, bahwa wahyu literasi itu turun di tengah-tengah budaya Arab yang belum beranjak dari fase jahiliyah.

Literasi Arab Pra Islam

MESKIPUN secara umum Arab Pra Islam dikenal masyarakat jahiliyah, namun Quraisy secara khusus memiliki budaya literasi yang kuat. Di mata mereka, orang yang sempurna (al-kamil) adalah sosok yang memiliki kecakapan menulis di samping kecakapan berenang dan memanah.

Akar tradisi literasi Quraisy mengakar sampai ke sudut-sudut pasar. Pasar Ukaz yang mereka bangun, bukan saja berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, melainkan mirip festival literasi. Di pasar itu, lazim digelar sayembara sastra. Karya sastra terbaik mendapatkan kehormatan, di mana nama penyair dan karya sastranya ditulis dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka’bah. Beberapa sastrawan yang mendapat kehormatan itu antara lain Mu’allaqah Imri al-Qais dan Mu’allaqah Zuhai bin Abu Salma.

Pada masa-masa awal dakwah nubuwwah, produk literasi sastra Quraisy berada pada dua jalan persimpangan; jalan penentang, dan jalan pendukung dakwah. Para sastrawan kelompok pertama mulai menyasar pada upaya-upaya kekerasan terhadap Nabi saw. Karya-karya mereka bukan lagi murni karya literasi sastra. Ka’ab bin Zuhair (sebelum memeluk Islam) adalah contoh sastrawan Mekah yang syair-syairnya kerap menghina Nabi saw. dan Islam. Begitu tajam syair-syairnya menyerang kepribadian Nabi saw. dan Islam, namanya masuk dalam daftar orang-orang yang tidak mendapatkan amnesti dari Nabi saw. Andaikata bukan karena saudaranya; Bujair bin Zuhair menyuruh Ka’ab datang menemui Nabi saw. di Madinah untuk meminta maaf, bertobat, dan memeluk Islam, hidup Ka’ab akan berakhir di ujung pedang.

Perang Badar dan Literasi Menulis

Di Madinah, Nabi saw. memberikan perhatian pada tradisi literasi menulis. Di tahun pertama hijrah, pada 622 M, sebelum masyarakat dunia modern mengenal konstitusi tertulis, Nabi saw. memperkenalkan “Piagam Madinah”; konstitusi tertulis pertama di dunia. Gagasan beliau ini merupakan lompatan literasi yang melampaui zaman.

Jika urutan waktu kelahiran piagam bersejarah di dunia direkonstruksi, tampaklah kesenjangan waktu yang amat panjang. Magna Charta, yang berarti ‘Piagam Besar’, baru disepakati di Runnymede, Surrey pada 15 Juni 1215 M. Piagam ini membatasi monarki Inggris sejak masa Raja John dari kekuasaan absolut. Konstitusi Amerika Serikat baru disusun beberapa tahun setelah pernyataan kemerdekaan Negeri Paman Sam itu yang ditandatangani pada 1776 M. Ini berarti, kehadiran “Piagam Madinah” nyaris 6 abad mendahului Magna Charta dan hampir 12 abad mendahului Konstitusi Amerika Serikat, bukan?

Masih ingat kisah perang Badar? Bayangkan, dalam situasi dan kondisi pasca peperangan yang dahsyat, Nabi saw. masih memikirkan soal literasi. Dalam catatan sejarah, pasukan Islam berhasil menawan sekitar 70 musyrikin Quraisy di medan Badar. Dua dari 70 musyrikin Quraisy dieksekusi karena besarnya kejahatan perang yang mereka lakukan. Keduanya adalah Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith. Sisanya dibebaskan dengan tebusan harta dan dibebaskan tanpa syarat. Yang paling menarik adalah langkah Nabi saw. menjadikan tebusan mengajar baca-tulis bagi anak-anak kaum Muslimin Madinah sebagai syarat tawanan itu dibebaskan.

Nabi saw. secara cerdas tak sungkan mengonversi nilai tawanan perang dengan literasi dasar baca tulis. Sebagai ilustrasi, Sayyidina Abu Bakar ra. menebus Bilal seharga 100 dinar emas. Umumnya harga tebusan tawanan perang waktu itu untuk para tawanan berlaku setara 1000 sampai 4000 dinar. Seharga itulah tawanan yang tidak punya harta diminta mengajar baca-tulis bagi anak-anak kaum Muslimin Madinah. Setiap tawanan mengajari sepuluh anak-anak Madinah.

Nabi Literat

Fakta tawanan perang Badar seakan berbicara bahwa peradaban Islam adalah peradaban literasi. Baginda Muhammad SAW adalah Nabi literat. Bagaimana tidak, keberhasilan beliau membangun tradisi tulis menulis menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan bagi peradaban ilmu dan tulisan. Ketika Islam datang, jumlah para penulis di kalangan Kaum Muslimin masih dibilang sangat minim. Di kalangan Quraisy saja, hanya terdapat sekitar 17 orang. Namun, berkat strategi pengajaran yang diterapkan Nabi saw. para sahabat yang memiliki kemampuan literasi menulis naik sangat signifikan. Di sekeliling Nabi saw. ketika itu, lebih dari 60 orang sahabat sudah menguasai literasi menulis.

Guru Besar Universitas Ibnu Saud, Allah yarham Prof. Mustafa Azami menyebut Nabi saw. mempunyai 65 sekretaris. Di antara sekretaris itu ada Zaid bin Tsabit yang ditugaskan untuk menulis surat kepada raja-raja, Ali bin Abi Thalib menulis akad-akad perjanjian, al-Mughirah bin Syu’bah menulis kebutuhan-kebutuhan Nabi saw. yang bersifat mendadak, Abdullah ibnu al-Arqam bertugas mencatat utang-piutang dan akad lainnya di tengah masyarakat, dan lain-lain.

Dari percikan sirah di atas, sangat wajar kegelisahan atas kesadaran literasi umat Islam belum bisa mengulang abad pertengahan di mana Islam menjadi mercusuar ilmu pengetahuan. Padahal membaca dan menulis selama ini masih ditempatkan pada posisi literasi dasar yang menjadi pintu gerbang literasi-literasi yang lain. Sedangkan pada literasi dasar itu gairah umat masih terseok-seok.

Dari dua literasi dasar itu, literasi menulis lebih terseok lagi, padahal ia pesan wahyu, pesan hadits, dan tradisi Nabi saw. yang amat peduli terhadap pengembangan literasi sejak mula tinggal di Madinah. Lalu, ke mana relevansi memperingati malam Nuzulul Qur’an setiap tahun menguap? Terus, bagaimana caranya impian buat mengulang masa kejayaan Islam bisa diwujudkan bila literasi umat masih terseok-seok?

Selamat menikmati momen wahyu pertama turun. Salam Literasi.

Depok, 16 Ramadhan 1414 H/ 09 Mei 2020.

Abdul Mutaqin
Kepala UPT. Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap