Selasa, 25 November 2025
Hari Guru dan Labirin Low Politic

Biarlah, menggunting itu tugasnya para penjahit dan tukang cukur saja, memangsa karakternya raja hutan saja. Jangan kau menggunting, jangan kau memangsa. Bila levelmu belum sampai maqom mu’allim, jadilah mudarris yang ketiadaanmu dirindukan siswa dan kehadiranmu diinginkan sejawat.Selamat Hari Guru untuk Abdul. Ehehehehe. Sekali-sekali mengucapkan selamat untuk diri sendiri. Lucu juga, sih. Tapi, ya, mau gimana, emang saya guru. Meskipun boleh jadi belum memiliki “Jiwa Guru”. Selamat Hari Guru juga untuk kerabat; Ida Karimah, Mas Hery, Isy Karimatunnisa, Fikra Hawa, dan Mikal Zidna Fajwah. Juga untuk semua sahabat saya yang berprofesi guru. Selamat Hari Guru, ya. Semoga terus bahagia.
Nah, Jiwa Guru ini mahal. Hanya “guru beneran” yang bisa memiliki perangkat lunak ini. Tentu, memiliki Jiwa Guru tidak bisa dibeli dengan uang, ditukar dengan gelar akademik, digadai oleh SK jabatan struktural di sekolah, atau hadiah karena koneksi sebab dekat dengan pengambil kebijakan. Bukan. Jiwa Guru itu hadir sendiri karena keikhlasan, penghayatan pada peran, dan amanah pada tanggung jawab ilmu dan pengabdian.
Di Hari Guru 2025 ini, saya kok tertarik dengan sebuah artikel di https://www.albayan.ae/. Judulnya itu, loh: “Al-Mudarris wa Al-Mu’allim”, Pengajar dan Pendidik. Amany Fathi—sang penulis—memulai artikelnya dengan pertanyaan cukup penting. “Di mana dan bagaimana kita dapat menemukan seseorang yang melampaui tugas profesionalnya semata sebagai “pengajar (mudarris)” menuju sebutan “pendidik (mu‘allim)”?
Fathi berpendapat, bahwa seorang pengajar pada umumnya bukanlah seorang pendidik yang berhasil. Adapun pendidik adalah “sayyidul mudarrisin”, penguasanya para pengajar. Perbedaan yang mendasar, mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada para siswa dengan cara apa pun, dan tugas ini terbatas pada studi dan pencapaian ilmiah lebih daripada aspek lainnya. Sementara pendidik adalah pengajar sekaligus pembina, pembimbing, ayah, saudara, dan sahabat—yang selalu ditemukan siswa di sisinya dalam semua situasi dan berbagai keadaan.
“Lābudda an natakhallā fī dākhilinā ‘an waṣf al-mudarris, wa nartaqiya jamī‘an ilā musammā al-mu‘allim, wa nujassidahu qawlan wa fi‘lan, wa huwa ḥaqqan mā yaḥtājuhu al-ṭalabah.” Kata Fathi lebih tegas. Artinya lebih kurang begini: “Kita harus melepaskan dalam diri kita sebutan “pengajar (al-mudarris)” dan naik bersama menuju sebutan “pendidik (al-mu‘allim)”, serta mewujudkannya dalam ucapan dan tindakan. Itulah yang benar-benar dibutuhkan para siswa.”
Berat, berat ini.
Sependek pemahaman saya yang terbatas memahami maksud tulisan Fathi ini, boleh jadi, seorang mudarris masih akrab dengan anasir-anasir yang tidak terhubung langsung dengan kebutuhan siswa. Beda dengan mu’allim yang benar-benar fokus mendampingi siswa-siswa yang—dianggap—nakal, pemalu, lemah, tidak peduli, dan berbagai karakter di samping kecerdasan, bakat, dan minat yang berbeda-beda.
Seorang muallim memperlakukan mereka sebagai anak-anaknya, sebagai amanah yang dipikulkan di pundak yang tak terelakkan. Boleh jadi, karena muallim ibarat memilih profesi para nabi untuk berdiri di sisi mereka. Maka, seorang muallim lah yang umumnya memiliki Jiwa Guru, sebagaimana jiwa-jiwa para Nabi yang diserap sebatas sisi manusiawinya.
Zaman terus berubah. Harus diakui, perubahan zaman itu sedikit banyak membawa pada pergeseran nilai-nilai, tidak terkecuali pada alam pendidikan. Dahulu, pendidik adalah segalanya dalam kehidupan seorang murid; ia merupakan teladan pertama, tempat kepercayaan yang tak tertandingi, dan sosok yang dihormati serta dihargai oleh semua orang. Sifat-sifat ini dibangun pendidik untuk dirinya melalui perilaku yang ia jalani dengan ketulusan, rasa tanggung jawab, dan amanah. Namun hari ini keadaan tampak berbeda, dan kita semua melemparkan kesalahan pada perkembangan dan perubahan gaya hidup, serta pada generasi masa kini. Dan hal itu benar, tetapi hanya sebagian.
Jangan lupa, manusia tetaplah manusia; jiwa manusia masih merupakan jenis yang sama sejak Adam ‘alaihi as-salām dan tidak berubah. Perilaku manusia juga tetap serupa di seluruh dunia. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Dan lagi-lagi, Fathi seperti mencabik kesadaran bahwa Jiwa Guru boleh jadi belum menyatu dalam diri saya bersamaan Hari Guru hari ini. Sebab kata Fathi, pendidik lah yang telah menanggalkan senjatanya, melepaskan perangkatnya, dan meninggalkan wibawanya.
Maka, seharusnya betapa malu setiap kita yang diberi Selamat Hari Guru membaca artikel Fathi hari ini bilamana ia masih bermain-main dengan anasir-anasir yang memalingkan wajahnya dari tugas-tugas mendidik menjadi sekadar mengajar. Apatah lagi masuk dalam labirin “Low Politic” yang secara vulgar dan agresif menggunting dalam lipatan, “memangsa” teman sejawat.
“Hai, Abdul! Biarlah, menggunting itu tugasnya para penjahit dan tukang cukur saja, memangsa karakternya raja hutan saja. Jangan kau menggunting, jangan kau memangsa. Bila levelmu belum sampai maqom mu’allim, jadilah mudarris yang ketiadaanmu dirindukan siswa dan kehadiranmu diinginkan sejawat.” Begitulah nurani saya bicara sendiri.
Selamat Hari Guru Nasional 2025 para guru. Bahagia dan sejahteralah dari dunia sampai akhirat. Aamiin.
Ciputat, 25 November 2025.
Laboratorium MIPA Jabir ibn Hayyan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar