Langsung ke konten utama

BUNGKUS GORENGAN

 


Bagian 1


Papa. Aku benar-benar jatuh cinta!

PAK Gusnadi gelisah. Wajahnya sedikit pucat selepas surat berkop yayasan selesai ia baca. Tangannya tampak gemetar. Guru senior yang baru dua bulan diangkat menjadi kepala sekolah itu tampak seperti akan menghadapi tiang gantungan.

Pak Gusnadi memenuhi undangan ketua yayasan dua hari kemudian. Hatinya sudah sedikit lebih tenang. Seharian kemarin, ia berpikir keras menyiapkan jawaban sesuai pokok surat dari yayasan. Namun, Pak Gusnadi masih saja khawatir, kalau-kalau jawabannya tidak memuaskan pihak yayasan.

Di kantor yayasan, Pak Gusnadi sudah ditunggu Bu Retno dan Pak Suyudi serta seorang laki-laki. Pak Gusnadi belum mengenalnya. Itu kali pertama Pak Gusnadi bertemu sepanjang sepuluh tahun ia mengajar di sekolah milik yayasan itu. Rupanya, laki-laki itu bagian dari pengurus yayasan Budi Mulia.

“Bagaimana kabarnya, Pak?” Sapa Bu Retno, ketua yayasan.

“Baik-baik, Bu.”

“Kenalkan. Ini Pak Wahyu,” ucap Bu Retno memperkenalkan laki-laki itu.

Pak Wahyu melempar senyum seraya mengangguk pada Pak Gusnadi. Rupanya, Pak Wahyu adalah suami almarhumah Tika Pratiwi. Pak Gusnadi menyapanya kemudian memperkenalkan diri.

Dengan Tika Pratiwi pun, Pak Gusnadi belum pernah berjumpa. Ia hanya mengenal nama itu dari buku profil Budi Mulia. Ada deskripsi singkat tentang Tika Pratiwi sebagai pendiri dan penyandang dana sekolah Budi Mulia.

Pertemuan berlangsung lebih kurang satu setengah jam. Menjelang zuhur, pertemuan baru berakhir. Meskipun pertemuan penuh kekeluargaan, tapi bagi Pak Gusnadi, seperti ia sedang dimintai keterangan seorang penyidik. Makan siang bersama sebagai penutup pertemuan pun terasa hambar di lidahnya. Meskipun lidahnya bergoyang seolah tetap berselera, tapi pikirannya malah menerawang. Ia sibuk menerka-nerka, siapa orang yang memberikan informasi soal laporan keuangan studi wisata kepada yayasan.

“Saya titip Budi Mulia ya, Pak. Reputasi sekolah kita sedang naik. Kepercayaan masyarakat harus kita pelihara. Ayo, sama-sama kita berjuang membesarkan Budi Mulia.”

Kata-kata Bu Retno itu dirasakan seperti palu godam. Pak Gusnadi seakan benar-benar kehilangan muka di depan para pengurus yayasan.|


SEKOLAH itu bernama Budi Mulia, sekolah setingkat SMP di Kecamatan Sungai Bening. Lokasinya di Desa Makmur, desa yang lebih maju di Kecamatan itu. Jalan utama desanya saja sudah beraspal. Listrik sudah menyala dan jaringan internet mudah diakses.

Dahulu, wajah desa Makmur sama tertinggalnya seperti desa-desa tetangganya. Saat musim penghujan, jalan utama desa becek dan berlumpur. Bila malam tiba, hanya gelap pekat yang tampak dari balik sinar kunang-kunang. Lampu-lampu teplok di rumah-rumah penduduk tak sanggup mengusir pekatnya malam di desa itu. Akan tetapi, semenjak Budi Mulia berdiri, jalan utama desa diaspal, gang-gang masuk ke rumah-rumah warga di-conblock. Beberapa bulan kemudian, listrik sudah pula menyala.

Desa makmur menjadi dinamis dalam hal budaya karena aliran listrik dan internet. Bocah-bocah desa Makmur bukan lagi bocah desa yang menghabiskan pengalaman bermain dengan congklak, egrang, atau ketapel. Bukan anak-anak yang begitu riang saat bermain kasti, gobak sodor, petak umpet, atau melompat dari atas tebing sungai ngebak bersama kerbau angonan. Permainan tradisional yang murah, bersahaja, dan kaya dengan nilai-nilai sosial telah lama menghilang dari kehidupan bocah-bocah desa itu. Mereka menjadi generasi baru yang akrab dengan gawai, game online, dan media sosial. Mereka menjadi generasi terbuang, terasing dari kebersahajaan nilai-nilai baik dalam permainan tradisi.|


Berlianti sudah setahun lima bulan mengajar di Budi Mulia meski berstatus guru infal. Kapan saja Budi Mulia sudah mendapat guru matematika yang baru, segera Berlianti meninggalkan sekolah itu karena posisinya hanya sebaga guru pengganti.

Selama mengabdi, Berlianti tak sekadar mengajar, tapi berinovasi bagaimana mendekatkan matematika pada dunia riil peserta didik yang tengah mengalami trnsformasi budaya tanpa harus kehilangan karakter. Ia memanfaatkan teknologi dengan pendekatan games dalam pembelajaran. Kadang ia gunakan Math Games, Math Duel, atau Math Master. Ulangan harian pun ia kemas sambil bermain dengan Kahoot.

Pendekatan ini sangat disukai anak-anak. Peserta didik tak lagi alergi dengan rumus dan angka-angka. Matematika menjadi tidak menakutkan lagi. Di tangan Berlianti, transformasi gawai di tangan murid-muridnya ke dalam muatan pembelajaran berhasil ia terapkan. Tidak lupa, literasi bagaimana cara sehat memanfaatkan teknologi informasi ia selipkan dalam setiap proses pembelajaran.

Yang paling menarik, Berlianti mengaitkan angka-angka itu dengan values. Angka satu misalnya, ia perkenalkan sebagai simbol Tauhid. Itu angka sakral yang mengisyaratkan bahwa Allah hanya satu, tiada dua-Nya. Cara ini dilakukan Berlianti sebagai celah memberi pemahaman bahwa tradisi segelintir orang Desa Makmur yang masih meminta rezeki dengan menaruh sesaji di bawah pohon besar di bibir hutan adalah keliru. Angka lima dibahasnya sebagai simbol bahwa setiap orang Islam wajib menegakkan lima perkara Rukun Islam dalam hidup mereka. Begitu seterusnya saat guru cerdik itu menemukan korelasi dengan semangat kebaikan dari matematika angka-angka.

Keseriusan Berlianti berbuah. Ia meninggalkan legacy. Efek inovasi cara belajar dan mengajarnya mengantarkan Tim Matematika dan Sains Budi Mulia menyabet peringkat kedua pada Kompetisi Sains Nasional-Provinsi (KSN-P). Meski bukan raihan peringkat pertama, prestasi tersebut kali pertama yang diraih Budi Mulia sejak sekolah itu berdiri 25 tahun yang lalu. 

Efeknya pun luar biasa. Budi Mulia mendapat promosi gratis. Ia banyak dibicarakan di medsos. Para pengawas jadi rajin berkunjung. Wartawan lokal sering meliput. Budi Mulia kebanjiran peminat sebelum pendaftaran peserta didik baru dibuka pada tahun pelajaran baru sebelum dia hengkang.

Bersamaan dengan itu, Berlianti harus pamit dari Budi Mulia sebab waktu untuknya mundur sudah sampai. Tatapan para siswanya yang memelas agar ia tetap mengajar saat ia melangkah pergi seperti mengiris urat jantungnya. Hanya saja, perasaannya lebih teriris sejak tidak sengaja menangkap percakapan Bu Nuril dan Pak Gusnadi. Saat itu, Berlianti seperti tengah mendengar dialog para penyamun soal hasil rampokan sambil saling menasihati soal keadilan.

“Semoga segera dapat pekerjaan baru ya, Bu Berlin,” ucap Bu Nuril tanpa menatap Berlianti. “Sekarang cari kerja tidak gampang loh,” sambung Bu Nuril disertai penegasan bahwa sebenarnya ia bisa mempertahankan Berlianti tetap di Budi Mulia. Tapi kata Bu Nuril, Berlianti terlalu angkuh untuk tidak meminta kesempatan itu padanya.

“Terima kasih, Bu Nuril. Sebenarnya, saya pun masih ingin belajar banyak dari Bu Nuril di sini. Belajar bagaimana cara aman menyusun laporan keuangan,” ucap Berlianti datar.

Bu Nuril terhenyak.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap