Langsung ke konten utama

BUNGKUS GORENGAN


Papa. Aku benar-benar jatuh cinta!

TIKA Pratiwi telah pergi. Kanker mengantarnya dalam tidur yang panjang. Saat jenazahnya disemayamkan, senyum Tika menyungging. Bisa jadi karena perempuan itu sudah puas. Dia pulang dengan damai, tidak dengan rasa takut atas putrinya lagi. Dia sudah mewariskan kepada putrinya karakter baik sebelum penyakit ganas itu merenggut kehidupannya.

Semasa hidup, Tika memang menyimpan banyak kerisauan. Dia risau apabila kelak putrinya tidak paham budaya mengantre, tidak pandai meminta maaf saat dia keliru, dan enggan mengucap terima kasih saat dia dibantu. Apalagi bila kelak putrinya tidak memiliki kepedulian pada sesama, kosong dari rasa tanggung jawab, tidak amanah, dan tidak memiliki integritas. Jika itu kehidupan putrinya kelak, Tika merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Dia hanya merasa berhasil telah melahirkan anak itu ke dunia. Itu saja.

Kerisauan yang paling mengganggu Tika belakangan adalah soal kemanusiaan yang mudah sekali terkoyak. Putrinya sedang tumbuh dalam iklim di mana orang begitu gampang melemparkan tuduhan miring kepada kelompok lain sambil merusak nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dan, Tika paling takut apabila putrinya menjadi musuh agama dan kemanusiaan sekaligus. Sebaliknya, Tika amat berharap putrinya mampu membumikan pesan Nabi Muhammad, bahwa “sebaik-baik manusia adalah mereka yang kehadirannya memberikan manfaat kepada orang lain” meskipun pada hal-hal yang sederhana.

Tika memang seorang aktivis kemanusiaan. Dia selalu hadir di saat kehidupan sosial terkoyak karena bencana, wabah, dampak perang, atau keadaan yang membutuhkan keterlibatannya. Tika pernah bergabung pada misi kemanusiaan di Afrika, misi kemanusiaan terakhirnya sepanjang dia menjadi relawan.

Karakter kerelawanan Tika menurun kepada putrinya sebagai hasil pembelajarannya di rumah. Tak heran, watak peduli anak itu sangat menonjol. Seakan, karakter Tika menyatu sempurna dalam diri Tika kecil, misalnya dalam hal berbagi. Tiap berangkat sekolah, putri kecil Tika selalu minta bekal makanan untuk porsi tiga orang. Saat pertama kali permintaan itu disampaikannya kepada Tika, Tika bertanya, apakah porsi makan sebanyak itu sanggup dihabiskannya?

Putrinya menggeleng. Matanya seolah takut diselidik Tika.

“Loh, kalau tidak, untuk apa bawa bekal banyak sekali?”

Putrinya menjawab, bekal makanan itu bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan akan dinikmati bersama Dion dan Galang. Belakangan Tika tahu, Dion dan Galang termasuk peserta didik dengan biaya subsidi silang yang dikelola yayasan tempat anaknya belajar.

“Dion dan Galang sering tidak bawa bekal, Mama. Kasian.”

Tika meleleh. Dipeluk putrinya erat-erat. Tika bergetar. Betapa dia bahagia melebihi kebahagiaan saat berhasil membuat anak-anak Afrika tertawa lebar hanya dengan sepotong roti yang dia berikan buat mengusir lapar mereka yang entah kapan bisa terpenuhi selama konflik pecah di Benua Hitam itu.

“Putri mama hebat,” ucap Tika sambil memberi acungan jempol. “Mulai esok, mama akan siapkan makan siang untuk kalian bertiga.” Pungkas Tika sambil tersenyum, namun dia payah menahan linang air mata yang hampir tidak bisa dia sembunyikan.

“Mama tidak marah?” Tanya putrinya berbinar.

Tika menggeleng.

“Benar ya, Ma?” Ucap anak itu. Matanya tak lagi takut.

Sejak saat itu, Tika selalu menyiapkan bekal untuk putrinya seukuran porsi tiga anak kecil. Sering dia lebihkan satu porsi untuk persediaan daripada kurang. Tika membaginya sama rata. Nasi atau roti, lauk, puding, buah, dan satu kotak susu tanpa dia bedakan dengan porsi putrinya sendiri.

Kadang, diam-diam Tika mengintip saat jam makan siang putrinya tiba. Dilihatnya tiga anak kecil menyantap makan siang dengan lahap. Sesekali mereka tertawa. Di kali lain mengobrol layaknya orang dewasa.

Satu kali, seperti biasanya Tika ingin menyaksikan kehangatan tiga anak kecil itu menikmati makan siangnya. Bagi Tika, menyaksikan putrinya berbagi seperti pertunjukan orkestra yang megah. Jiwanya melambung menikmati selebrasi kebajikan yang dia tanam mulai berbuah. Kali itu, perasaan bahagia Tika melebihi aksi selebrasi di akhir pertunjukan yang memukau. Tika speechless.

“Galang, kok bekalnya enggak dimakan? Kenapa?”

Galang yang ditanya hanya menunduk saja.

“Kenapa, Lang?” Tanya Dion.

“Bel, boleh enggak bekalnya aku bawa pulang saja?”

Itu kalimat terakhir yang ditangkap Tika. Setelah itu, Galang berbicara seperti setengah berbisik sambil terisak. Entah apa yang tengah dibicarakan Galang pada Dion dan putri Tika.

Apa yang terjadi kemudian membuat air mata Tika rembes. Dion dan putri Tika masing-masing membagi sepertiga bekalnya untuk Galang. Sementara, jatah Galang tidak dinikmati. Beberapa menit saja, ketiga anak itu kembali riang seperti sedia kala.

Sesampainya di rumah, hati Tika basah. Putrinya bercerita, Galang mengaku ibunya sedang sakit. Dia bukan saja tidak membawa bekal seperti sedia kala, ibunya pun pasti belum makan sampai nanti dia pulang. Galang ingin bekal pemberian putrinya itu dia bawa pulang untuk ibunya.|



DESA Makmur bukan sekadar desa bagi Wahyu. Di desa ini, Tika punya sahabat sesama relawan. Mereka sangat dekat sejak sama-sama mengemban misi kemanusiaan terakhir di Afrika. Tika pernah sekali datang berkunjung ke desa ini menemui sahabat relawannya.

Tika jatuh cinta pada desa Makmur pada kunjungannya yang pertama itu. Begitu kuat rasa cinta itu, Tika berencana akan menghabiskan sisa hidupnya di desa ini saat nanti dia benar-benar rihat dari dunia relawan. Karena itu, dibantu oleh sahabatnya, Tika membeli sebidang tanah. Di atas tanahnya, Tika ingin membangun rumah dari kayu seperti rumah kayu di Afrika Selatan. Sisa lahannya untuk tanaman hias dan bunga-bungaan, beberapa petak untuk menanam palawija, dan sebagian lagi untuk membangun kolam ikan.

Hanya seminggu Tika berkunjung, rasa cinta Tika makin bertumbuh pada desa Makmur. Dia ingin berbuat sesuatu. Tika merasa, di balik keelokan desa itu, ada sesuatu yang kurang di matanya. Tika mendiskusikan hal itu pada sahabatnya. Lalu, mereka sepakat mewujudkannya bersama-bersama. Tika rela menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk mewujudkan gagasannya itu, mimpi besarnya untuk Desa Makmur.

Kali kedua Tika datang ke desa Makmur setelah dia menikah. Tika sangat senang. Gagasannya sudah menjadi investasi kemanusiaan jangka panjang yang bisa dinikmati tiap generasi desa Makmur. Investasi yang dia bangun sudah dirasakan pula manfaatnya bukan saja oleh orang desa Makmur, melainkan penduduk desa-desa tetangga. Akan tetapi, takdir berkata lain. Rencana akan menghabiskan masa tua di Desa Makmur tak cukup waktu menunggunya sampai dia tua. Tika lebih dahulu wafat pada usia belum lagi genap empat puluh lima.

Wahyu melaksanakan keinginan Tika. Dia membangun rumah dua lantai dengan dinding dan lantai dari kayu impian almarhumah. Impian Tika, atap rumahnya pun dari kayu. Hanya tiang-tiang penyangga saja dari beton. Ada jendela besar di kamar Tika di lantai atas. Dari jendela itu, nanti, Tika bisa memandangi dengan leluasa wajah investasi yang dibangunnya sambil menyesap kopi atau teh dengan biskuit gandum kesukaannya. Kamar Tika itu akhirnya diberikan Wahyu kepada putri tunggal mereka.

Untuk mewujudkan impian Tika itu, Wahyu menjual semua asetnya di Jakarta, kecuali Jeep dan Harley tua. Dua kendaraan kesayangan Wahyu itu diboyongnya ke desa Makmur pada hari kepindahannya.

Rumah impian Tika itu tampak biasa saja dari luar, tapi kaya dan berkelas di dalam. Benda-benda kesayangan Tika, souvenir tiap kali dia bertugas di luar daerah menghiasi ruang tamu. Beberapa benda etnik dari Afrika yang sempat dia beli juga terpajang apik.

Pada hari pertama Wahyu menempati rumah itu, putrinya menjelajah seluruh pelosok desa Makmur dengan Harley tua kesayangan Wahyu, seperti dahulu dia mencuri-curi mengendarainya berkeliling pekarangan rumah saat Wahyu dan Tika sedang bertugas. Dia ingin membuktikan kata-kata Wahyu bahwa desa Makmur itu ibarat sepotong lembah di surga yang turun ke dunia. Siapa pun yang menginjakkan kaki di sana, dia pasti akan jatuh cinta.

Benar saja, putrinya menemukan cinta di bibir hutan, di pinggir sungai, di tepi danau, di tengah hamparan sawah, dan di setiap semilir angin di desa Makmur. Bahkan, gadis itu menemukan cinta itu di padang ilalang yang mengering atau pada tumpukan jerami yang membusuk. Hanya saja, gadis itu terhenyak saat dia berhenti pada pokok sebuah pohon besar dan tua di bibir hutan.

“Papa. Aku benar-benar jatuh cinta!” Pekik gadis itu setelah dia kembali ke rumah.

Wahyu tersenyum. Itu artinya, anak gadisnya memilih tinggal bersamanya di desa Makmur.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap