Langsung ke konten utama

Ibtimes dan Wacana Liberalisme; Tanggapan atas Tulisan Kumaila Hakimah (2)

Menyoal akal dan kebebasan berfikir, Kumaila berkata, “Justru untuk memahami wahyu, dibutuhkan akal dan kecerdasan yang matang. Tapi tentu saja tuduhan liberal dan segala macam ini bukan hanya terjadi di masa modern seperti sekarang. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazzali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd yang karyanya masih kita kaji hingga sekarang adalah beberapa figur cendekiawan muslim yang dicap liberal pada masanya.”

Siapa pun setuju bahwa untuk memahami wahyu dibutuhkan kesehatan akal dan kecerdasan. Namun perlu dimengerti, syarat untuk memahami wahyu harus pula didukung perangkat ilmu yang mumpuni dan tidak sembarang orang memilikinya. Lagi pula, soal akal sehat dan kecerdasan yang matang untuk memahami wahyu tidak ada kaitannya sama sekali dengan liberal atau tidak liberal. Malah yang banyak terjadi, pandangan liberal lah yang justru merusak dan menyelewengkan potensi akal. Porsi akal bukan digunakan untuk mengungkap kebenaran wahyu, tetapi malah diperalat untuk mengaburkan pesan wahyu atas nama kebebasan berpikir. Dalam kasus pendapat akal Syukron Amin yang liberal itu tentang sedekah, di mana letak kesesuaiannya dengan pesan wahyu mengenai kewajiban memelihara kehormatan?

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Kumaila mengatakan bahwa Al-Ghazzali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd dicap liberal pada masanya pada tulisannya di https://ibtimes.id Masa? Kata siapa?

Membaca kesimpulan ini, Ingin ketawa tapi takut dosa. Yang ada Kumaila, ilmuwan semacam Ibnu Rusyd dipaksa-paksa diproyeksikan sebagai pioneer liberalisme dan sekularisme di dunia Islam zaman ini. Oleh siapa? Oleh orang-orang yang berpaham liberal itu. Mereka kejam sekali loh, Kumaila. Masa, sampai berani-beraninya sahabat mulia Umar bin Khattab ra. pun dimasukkan dalam list pemikir liberal. Kan, ngaco. Belum lagi golongan Mu‘tazilah yang memang sudah populer disebut sebagai kelompok rasional dalam khazanah pemikiran Islam.

Ini namanya flying victim, membela liberal dengan mendudukan orang liberal sebagai korban. Hati-hati flying victim, salah-salah Anda malah mengulang kesalahan seperti yang pernah dilakukan “profesor” dari Monash yang ngetwit:
JIL adalah label yg diberikan oleh kaum sumbu pendek kpd orang yg tidak terjangkau pemikirannya akibat keawaman mereka, Kira2 begitu.
Ini kan, menggelikan. JIL (Jaringan Islam Liberal ) sewaktu masih hidup itu alamatnya jelas, Jalan Utan Kayu, No. 68H, Jakarta Timur 13120. Digawangi editor seperti Akhmad Sahal, Anick, Burhanuddin, Hamid Basyaib, Lanny Octavia, Luthfi Assyaukanie, Malja Abrar, Abd. Moqsith Ghazali, Nong Darol Mahmada, Novriantoni, Saidiman Ahmad, Taufik Damas, dan Uli Abshar Abdalla. Lha, kok malah dituduh sebagai hasil pelabelan dari orang sumbu pendek dan awam. “Kasihan” Ulil dan pasukannya kalau begini.

Baik, kembali ke Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd tidak pernah terjebak pada pemikiran desakralisasi terhadap al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw, kontekstualisasi penafsiran, penghalalan zina, lesbianisme, homoseksual, atau pembenaran wanita menjadi khatib dan imam salat Jum’at dan sebagainya, topik yang banyak para pengusung liberalisme kecemplung di dalamnya. Ibn Rusyd tidak bermain-main di wilayah itu dan sangat jauh dari dituduh liberal apalagi diposisikan sebagai sosok liberal. Dahulu sewaktu belajar filsafat yang menyinggung Ibnu Rusyd, dalam soal akal dan wahyu pun, saya diberitahu bahwa tokoh asal Cardova ini berpandangan bahwa kebenaran filosofis (akliah) tidak kontradiktif dengan kebenaran ilahi (wahyu) karena keduanya bersumber dari satu sumber yang sama. Ibnu Rusyd juga percaya bahwa wahyu dan akal saling melengkapi.

Tidak ada jejak Ibnu Rusyd melakukan desakralisasi terhadap al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. meskipun akalnya sangat cerdas. Tidak seperti “kelewat cerdasnya” pengusung Islam Liberal semacam Guntur Romli yang pernah memosting twit:

“Oleh krn itu, Qur’an bukan kitab suci, bukan pula menyebabkan kita tabu untuk menggaulinya. Nabi Muhammad bukan pula manusia suci.”

Bagaimana ini?

Tentu ini tidak sesuai dengan asumsi Anda sendiri Kumaila, di mana Anda katakan bahwa tujuan dari kebebasan berpikir ini adalah agar kita sebagai manusia bisa menemukan kebenaran dan menyelesaikan persoalan, masih selaras dengan tujuan adanya Islam di muka bumi ini.

Terus, apa yang bisa diselesaikan dari mengatakan Al-Quran bukan kitab suci dan sosok Nabi Muhammad saw. bukan manusia suci hasil buah pikir pengusung Islam Liberal di atas? Masihkah Islam Liberal tidak berbahaya menurut Anda? Ya, semua kembali kepada pilihan Anda sendiri.

Allahu a’lam bishshawab.[]

Abdul Mutaqin
Penulis buku “Kyai Kocak VS LIberal”

Depok, Ramadhan hari ke-12.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap