QURBAN BAYRAMI

Kembang Kuburan

Bayu, tell me what’s kembang kuburan?

GOODBYE Blue Mosque meluncur begitu saja setelah puas menikmati kemegahannya luar dalam. Dari kaca jendela bus, saya masih saja memandangi Blue Mosque seakan tak ingin beranjak dari pelatarannya. Rasanya waktu teramat kejam merenggut paksa kebersamaan untuk makan siang. Tentu setelah lapar terpuaskan, pun tak mungkin kaki melangkah lagi buat yang kedua kali ke Blue Mosque.

QURBAN BAYRAMI

Jumatan di Masjid Biru

Setiap apa yang terlihat di Barat mengukuhkan bahwa Barat telah berhutang kepada peradaban Arab Islam.
Abad pertengahan memang panggung kejayaan bagi peradaban Islam. Peradaban Islam menjadi kiblat dan rujukan bagi Eropa Kristen dan Yahudi saat itu. Dimulai dari Baghdad sampai ke Spanyol, Islam mewariskan kekayaan budaya bernilai tinggi yang diadopsi dunia dalam bidang ilmu pengetahuan, seni budaya dan arsitektur, serta sistem sosialnya yang egaliter. Para ilmuan muslim mewariskan literasi kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, kimia, optik, botani, sejarah, geografi, disamping ilmu bahasa, tafsir, fiqih, hadits, dan tasawuf yang spesifik mengulas tentang ke-Islaman. Khusus ilmu-ilmu seperti matematika, kedokteran dan lain-lain itu diadopsi peradaban Barat yang mengantarkan mereka bersorak sorai menikmati aufklarung dan renaisans.

RAYYA Bag. 3



Insiden di Meja Makan

Sesudah makan semua anak laki-laki yang bikin ulah dihukum. Husin mengisi bak mandi sampai penuh. Dayat mencuci piring. Salam dan Said membelah kayu bakar. Ahlan dan Muhajir memandikan sapi. Malamnya sehabis shalat Maghrib, Husin, Ahlan, dan Dayat dinasehati nenek. Umi dan saudara-saudara perempuannya menguping. 


LAIN waktu, ada cerita Umi yang amat menggelikan. Cerita tentang suasana waktu makan siang. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Waktu itu, empat belas anak nenek hadir berkumpul karena hari sedang libur sekolah. Cerita Umi ini benar-benar membuatku seolah hadir di tengah-tengah mereka saat peristiwa itu berlangsung. Aku seperti merasakan kegaduhan khas anak-anak keluarga besar yang tengah makan siang. Seumur hidup, aku tidak bisa melupakan cerita ini.

RAYYA Bag.2



Nenek

Umiku anak ke-12. Kata Umi, keturunan keluargaku memang subur-subur. Kakak perempuan tertua Umi saja punya empat belas orang anak. Ups! Itu hampir menyamai rekor nenek. Aku surprise. Nenekku sendiri adalah anak pertama dari dua belas orang bersaudara. Hmmmmm, benar-benar gen yang subur. Aku berharap, kelak aku juga menjadi wanita subur yang punya banyak anak seperti nenek.


Nenekku guru ngaji. Termasuk yang sedikit dari orang kampungku yang mahir membaca Qur’an waktu itu. Boleh dikata, para gadis di kampungku yang seusia Umi dan generasi di atasnya, mengaji dengan nenek. Istilahnya ngaji lekar. Nenek menyediakan waktu malamnya mengajari generasi kampungnya melek Al-Qur’an.

QURBAN BAYRAMI

12 Jam di Atas Awan

This aircraft was thrown several feet because of comulus cloud. Please calm down. Everything will be fine. Enjoy this flight

TURBULENSI dan jatuh momok di atas pesawat. Penerbangan domestik yang kadang ditempuh kurang dari satu jam saja, momok itu baru hilang saat roda pesawat menyentuh landasan landing. Bagaimana harus melewatinya dalam hitungan dua belas jam?

QURBAN BAYRAMI

Mendadak Muthawif
Tubuh terasa melayang. Air mata meleleh. Tangan refleks bertakbir lalu sujud syukur diiringi deru mesin pesawat Turkish. Di sela sujud syukur yang syahdu itu, saya berbisik, “Nyonya, saya sudah di Madinah.

MENJADI khatib Jumat, I’dain (dua hari raya), atau Khusufain (gerhana matahari dan bulan) sekaligus menjadi imam meskipun dadakan, bisa jadi saya siap jika keadaan benar-benar memaksa. Sejak masih di bangku Madrasah Aliyah, saya ingat betul, guru saya Ustadz Drs. Slamet Suryanto (Allahuyarhamuh; semoga Allah merahmati dan melapangkan kuburnya) sudah menanamkan tanggung jawab bahwa seorang siswa Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah harus punya nyali buat berkhutbah. Beliau memberi gambaran situasi, “Jika misalnya pada satu masjid di hari Jumat khatib berhalangan, waktu Jum’at sudah lewat masuk, jamaah sudah gelisah, tetapi tidak ada satu pun jamaah yang mampu menggantikan berkhutbah sedangkan Anda ada di sana, naiklah ke mimbar. Sempurnakan rukun Jumat hari itu.”

RAYYA (Bag. 1)

Prolog





Ini adalah kisah Rayya. Gadis kecil yang ceria. Hidup dalam keluarga sederhana, bahagia, dan melimpah kasih sayang. 

Di bawah asuhan Hanifah dan Fathullah, sejak kecil, Rayya sudah diperkenalkan nilai-nilai kehidupan, akhlak, serta tanggung jawab sebagai seorang muslimah. Kelak, pengajaran ini menjadi pondasi kukuh bagi jiwanya yang tak henti dihempas badai.

QURBAN BAYRAMI


Berkah Menulis

“Saya ingin meluluskan cita-cita itu, Pak. Tetapi bukan haji, hanya umrah.” 

SETIAP peristiwa hampir selalu bersanding dengan jalan pengantar. Hanya saja, tidak setiap pengantar selalu membutuhkan alasan. Begitulah kosakata Qurban Bayrami menjadi pengantar yang tidak membutuhkan alasan bagaimana saya bisa berkunjung ke Turki. Setidaknya alasan itu penting untuk memuaskan rasa penasaran. Saya sendiri penasaran, bagaimana bisa ke Turki? Di sinilah alasan bersanding dengan sebab, sebab hampir mustahil bila ukurannya adalah isi dompet, impossible saya bisa pergi ke sana.

QURBAN BAYRAMI

I Love Turkey

"Mulanya hanya kosa kata, lalu dia menjadi bayi yang lucu. Pada Ahad pagi, 20 Desember 2007, kosa kata itu betuah untuk kali pertama. Saya tidak tahu, skenario Allah berjalan begitu sangat sempurna bagi kelahiran anak ketiga saya." 

I LOVE Turkey bukan berarti nasionalisme saya atas Indonesia kalah dengan Turki. Meski saya tidak terlalu suka dengan teriakan “NKRI Harga Mati”, atau “Saya Indonesia” bukan alasan I Love Turkey sudah cukup dijadikan indikasi bahwa saya warga negara radikal, musuh negara. Indonesia bukan harga mati, juga bukan kita atau saya. Indonesia itu nama negara. Saya lahir dan besar di Indonesia, bahasa saya Bahasa Indonesia, KTP saya dan paspor saya Indonesia, mau apa lagi? Kalaupun dipaksakan saya radikal, saya juga berhak memaksa makna radikal itu sesuai keinginan saya. Radikal bagi saya adalah ‘rasional, terdidik, dan berakal’. Boleh, kan?

QURBAN BAYRAMI

Prolog

"Jangan coba-coba tafsirkan senyum gadis itu. Saya beri tahu, apa pun tafsiran Anda tentang arti dari senyumannya itu, ia tetap menjengkelkan. Ada sekali yang saya ingat kejengkelan itu terjadi sebab nasib mempertemukan kami lagi di lain kesempatan. “Eh, kamu yang ketemu waktu ngarit, ya?” Nah, langit terasa runtuh tahu saat dia mengatakan itu. Ya, Allah, mengapa takdir sekejam ini?

INI catatan atas anugerah ‘hidup biasa’ sepanjang yang telah saya habiskan. Boleh dikata, terlalu biasa bila diteropong dari semua sudut. Bisa jadi karena terlalu biasa, menjadi sangat membosankan untuk diikuti. Tidak penting. Untuk apa hal biasa dibagi-bagi ke khalayak? Buang waktu. Harusnya yang luar biasa dong? 

KEBEKUAN UKHUWWAH

Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta)

HARI-hari ini begitu melelahkan nalar. Banyak hal yang membuat sakit hati datang beruntun. Ambiguitas begitu gampang muncul dari sumber paling dekat di sekitar kita. Kadang begitu menusuk, mengoyak jantung sampai ke dasarnya yang paling dalam. Luka yang ditimbulkannya sukar ditutup perban argumentasi. Darah yang keluar memerahkan hampir semua dinding luka yang menganga.

LECTURE WITH IMAM SHAMSI ALI

Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta)

SHAMSI Ali; Grand Imam Islamic Cultural Center, New York, 96th Street and 3rd AV Manhattan. Ketua Yayasan Masjid Al-Hikmah, Queen, New York. Direktur Jamaica Muslim Center New York. Anggota Board of Directors dan Senior Vice Chairman The Muslim Foundation of America, Inc. Pendiri The Imams Council of New York City (ICNYC). Ambassador of Peace dari International Religious Federation pada 2002. Anggota Majelis Syuro para imam di New York.

JAGO HAFALAN

Tuhan memberi manusia potensi mengingat. Ia menjadi perangkat hidup sangat penting. Bayangkan jika manusia tidak dilengkapi kemampuan mengingat.

Memang, ingatan harus dilatih dengan menghafal. Jika tidak, potensi itu tak terbangun, yang ada jadi pelupa. Karena itu, jangan 'musuhi' anak jago menghafal. Jangan remehkan, itu sama saja menghina potensi dari Tuhan.

"Ini abad milenial, Kiai. Menghafal tidak penting," kata Si Panjul.

"Terserah elu dah, Njul."

"Yang terpenting itu pemahaman, bukan hafalan."

"Lo buang aje sono ingetan lo!"

"Ya tidak begitu juga kali, Kiai."

"Yang penting kan pemahaman, Panjul!"

Qiqiqiqiqiqiqiq.

Si Panjul mulain keder. Dia pikir pemahaman brojol dengan sendirinya, sama sekali lepas dari ingatan buah menghafal.

"Pagimane pun, mo milenial kek, mo jadul kek, ngapal itu penting."

"Ya terserah Kiai Adung, lah. Kita memang seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan. Tidak akan bertemu simpul pemikiran."

Kiai Adung terbetik buat ngejailin Si Panjul lagi. Hitung-hitung mengendurkan syarafnya yang tegang gara-gara orang pada ngomong radikalisme sudah memapar anak PAUD. Mending sekalian saja sudah terpapar sejak Emaknya masih ngidam.

Ditantanglah Si Panjul buat menghafal 10 nama hewan buas  dan menyebutkannya dalam waktu 10 detik. Kiai Adung mencopot batu akik hijau cutting berlian dari jari manisnya yang kelap-kelip jika kena sorot lampu teplok sekalipun.

"Nih, lo ambil cincin gue kalo lo bise!"

Si Panjul tergoda. Mulailah dia mengingat-ingat setelah meminta waktu beberapa menit.

"Pake pemahaman lo, Jul. Masa lo kalah sama Syifa. Syifa aje sanggup."

Si Panjul sewot.
Qiqiqiqiqiqiqiq.

Kiai Adung mengenakan kembali cincinnya. Si Panjul menelan ludah, heran, mengapa sampai tidak bisa menyebutkan 10 hewan buas dalam 10 detik. Macan, Singa, Beruang, Cobra, .... Stag. Waktu 10 detik berlalu.

Si Panjul tidak percaya bahwa kata Kiai Adung, Syifa bisa melakukannya. Si Panjul penasaran.

"Syif, kamu bisa terima tantangan saya?"

"Tantangan ape, Om?" jawab Syifa sambil meletakkan dua cangkir kopi. "Syifa mo kuliah, nih. Ntar telat lagi," imbuh Syifa.

"Menyebutkan 10 nama hewan buas. Waktunya 10 detik."

Si Panjul mengeluarkan dompetnya. Diambil tiga lembar uang seratus ribuan.

"Ini buat kamu jajan bakso kalo kamu berhasil," ucap Si Panjul sambil melirik Kiai Adung. Maksudnya mau menunjukkan dia banyak uang.

"Jangan mao, Syif. Cincin babe harganye sejute kurang due setengah. Mase, tantangannye same, hadiahnye beda harge?"

Qiqiqiqiqiqiqiq.

Si Panjul jaga gengsi. Ditambah lagi empat lembar merah dan selembar biru, jadi genap tujuh setengah.

Syifa tersenyum. Matanya berbinar bakalan bisa nraktir Greges, Empi, Akim, dan gerombolan Geng Kocak yang lain.

"Coba, Syif. Ini, hadiahnya sudah seharga cincin Babe kamu."

"Kagak nyesel, Om?

"Duit Om masih banyak!"

Qiqiqiqiqiqiqiq.

Kiai Adung menyalahkan mesin stop watch. Katanya biar fair.

"Oke! Mulai!" ucap Kiai Adung memberi aba-aba. Dengan cekatan, Syifa langsung menunjukkan kemampuan hafalannya.

"7 Singa tambah 3 macan!" pekik Syifa.

Secepat kilat Syifa menyambar uang sejuta kurang sua ratus lima puluh ribu di atas meja lalu meraup tangan Kiai Adung pamit berangkat kuliah.

"Gile, cuman dua detik, Njul!" ucap Kiai Adung sambil nunjukkin angka stopwatch di muka Si Panjul sambil cekikikan.

Si Panjul bengong. Dibuka pintu dompetnya. Tinggal ceban dan selembar gocengan lecek. Telinganya berdenging-denging dengan irama yang aneh, "tujuh singa tambah tiga macan. Tujuh singa tambah tiga macan."

Wkwkwkwkwkwkwkwk.

Meruyung, 17 Desember 2019.

MENULIS DI ATAS GUNUNG

Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta).


UDARANYA bersih, segar. Hawanya sejuk. Tanahnya rimbun oleh pepohonan. Beberapa bagian dari konturnya masih berupa hutan, lembah, dan ngarai. Pada ketinggian tertentu, jurang menganga, topografi khas daerah pegunungan. Suara tonggeret bersahutan memecah sunyi.

Islam dan Akar Tradisi Literasi

Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta)

Iqra dan Literasi Arab Pra Islam

Tiga bulan lalu, tepatnya Ahad 8 September 2019, diperingati sebagai hari Literasi Internasional. Literasi Internasional mengingatkan kita pada tugas manusia di seluruh dunia bahwa manusia mengemban tugas literasi; literasi kehidupan. Literasi kehidupan sejak awal manusia ada sudah berjalan alamiah. Prosesnya sangat sederhana, hanya sebatas memberi pemahaman "bagimana bisa bertahan hidup di alam bebas". Lihatlah video  manusia purba di YouTube atau yang semisalnya, di sana tergambar jelas literasi kehidupan berupa teknik bertahan hidup. Teknik itu diwariskan secara turun temurun. Itulah literasi.

DUTA LITERASI KOSAKATA

Memahami sebuah wacana, bermula dari mengerti kosakata. Tidak bisa tidak, sebab pesan dalam sebuah wacana akan menjadi kabur apabila kehilangan satu saja makna kosakata di sana. Bayangkan apabila wacana tersebut menyangkut persoalan penting, maka hal penting itu menjadi sia-sia. Andaikan saja hal penting itu terkait pada soal ujian, bisa dibayangkan, bisa jadi ada dua kegagalan di sana; kegagalan memahami maksud soal ujian, dan kegagalan menjawab soal ujian dengan benar.

Relasi Masa Silam

Bahagia itu kadang sangat sederhana. Hanya dengan sapaan, "Bapak apa kabar? Gemuk ya, sekarang?" sudah cukup mengubah suasana hati dalam sekejap. Apatah lagi dilontarkan dari orang-orang yang pernah mengisi pengalaman hidup masa lalu yang amat berharga.

Mereka, tiga perempuan muda berhamburan, berlari kecil memanggil-manggil saat saya melintas di depan madrasah penuh kenangan. Saya menoleh. Saya kenal wajah-wajah itu. Mereka guru-guru pejuang dengan gaji bersahaja, namun tetap semangat agar madrasah tetap bernapas, madrasah di mana dahulu saya mengajar mereka dua puluh empat tahun silam. Sekarang mereka mengikuti jejak menggantikan peran saya di depan kelas, duduk di kursi yang dahulu mereka sapu dengan kemoceng sebelum saya duduki dan memulai appersepsi. Saya tersenyum bahagia menyambut panggilan itu.

Dibawanya saya ke ruang guru. “Ini guru saya,” kata kepala madrasah memperkenalkan pada seisi ruang. Lalu, yang satu sibuk menawarkan kopi, yang lain sibuk mencarikan kipas angin, yang satu lagi membawakan sepiring buah. Saya biarkan saja kesibukan mereka menawarkan ini itu. Suguhan pada sapaan yang hangat mereka pertama kali, rasanya lebih saya nikmati dari semuanya.

Saya tak tahu kesan utuh mereka bagaimana dahulu saya mengajar atau kesan pribadi mereka pada saya sebagai gurunya. Saya juga tak berkeinginan menanyakan hal yang tak terlalu penting itu di saat perjumpaan sudah begitu membahagiakan. Bisa jadi saya bukan guru favorit, tetapi disambut dengan binar mata mereka yang hangat, rasanya tak penting lagi untuk apalah perkara itu dicari tahu. Cukuplah keramahtamahan yang mereka tunjukkan secara spontan, jauh lebih penting dari sekadar prasasti guru favorit atau bukan favorit, sebab seorang guru terbaik sejagat raya pun tidak luput dari kesilapan.

Sebaliknya, sampai sekarang saya masih menyimpan pengakuan bahwa dua puluh empat tahun silam mereka adalah para bintang dengan segala kecakapannya sendiri-sendiri. Mereka begitu berharga, seperti cahaya bintang di malam gelap. Seperti Hanum dan Maghfira yang sosoknya saya kisahkan dalam novel 'Mandi Cahaya Rembulan'. Hanum dan Maghfira adalah tokoh untuk dua orang siswa terbaik saya kelas empat dan lima yang telah tiada sedangkan saya menyimpan kenangan teramat indah dengan keduanya. Kepergian keduanya secara nyata seperti langit kehilangan cahaya bintang di malam buta dalam satu episode karir saya mengajar.

Pasti mereka tak menyadari, pasti tidak, bahwa mereka dahulu begitu berharga. Mereka adalah bocah-bocah yang kehadirannya di kelas menjadi ‘juru selamat’. Seperti pahlawan yang memenangkan persaingan bagi madrasah tetap bertahan sebab masih mendapatkan murid. Mereka tak pernah tahu bahwa madrasah dapat melewati hari-hari menegangkan itu dan saya melewatinya dengan harap-harap cemas bersama mereka.

Hari itu, bolehlah saya bernapas sedikit lega melengkapi kebahagiaan di hari yang terik itu. Sang kepala madrasah mengadu, dia sedang pening dan berpikir keras bagaimana caranya tahun depan sudah punya lokal baru untuk dua rombel siswa kelas terakhir. Saya bahkan berdoa agar mereka tambah pening mencari cara bagaimana menolak orang tua yang berebutan ingin menyekolahkan anak-anak mereka di madrasah di tahun-tahun mendatang.

"Hai kalian! Sekarang lain posisi. Kehadiranmu di madrasah sangat berarti untuk menginspirasi setiap bocah kecil yang dititipkan orang-orang tua mereka pada madrasah. Orang tua yang sama entah generasi ke berapa dari kalian yang masih menaruh kepercayaan bahwa madrasah tempatmu belajar dahulu tetap bisa menjawab kebutuhan generasi masa depan, generasi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan generasi saya dan kalian."

Ah, waktu terasa begitu cepat berlalu. Berjumpa mereka lagi, terasa terlempar ke masa mereka masih gadis kecil bau kencur yang takut dimarahi karena tidak mengerjakan PR. Berbincang dengan mereka, seperti mengantarkan saya pada wajah kelas dua puluh empat tahun silam meski sudah dengan tampilan emak-emak. Akhirnya saya sadar diri bahwa saya sudah cukup tua.

Menghormati itu lebih mulia daripada menuntut penghormatan. Tetapi, sesederhana apa pun penghormatan meskipun sekadar menyapa, "Bapak apa kabar? Gemuk ya, sekarang?" atau sekadar memperkenalkan, "Ini guru saya," percayalah, ungkapan itu membekas dalam jiwa yang tidak lekang dimakan waktu.

Demikianlah, kadang relasi masa silam begitu amat berharga untuk sekadar dirasakan sendiri.

Selamat mendidik, ya. Terima kasih telah membuat saya amat bahagia hari itu.


Komik Geng Santri Kocak

Di Sekolah Dasar Islam Terpadu Ummu Kultsum, terdapatlah sebuah kelas 3 yang berisikan anak-anak jail yang tergabung dalam "geng kocak". Mereka adalah Syifa, Greges, Empi, Akiem, Boim, Darsi, Doni, Nyaho dan Dudung. Dipimpin Syifa yang juga anak dari Kyai Adung yang kondang, geng kocak berhasil membuat para guru speachless dengan celoteh mereka yang konyol, tapi benar dan ada ilmunya.


Yuk ikuti polah geng kocak, mulai dari dilema bacaan doa pembuka pertemuan, sejarah pangeran Dipenogoro, sampai lomba pidato bahasa Arab.

Dari penulis buku Rehat Bersama Kyai Kocak, Kyai Kocak vs Liberal.

Kain Ihram Anak Kampung

Rahadian Muhajir Yastriba, seorang anak kampung yang miskin. Meski begitu, kemiskinan tak menjadi penghalang bagi Rahadian untuk mewujudkan mimpi terbesarnya, menjadi tamu Allah di Baitullah. Lewat perantara Pak Guru Mahfudz, guru agama di sekolahnya, Rahadian mengenal setiap jengkal Baitullah melengkapi gambaran dalam impiannya. Begitu lihainya beliau menceritakan detai perjalanan yang dilakukan oleh jamaah haji dan umrah, hingga seolah-olah Rahadian bisa merasakan harumnya tanah haram, nikmatnya kalimat talbiyah, indahnya tawaf juga lezatnya air Zamzam.

KETIKA LANGIT RUNTUH


Darwisy adalah buah hati Ningrum dari pernikahannya dengan Markam. Ningrum dan Markam membangun keluarga mereka dalam paham kebebasan. Mereka berdua adalah aktivis pengagung liberalisme yang gencar mencela Islam. Segala hal yang berbau Islam mereka hindarkan. Namun, Darwisy tidak sepenuhnya sependapat dengan pemikiran kedua orangtuanya. Darwisy memang remaja yang cerdas, santun, dan memiliki pemikiran yang lurus. Ia bahkan berhasil mengetuk hati ibunya untuk kembali kepada fitrahnya dan menerima Islam seutuhnya dan sebenar-benarnya.

MANDI CAHAYA REMBULAN

Bayram Abqori, anak miskin Kampung Pesisir di Depok. Ketika mengandung Qori, ibunya bermimpi melihat rembulan jatuh di atas genting rumahnya. Cahayanya menembus celah bilik bambu rumahnya. Ibu Qori selalu berdoa agar Qori menjadi cahaya rembulan bagi kegelapan manusia, sesuai mimpinya.


DYAH (Bagian 4 habis)




Aku dan putriku terlelap sepanjang perjalanan. Suara mesin kereta dan lindasan roda besi seperti lenyap ditelan mimpi. Hanya sesekali guncangan kecil yang sedikit menyadarkan kantuk, tapi lebur kembali dalam lelap. Jarak Jakarta-Jogja di atas kereta seperti bukan dominasi bosan yang kerap harus dibunuh dengan cemilan, kopi, atau browsing menunggu kantuk. Hingga saatnya tiba, delapan jam perjalanan ke Jogja terasa singkat. Tahu-tahu kereta sudah hampir sampai di Stasiun Tugu.

Kiai Kocak VS Liberal Ronde#4

Ehm..Kali ini Kiai Adung akan lebih sering berjibaku dengan "masalah" perempuan. Mengapa? Karena persoalan hidup. Tak ada hidup jika tidak ada perempuan. swit swiw..! Terlebih,aspek kehidupan. Mulai dari urusan "mempercantik diri" sampai urusan epoleksosbud dan agama pun melibatkan perempuan. Hanya saja sekali lagi, perempuan-perempuan yang dihadapi Kiai Adung kali ini adalah perempuan " Liberaliyah"

Kyai Kocak VS Liberal Ronde#3

"Virus opini Pilpres kemarin ini benar-benar ampuh. Saking ampuhnya, orang-orang terkena serangan 'demam' kampanye. Pedagang kuli, karyawan, mahasiswa, relawan dan takrelawan, budayawan, gerombolan Sepilis, politisi, doses, semua ikut demam. Saat demam menyerang, omongan seorang dosen pun seperti bukan omongan orang berpendidikan. Kata tolol, dungu, pandir, bodoh, keluar dari lidahnya. Mungkin karena demamnya terlalu tinggi, omongannya ngaco pangkat sepuluh. Dan meski masa kampanye sudah lewat, ternyata para 'pasien' lanjut demamnya sampai sekarang. Waduh!

Kiai Kocak VS Liberal Ronde#2


"Perlu juga pendekatan santai dan humor dalam meruntuhkan argumen Liberal yang suka membela aliran sesat di Indonesia. Saya mengagumi setiap dialog Kyai Kolot dengan para aktivis Liberal di dalam buku ini. Selamat membaca.” (Fahmi Salim, Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Anggota Pengkajian MUI Pusat)

Kiai Kocak Vs Liberal

Ya, Allah, semoga saudara-saudaraku para pemikir Liberal itu bisa benar-benar “liberal” dari paham Liberal. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Kau beri nikmat. Amin.

~ Kyai Adung

"Di samping buku-buku akademis-ilmiah, buku semacam ini diperlukan karena kaum Liberal memang menggunakan segala cara untuk memukau dan menyesatkan manusia. Buku ini menyajikan logika dan cara mudah dalam mematahkan logika-logika liberal yang terkadang menyilaukan banyak orang."

~ Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun, Bogor

Nih buku asli penting banget! Alhamdulillah ada juga yang care sama bahaya paham kebebasan. Bahasanya gaul, tapi nggak alay. Cerdas, tapi santai. Bacaan wajib anak muda. Kocak dobel kuadrat! ~Wawan Kungkang, Komikus



Buku ini berhasil mematahkan kekonyolan ide-ide kelompok liberal dengan humorhumor segar, menggelitik, dan menohok. Para pengasong paham liberal dijamin KO sambil nyengir kuda! ~ Arta Wijaya, Penulis buku #IndonesiaTanpaLiberal

Nggak selamanya tema serius bikin kepala pening. Salah satunya buku yang satu ini. Meski mengangkat tema yang serius, namun kemasannya humor kocak tanpa menghilangkan pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

~ @Syakieb14, penulis buku remaja

"Saya senyum-senyum sendiri baca buku ini. Tidak pernah menyangka jika isu-isu liberalisme yang biasanya di counter secara serius dan akademis, ternyata dapat dipatahkan melalui guyonan dan canda tanpa mengurangi substansinya. Benar-benar jail! " ~ Dr. Dinar Kania, peneliti Institut for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST) dan The Center for Gender Studies (CGS)

"Highly reccomended book to buy, to read and owned by Muslims!" ~ Qadriany Bayyinah, Mahasiswi Jurusan Komunikasi

"Buku ini wajib hukumnya dibaca oleh orang-orang yang menjunjung tinggi “kebebasan”! Dunia sudah mau kiamat. Banyaknya ulama nyeleneh adalah salah satu tanda-tandanya. Kiai Kocak vs Liberal berusaha menjawabnya dengan cara yang menghibur, tapi masuk akal. Baca buku ini, biar nggak dijailin liberalis!"

~ Gupta Mahendra S., Editor Manga, Musisi

DYAH (Bagian 3)



SEBELUM boarding pass, kuperiksa tiketku berulang-ulang. Aku ingin memastikan bahwa malam ini aku dan putriku benar-benar menikmati perjalanan Pasar Senen-Jogja dengan nyaman, tak diganggu lagi persoalan misschedule tak penting. Aku tidak membayangkan jika saja di boarding pass terjadi kebalikannya seperti kemarin malam, mending kiamat dipercepat saja sekalian.

Jadwal keberangkatan keretaku masih satu jam kurang lima menit. Masih cukup waktu untuk menikmati sejenak suasana malam stasiun Pasar Senen sambil menyesap kopi panas di kedai stasiun. Tetapi aku memilih boarding lebih awal dan menikmati kopi panas di bangku peron saja karena malam itu stasiun terlalu ramai, lebih ramai dari malam kemarin.

“Ayah, kopinya,” kata putriku setelah kami duduk di bangku peron.

Kuraih kopiku. Kusesap tegukan pertama perlahan. Saat cairan hitam pekat dengan aroma khas itu melewati kerongkonganku, rasa hangatnya seketika menjalar, merambat memenuhi pori-pori. Tubuhku seakan tersihir oleh efek relaks dalam satu tarikan napas saja. Bisa jadi karena relaksasi kurasakan begitu cepat, semua kesadaranku terkumpul menegurku bahwa sesuatu telah terjadi beberapa menit yang lalu.

“Astaghfirullah, Kak! Tas punggung ayah!”

Putriku terkejut melihat ekspresiku. Segera dia menyadari apa yang sedang aku alami.

“Loh, tadi waktu beli kopi, masih di punggung Ayah, kan? Terus, ayah ke kamar kecil.”

Aku tersentak. Iya, benar. 

“Coba Ayah ingat-ingat lagi.”

Aku ingat, tasku kutaruh di dekat wastafel saat mencuci tangan. Setelah itu aku bergegas mengejar boarding. Saat hendak menuju pintu boarding, HP-ku berdering. Mudir pondok menghubungiku menanyakan kepulangan putriku malam kini. Aku katakan bahwa kami sudah di stasiun. 

“Ayah, ingat. Sewaktu ayah menerima panggilan mudir, ayah meletakkan tas itu di bawah tiang kanopi. Ok, Kakak tunggu di sini. Ayah akan ke pintu boarding meminta izin keluar.”

Masih ada empat puluh lima menit sebelum kereta berangkat. Kusampaikan beberapa pesan buat putriku dengan harap-harap cemas. 

“Aku ikut!” kata putriku merajuk.

“Tidak perlu. Tenang, Kakak tunggu saja di sini. Masih cukup waktu buat ayah mencari tas itu. Ayah pasti kembali. Oke?”

“Kalau Ayah belom kembali, terus kereta harus segera berangkat, gimana?”

“Dengar, Kak. Kalau itu yang terjadi, Kakak harus naik. Tunggu ayah di dalam kereta. Ayah dapatkan atau tidak tas itu, ayah pasti kembali ke sini. Oke, ayah harus segera ke boarding, waktu ayah sempit.”

Kukecup kening putriku sebelum meninggalkannya. Kulihat wajahnya memelas tak ingin ditinggalkan. Aku bisa merasakan kekhawatirannya. Apalagi saat aku katakan dia harus menungguku di kereta jika lama aku belum kembali. Sesungguhnya perasaanku lebih khawatir bila katerlambatanku memaksanya berangkat sendiri ke Jogja. Itu akan menjadi hal terburuk sepanjang hidupku. Kepada petugas stasiun di peron, aku sampaikan maksudku sekalian menitipkan putriku.

Sampai di lorong bawah tanah penyebrangan menuju pintu boarding, sejenak aku ragu. Aku berhenti. Aku tak ingin situasi terburuk ini merugikan psikologis putriku. Bagaimana mungkin gadis berusia tiga belas setengah tahun naik kereta dari Jakarta ke Jogja tanpa orang tuanya? Kejam sekali. Ayah macam apa aku ini? Tidak! Lebih baik aku kehilangan tas itu daripada menelantarkan putriku sendirian.

Masih ada setengah jam. Aku masih bimbang antara kembali ke peron mendapatkan putriku atau tetap pergi menemukan tasku. Di sana ada uang sepuluh juta untuk keperluan semua administrasi pondok putriku untuk satu semester ke depan, sementara putriku mungkin semakin cemas dengan lelehan air mata ketakutan yang tidak bisa dia bendung lagi.

Aku harus memutuskan dengan cepat untuk kembali saja menemani putriku. Tetapi dalam keputusan yang masih menyisakan rasa berat yang menghimpit itu, aku tidak mengerti, tiba-tiba saja ingatan akan Dyah berkelebat. Dyah yang pernah berkata kepadaku bahwa cepat atau lambat setiap orang akan mengalami hal yang paling buruk dan paling menakutkan dalam hidup. Kata-kata Dyah itu aku dapat saat aku bertanya, apa dia tidak takut berkeliaran di sekitar stasiun sampai jam sembilan malam? “Mungkin sudah nasib Dyah, Om. Tapi rasa takut akan sirna jika hidup dijalani dengan prasangka baik,” begitu kata Dyah waktu itu. 

Aku terjerembab pada pertarungan mengalahkan rasa takut atas putriku dan rasa takut diriku sendiri. Payah rasanya aku berprasangka baik pada keadaan putriku, pada tasku, dan pada semua anasir yang semakin menebalkan rasa takut itu. Hingga aku percaya pada ilham dari Tuhan, bisa jadi kata-kata Dyah dipersiapkan Tuhan untuk menumbuhkan prasangka baikku sekarang.

“Bismillah!”

Aku bergegas ke pintu boarding. Sepuluh menit aku habiskan untuk bimbang dan mengambil keputusan hingga sampai di depan pintu boarding. Dengan napas terengah-engah kusampaikan maksudku kepada petugas boarding. Petugas itu tersenyum tapi sambil membekaliku dengan peringatan menyindir atas keteledoranku setelah kuceritakan mengapa aku harus kembali keluar stasiun.

“Bapak masih muda, sudah pelupa. Untung masih ada orang baik,” katanya.

Petugas itu mengeluarkan sesuatu dari balik laci mejanya.

“Yang ini bukan?” katanya sambil menunjukkan tas punggung warna hitam.

Mataku berbinar.

“Alhamdulillah. Betul, Pak. Ini tas saya. Terima kasih,” kataku sambil memeriksa isinya. Utuh.

Petugas itu berkata bukan padanya aku harus berterima kasih, tapi pada gadis kecil pemungut botol plastik di area stasiun. Gadis kecil itu bisa mangkal di depan toko swalayan sebelah selatan stasiun dekat mushalla. Dialah yang mengantarkan tasku pada petugas boarding.

Kulirik jam tanganku. Masih tersisa waktu setengah jam jadwal kereta berangkat. Aku bisa mengambil space lima sampai tujuh menit buat menemui gadis kecil itu.

“Pak, jika diizinkan, saya boleh keluar stasiun menemui gadis itu?”

“Jadwal kereta Bapak, jam berapa?”

Kusebut nama dan jadwal keretaku.

“Baik, silakan. Tapi jika jika ketinggalan, tanggung sendiri.”

“Oh, iya, pak. Siapa bernama gadis itu?”

“Wah, saya tidak tahu. Cari saja yang pake kaus putih dekil bergambar Winny The Pooh. Badannya kurus.” 

Aku melesat bagai kijang. Kucari lokasi gadis itu dekat mushalla. Aku beruntung, kulihat gadis kecil dengan baju dekil Winny The Pooh sedang duduk memegang karung berisi penuh botol plastik. Kusapa gadis itu. Kupastikan, apakah dia yang menitipkan tasku pada petugas boarding. Gadis itu mengangguk. Aku mengucapkan terima kasih.

“Siapa namamu?”

“Dyah, Om.”

Aku terkesiap.

“Dyah?”

Gadis itu mengangguk. Dadaku sesak. 

“Dyah, om ngucapin terima kasih Dyah sudah berbaik hati menyelamatkan tas om. Maaf, om enggak bisa membalas kebaikan Dyah. Tapi, om punya sedikit uang untuk Dyah. Terimalah.”

Kusodorkan lima lembar uang lima ratus ribuan yang kuambil dari amplop di dalam tasku. Kugulung uang itu seukuran jari telunjuk. Tapi aku terkejut, Dyah menolak.

“Terima kasih, Om. Dyah tidak bisa menerimanya. Yang Dyah lakukan barusan, suatu keharusan.”

Dyah bersikeras menolak. Aku jadi salah tingkah. 

Waktuku semakin sempit. Aku tak ingin kehilangan momen Dyah, juga tak rela ketinggalan kereta.

“Terima kasih, Dyah. Om bangga padamu,” kataku sambil menyalami gadis itu dan menggenggam tangannya. Kuselipkan gulungan uang itu di antara tangan kami. Lalu aku bergegas mengucap kata perpisahan, “Maaf, Dyah. Om buru-buru. Lima belas menit lagi keretaku berangkat. Sampai jumpa!”

Aku berlari tanpa menoleh lagi. Di depan meja petugas boarding, kuucapkan terima kasih sekali lagi. Setelah itu aku melesat menuju peron.

“Kakak!”

“Ayaaah!”

Kupeluk putriku yang terisak. Kubelai rambutnya. 

Sepuluh menit kemudian, kereta perlahan bergerak. Di atas kursi kulempar senyum pada putriku sambil memujinya bahwa dia adalah gadis berani.[]

DYAH (Bagian 2)



ENTAH di mana Dyah sekarang. Aku ingat-ingat, sudah hampir dua puluh tahun lebih aku tidak menjumpainya lagi di stasiun sejak aku lulus kuliah. Hari ini aku merindukannya karena putriku menjadi jembatan penghubung kenangan itu. Hari terakhir bertemu Dyah, usianya lebih kurang seumuran putriku sekarang. Aku benar-benar rindu warna rambut dan suara cengkoknya saat ia mengamen. Lebih-lebih, aku rindu pikiran dewasanya.

Aku merasa Commuterline masih melaju kencang. Aku tengah terbuai melamunkan Dyah. Hingga kecepatan kereta mulai diturunkan masinis, aku masih melamunkan gadis itu yang kubayangkan dia sudah menjelma menjadi gadis dewasa. 

Suara gesekan roda kereta di atas rel berdenyit, disusul aroma besi terbakar menyeruak menyadarkanku. Rupanya stasiun tujuanku sudah hampir sampai. Commuterline melambat. Tapi aku masih seperti sedang bercengkrama dengan Dyah, sementara putriku sudah berdiri bersiap-siap untuk turun.

“Ayah, sudah sampai!” seru putriku mengingatkan.

“Oh! Sudah sampai?”

“Eh, Ayah ngelamun, ya?”

“Ah, eng ... enggaak,” kataku salah tingkah. “Ayo turun!” kataku menghapus jejak lamunan di rona wajahku yang memerah.

Ya, aku melamun, melamunkan Dyah sejak dari Stasiun Depok Baru hingga Pasar Senen. Begitu dalam aku melamunkannya. Aku melamunkan sekolahnya. Jika Dyah benar-benar jadi nyantri, mungkin Dyah sudah jadi santri senior atau bahkan sudah menjadi ustadzah di pondok. Hari ini, saat aku mengantar putriku kembali ke pondok setelah liburan semester, seolah aku sedang mengantar Dyah meluluskan harapannya menjadi santri seperti keinginannya dahulu.

Aku melamunkan lagi uang lima puluh ribu pemberianku buat membeli obat tetangganya yang sakit. Susah payah aku memaksa sampai Dyah menerima uang itu. Ini yang benar-benar aku lamunkan, bagaimana bisa, Dyah yang susah payah mencari uang untuk sesuap nasi dengan mengamen, tetapi masih memikirkan buat meringankan beban orang lain?

Empati Dyah yang sedemikian itu aku perbandingkan dengan putriku. Sering perbandingan itu berakhir dengan ketakutan. Aku takut, putriku yang menikmati pendidikan dan buaian, serta pendampingan dari Ayah Bundanya, tidak memiliki empati seperti Dyah yang lahir dari keterbatasan-keterbatasan. Bila itu terjadi, aku tak menyalahkan putriku, melainkan kegagalanku sebagai orang tua.

Sebab itulah aku begitu bersemangat saat putriku memutuskan untuk memilih pondok selepas lulus SD. Boleh dibilang, ini keputusan berani dari putriku yang ‘rumahan’ memutuskan berpisah dari keluarga dalam ukuran jarak sejauh Depok-Yogyakarta. Kerap aku membayangkan, malam-malam putri pertamaku ini menelpon sambil menangis minta dijemput pulang. Atau ngambek tidak mau kembali ke pondok saat liburannya usai. Betul, aku betul-betul khawatir itu terjadi. Tapi rupanya tidak. Aku senang karena putriku kerasan. Aku bangga padanya. Aku juga bangga pada pondoknya yang berhasil mengikat hati putriku.

Antrian mengular. Boarding terasa melelahkan. Akhirnya sampai juga di pintu boarding pass. Aku keluarkan KTP dan tiket. Namun sedetik kemudian aku terkejut.

“Pak, maaf. Jadwal keberangkatan Bapak, baru esok malam,” kata petugas.

Putriku yang berdiri di samping kaget. Aku bahkan lebih kaget.

“Hah?”

“Iya. Ini lihat. Di tiket Bapak, tertulis keberangkatan tanggal 12 pukul 09.00. Sekarang, kan baru tanggal 11, Pak.”

“Astaghfirullah!”

Aku hampir tidak percaya. Aku seperti orang yang tengah tidur nyenyak dibangunkan keras-keras. Kaget, bingung, linglung, dan tidak percaya jadi satu. Aku bahkan merasa seperti orang yang tidak bisa membaca tanggal keberangaktan. Aku bolak-balik tiketku, kubaca berkali-kali jadwal keberangakatan, seakan-akan bisa mengubah waktu keberangkatan menjadi hari ini. Berkali-kali aku lakukan itu. Tapi, semua tak mengubah segalanya. 

Dalam hati, aku mengutuki costumer service tempat aku membeli tiket. Jangan-jangan, dia salah memasukkan tanggal keberangkatan saat aku memesan. Tapi, apa iya? Bisa jadi malah aku yang salah memilih tanggal. Ya, Tuhan. Mengapa bisa jadi misschedule begini?

Kupandangi putriku yang masih terlihat kebingungan.

“Kak, Ayah enggak ngerti. Kita salah jadwal. Jadwal keberangkatan kita besok malam,” kataku.

“Terus? Kan, besok kakak harus sudah masuk pondok, Yah. Gimana dong?”

“Ayah akan telpon mudir. Ayah akan jelaskan alasan keterlambatan Kakak masuk pondok. Ini bukan kesalahan Kakak, kok. Ini kesalahan ayah saat memesan tiket.”

Malam itu kami kembali ke rumah dengan menyisakan pertanyaan sederhana yang tidak bisa aku pecahkan tentang muisschedule itu.[]

DYAH




TIAP kali aku menginjakkan kaki di stasiun kereta Depok Baru, ingatanku pada gadis kecil berambut pirang menyeruak kembali. Rambut pirangnya lah kesan pertamaku yang tak pernah aku lupa. Aku tak tahu, apakah rambut pirangnya bawaan lahir, atau karena terpapar matahari setiap hari sehingga sewarna dengan rambut jagung. Kedua, suaranya itu loh, bagus sekali.

NABI, PEMBAHARU, DAN PERADABAN

HAMPIR tidak ada peradaban di muka bumi yang tidak pernah bersentuhan dengan era kenabian. Dalam sejarah, memang ada yang dinamakan fase ‘fatrah’ atau fase kekosongan dari diutusnya seorang nabi ke tengah-tengah peradaban manusia. Tetapi, masa itu segera berlalu dengan kedatangan utusan Tuhan untuk mengambil alih peradaban yang kering dari nilai-nilai ketuhanan.
     Menurut riwayat, 124 nabi dan 313 rasul telah diutus ke tengah-tengah umat manusia. Dari sekian banyak nabi dan rasul itu, 25 di antaranya disebutkan dalam Al-Quran. Para nabi dan rasul itu menyebar di wilayah Jazirah Arabia, Mesir, Syam, Palestina, serta Irak. Nabi Adam, Hud, Saleh, Ismail, Syuaib, dan Nabi Muhammad SAW diutus di wilayah Jazirah Arabia. Yusuf, Musa, dan Harun diutus di wilayah Mesir. Luth, Ishak, Ya’kub, Ayub, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Zakaria, Yahya, dan Isa diutus di Syam dan Palestina. Sedangkan Idris, Nuh, Ibrahim, dan Yunus diutus di wilayah Irak.