Senin, 27 Oktober 2025
5 Alasan Santri Harus Menulis
![]() |
| Sharing menulis dengan santri Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo. Foto milik Media Informasi MBS. |
Literasi menulis sebagai distingsi MBS Ki Bagus Hadikusumo. Ia akan menjadi pembeda dari semua MBS, bahkan dari semua pondok pesantren milik Muhammadiyah seantero negeri.
Rabu berlalu, 22 Oktober 2025 kemarin adalah Hari Santri Nasional. Bagi dunia pesantren, Hari Santri seperti “Hari Raya” meskipun tidak sesakral Idul Fitri atau Idul Adha. Akan tetapi, substansi sebagai “Hari Raya”, Hari Santri sebangun dalam ekspresi ungkapan gembira dan rasa syukur. Perlu ditegaskan, bukan dalam konsep tasyri’ yang dimaksud sebagai “Hari Raya” pada Hari Santri di sini.
SMP Muhammadiyah Boarding School (MBS) Ki Bagus Hadikusumo, Jampang, Bogor menggelar pun upacara pada Hari Santri. Boleh jadi, nuansa upacara di SMP MBS Ki Bagus Hadikusumo dan di pondok-pondok Muhammadiyah berbeda nuansanya dari pondok-pondok milik NU, PERSIS, atau pondok-pondok lain sesuai warna, dan karakter masing-masing saat Hari Santri diperingati.
Usai upacara, SMP Ki Bagus Hadikusumo menggelar seminar menulis. Ini sesuatu banget. Sebagai pondok Muhammadiyah yang mengusung tagline Berkemajuan, literasi menulis sepantasnya menjadi kebutuhan mendesak bagi santri MBS Ki Bagus Hadikusumo. Maka, mengagendakan Hari Santri Nasional dengan seminar Literasi Menulis seperti kemasan dan isi yang sangat serasi.
Sejujurnya, agak “kelabakan” diberi kesempatan menyampaikan materi seminar kamarin itu. Rasanya kurang maksimal karena waktu persiapan yang singkat. Namun, “daya tarik” dunia kepenulisan yang bikin nagih, saya penuhi juga kesediaan hadir di MBS berbekal pengalaman acara yang sama di kesempatan yang lalu-lalu di berbagai forum. Dan, mendapati tiga ratusan lebih santri mengikuti seminar ini, saya mengira-ngira, Dewan Mudir sedang mempertimbangkan literasi menulis sebagai distingsi MBS Ki Bagus Hadikusumo. Ia akan menjadi pembeda dari semua MBS, bahkan dari semua pondok pesantren milik Muhammadiyah seantero negeri. Why not, Abah?
Usai upacara, SMP Ki Bagus Hadikusumo menggelar seminar menulis. Ini sesuatu banget. Sebagai pondok Muhammadiyah yang mengusung tagline Berkemajuan, literasi menulis sepantasnya menjadi kebutuhan mendesak bagi santri MBS Ki Bagus Hadikusumo. Maka, mengagendakan Hari Santri Nasional dengan seminar Literasi Menulis seperti kemasan dan isi yang sangat serasi.
Sejujurnya, agak “kelabakan” diberi kesempatan menyampaikan materi seminar kamarin itu. Rasanya kurang maksimal karena waktu persiapan yang singkat. Namun, “daya tarik” dunia kepenulisan yang bikin nagih, saya penuhi juga kesediaan hadir di MBS berbekal pengalaman acara yang sama di kesempatan yang lalu-lalu di berbagai forum. Dan, mendapati tiga ratusan lebih santri mengikuti seminar ini, saya mengira-ngira, Dewan Mudir sedang mempertimbangkan literasi menulis sebagai distingsi MBS Ki Bagus Hadikusumo. Ia akan menjadi pembeda dari semua MBS, bahkan dari semua pondok pesantren milik Muhammadiyah seantero negeri. Why not, Abah?
Bila sejenak kita menengok karakteristik Peradaban Islam, ia berbicara pada akal dan hati sekaligus, membangkitkan perasaan dan pemikiran dalam waktu yang sama — dan ini merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh peradaban mana pun dalam sejarah (Al-Siba’i, 1999: 70-75). Karena itu, menulis sebagai produk akal dan hati merupakan ciri dari peradaban Islam, peradaban ilmu. Ilmu pengetahuan itu sendiri dihimpun secara sistematis dalam koleksi buku dan kepustakaan Islam sehingga peradaban Islam dapat disebut sebagai peradaban buku atau peradaban teks yang berasal dari al-Qur’an (El-Fadhl, 2020: 6).
Maka tidak heran, perpustakaan dalam peradaban Islam masa keemasan baik di Timur (Baghdad, Mesir, dan Syam) maupun di Barat (Andalusia) menyimpan koleksi buku yang sangat melimpah. Khazain al-Qushur yang dibangun Khalifah al-Aziz (Daulah Fathimiyah) punya kapasitas 40 ruangan besar dengan jumlah koleksi kepustakaan mencapai 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu buku, dokumen, manuskrip, dan lain-lain). Dari jumlah koleksi itu, 600.000 (enam ratus ribu) di antaranya terdiri dari buku-buku teologi, tata bahasa, kamus dan ensiklopedia, kebudayaan, sejarah, geografi, astronomi, matematika, dan kimia. Khusus buku-buku mengenai matematika dan astronomi, terdapat 6.000 (enam ribu) buku. Buku-buku lainnya terdiri dari salinan (copy) dari berbagai subjek, baik salinan buku-buku keagamaan, sejarah, dan sastra (Hak, 2020: 138).
Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), perpustakaan era Abbasiyah memiliki beragam koleksi dari berbagai bahasa seperti Arab, Yunani, Sansekerta, dan lainnya. Koleksi perpustakaan ini tercatat dalam kitab al-Fihrist dan al-Kasfī karya Hajj Khalifah. Dalam al-Fihrist karya Ibn al-Nadīm juga disebutkan bahwa jumlah koleksi Bayt al-Hikmah mencapai lebih dari 60.000 (enam puluh ribu) buku, jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran masa itu. Bahkan penataan buku-buku di perpustakaan Bayt al-Hikmah—selain yang menjadi milik khalifah—diatur berdasarkan klasifikasi ilmu pengetahuan (subjek) yang disusun oleh Ibn al-Nadīm (Rohana dkk., 2021:15–33).
Khalifah al-Hakam II pada dekade akhir abad ke-10 M membangun perpustakaan di Cordova, Perpustakaan Khalifah al-Hakam II. Jumlah koleksinya mencapai 400.000 (empat ratus ribu) koleksi buku. Menurut Mehdi Nekosten, jumlah koleksinya lebih besar lagi, mencapai 600.000 (enam ratus ribu), diperuntukkan bagi publik. Selain bukti jumlah nominal, kebesaran dan kelengkapan perpustakaan ini digambarkan juga dengan sebuah legenda bahwa “tidak ada buku yang tidak dapat ditemukan dalam perpustakaan al-Hakim ini.”(Hak, 2020: 136).
Karena ini, saya punya alasan keharusan menulis. Alasan itulah yang saya beberkan dalam seminar singkat kemarin dengan keywords; mengapa santri harus menulis. Pertama, menulis itu melanjutkan tradisi para ulama. Ulama itu sangat dekat dengan dunia santri. Dan santri, sangat dekat dengan karya-karya tulis para ulama, bukan? Jadi, mengapa santri belum juga menggerakkan pena secara serius melanjutkan tradisi para ulama dalam khazanah peradaban Islam?
Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam karyanya Qīmatuz-Zamani ‘inda al-‘Ulamā’, menyebut Imam Ibnu Jarir —penulis tafsir al-Thabari dan Tarikh al-Thabari—menulis setiap hari sebanyak 14 lembar. Jika dihitung jumlah hari dalam 72 tahun masa hidup beliau dikalikan dengan 14 lembar per hari beliau menulis, maka total karya yang beliau tulis mencapai sekitar 358.000 lembar (Abu Ghuddah, 2012: 78). Ajiib!
Maka tidak heran, perpustakaan dalam peradaban Islam masa keemasan baik di Timur (Baghdad, Mesir, dan Syam) maupun di Barat (Andalusia) menyimpan koleksi buku yang sangat melimpah. Khazain al-Qushur yang dibangun Khalifah al-Aziz (Daulah Fathimiyah) punya kapasitas 40 ruangan besar dengan jumlah koleksi kepustakaan mencapai 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu buku, dokumen, manuskrip, dan lain-lain). Dari jumlah koleksi itu, 600.000 (enam ratus ribu) di antaranya terdiri dari buku-buku teologi, tata bahasa, kamus dan ensiklopedia, kebudayaan, sejarah, geografi, astronomi, matematika, dan kimia. Khusus buku-buku mengenai matematika dan astronomi, terdapat 6.000 (enam ribu) buku. Buku-buku lainnya terdiri dari salinan (copy) dari berbagai subjek, baik salinan buku-buku keagamaan, sejarah, dan sastra (Hak, 2020: 138).
Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), perpustakaan era Abbasiyah memiliki beragam koleksi dari berbagai bahasa seperti Arab, Yunani, Sansekerta, dan lainnya. Koleksi perpustakaan ini tercatat dalam kitab al-Fihrist dan al-Kasfī karya Hajj Khalifah. Dalam al-Fihrist karya Ibn al-Nadīm juga disebutkan bahwa jumlah koleksi Bayt al-Hikmah mencapai lebih dari 60.000 (enam puluh ribu) buku, jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran masa itu. Bahkan penataan buku-buku di perpustakaan Bayt al-Hikmah—selain yang menjadi milik khalifah—diatur berdasarkan klasifikasi ilmu pengetahuan (subjek) yang disusun oleh Ibn al-Nadīm (Rohana dkk., 2021:15–33).
Khalifah al-Hakam II pada dekade akhir abad ke-10 M membangun perpustakaan di Cordova, Perpustakaan Khalifah al-Hakam II. Jumlah koleksinya mencapai 400.000 (empat ratus ribu) koleksi buku. Menurut Mehdi Nekosten, jumlah koleksinya lebih besar lagi, mencapai 600.000 (enam ratus ribu), diperuntukkan bagi publik. Selain bukti jumlah nominal, kebesaran dan kelengkapan perpustakaan ini digambarkan juga dengan sebuah legenda bahwa “tidak ada buku yang tidak dapat ditemukan dalam perpustakaan al-Hakim ini.”(Hak, 2020: 136).
Karena ini, saya punya alasan keharusan menulis. Alasan itulah yang saya beberkan dalam seminar singkat kemarin dengan keywords; mengapa santri harus menulis. Pertama, menulis itu melanjutkan tradisi para ulama. Ulama itu sangat dekat dengan dunia santri. Dan santri, sangat dekat dengan karya-karya tulis para ulama, bukan? Jadi, mengapa santri belum juga menggerakkan pena secara serius melanjutkan tradisi para ulama dalam khazanah peradaban Islam?
Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam karyanya Qīmatuz-Zamani ‘inda al-‘Ulamā’, menyebut Imam Ibnu Jarir —penulis tafsir al-Thabari dan Tarikh al-Thabari—menulis setiap hari sebanyak 14 lembar. Jika dihitung jumlah hari dalam 72 tahun masa hidup beliau dikalikan dengan 14 lembar per hari beliau menulis, maka total karya yang beliau tulis mencapai sekitar 358.000 lembar (Abu Ghuddah, 2012: 78). Ajiib!
Imam al-Zuhri, bahkan menulis segala sesuatu yang ia dengar. Ketika kemudian orang-orang membutuhkan ilmunya, semua orang menyadari bahwa Imam al-Zuhri adalah orang yang paling berilmu di antara manusia. Saking gandrungnya Imam al-Zuhri menulis, sampai sedang melaksanakan thawaf pun, beliau membawa papan atau lembaran-lembaran catatan dan ditertawakan sahabat al-Zuhri sebab kebiasaan menulisnya itu (adz-Dzahabī, 2012: juz 5, hal. 332).
Kedua, dunia santri adalah dunia ilmu, dunia belajar, sedangkan menulis memperdalam dan mengokohkan ilmu. Imam Malik menyarankan, seorang penuntut ilmu harus menulis sebagai cara mengikat ilmu yang sudah dipelajari. Kata beliau:
Al-‘ilmu ṣhaidun wa al-kitābatu qayduhu
Qayyid ṣuyūdaka bil-ḥibāli al-wāthiqah
Famina al-ḥamāqati an taṣīda ghazālah
Wa tatrukuhā bayna al-khalā’iq ṭāliqah (Syāhīn, 2017: 259).
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.
Dengan kebiasaan menulis, santri tidak akan kehilangan jejak ilmu yang telah dipelajari di kala ia lupa. Bilamana suatu saat ia lupa, tulisan bisa membantu mengingat kembali.
Memang, tampak ada hubungan yang kuat antara sifat lupa manusia dan menulis. Akan tetapi, sebagaimana sering disebut banyak orang: Innahu mina an-nisyāni, wa summiya al-insānu insānan li nisyānihi—sesungguhnya (nama itu) berasal dari kata lupa (nisyān), dan manusia dinamakan insān karena sifat lupanya—secara linguistik dipertanyakan oleh Ibnu Miskawaih.
Iinsān—berasal dari kata “al-uns” yang bermakna “keakraban” atau “keserasian”. Hal itu karena manusia secara fitrahnya cenderung akrab dan bersosialisasi, bukan makhluk yang liar dan menjauh. Dari sifat itulah nama insān (manusia) diserap dalam bahasa Arab, kata penulis kitab Tahẕīb al-Akhlāq ini.
Demikian pula komentar Ibnu al-Jauziyah yang mengoreksi kata insān sebagaimana pendapat sebagian orang—berasal dari kata nisyān (lupa), dan bahwa manusia dinamakan insān karena sifat lupanya, begitu pula nās (manusia) dinamakan demikian karena mereka suka lupa”—maka pendapat ini tidaklah benar sama sekali. (Ibnu al-Qayyim, 1989: 101).
Meskipun demikian, sifat lupa yang melekat pada manusia, adalah bagian dari sunnatullah bahwa menulis itu penting terlepas dari masalah linguistik ada atau tidak hubungan antara insān dan nisyān.
Ketiga, menulis melatih berpikir kritis dan terstruktur. Sebenarnya, berpikir kritis dan terstruktur sudah menjadi pola pengajaran di pondok pesantren. Santri juga belajar Mantiq sebagai landasan berpikir kritis dan terstruktur. Hanya saja, kemampuan berpikir kritis dan terstruktur itu lebih dominan diekspresikan lewat orasi (khitobah), saat mereka muzakarah, dan menyampaikan argumentasi (istidlal) yang meyakinkan saat membahas suatu masalah dalam tradisi pesantren.
Sementara, berpikir kritis dan terstruktur melalui media tulisan masih belum tumbuh subur di kalangan santri. Seyogyanya, santri pondok-pondok Muhammadiyah ibarat HAMKA-HAMKA muda zaman milenial meskipun pada ujungya tidak seluruh santri punya passion menulis. HAMKA adalah prototype kaum santri yang fasih lisan dan penanya. Nûn, wal-qalami wa mâ yasthurûn harusnya bukan hanya ayat suci yang menjadi slogan santri Muhammadiyah, melainkan spirit menulis yang hidup karena ujung pena mereka yang terus menari-nari.
Keempat, menulis termasuk bagian dari dakwah. Bahkan, jangkauan dakwah lewat media tulisan mampu menembus dinding-dinding primordial, batas wilayah, serta ruang dan waktu. Apalagi di era keterbukaan hari ini di mana orang bisa mengakses informasi yang nyaris tanpa tidur, kehadiran tulisan yang bermuatan dakwah amat diperlukan. Hindun binti Musthafa Syarifi menegaskan, sesungguhnya penulisan ilmu membantu para dai untuk menyebarkannya ke berbagai penjuru bumi, karena mudahnya ilmu itu dipindahkan di antara manusia—terutama pada masa modern (Syarifi, 2016). Maka, Santri dengan kemampuan dakwahnya, dengan khazanah literatur turats yang melimpah akan sangat membantu rujukan dakwah lewat tulisan. Tulisan santri di internet, nilainya akan berbeda dari tulisan seorang content creator belaka.
Kelima, menulis menjaga warisan pesantren. Banyak kearifan pesantren, kisah kyai, metode ngaji, dan nilai adab yang akan hilang jika tidak ditulis. Dengan menulis, santri mendokumentasikan sejarah dan tradisi pesantren, agar tetap hidup dan dikenal generasi berikutnya.
Ayo santri MBS Ki Bagus! Jadikan literasi menulis sebagai distingsi keunggulan santri milenial.
![]() |
| Di antara Ustaz Ajat Sudrajat, S.Pd.I Kepala SMP Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo dan Ustaz Restu Kurniawan Wibawa, Media Informasi MBS. Foto milik divisi Media MBS. |
Depok, 27 Oktober 2025.
Ba'da Isya yang sejuk, lewat pkl. 00.16, sedangkan mata tak jua bisa dipejamkan.
Ba'da Isya yang sejuk, lewat pkl. 00.16, sedangkan mata tak jua bisa dipejamkan.
Rujukan:
Abu Ghuddah, Abdul Fattah. 2012. Qīmatuz-Zamani ‘inda al-‘Ulamā’. Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah.
adz-Dzahabī, al-Imāmi Syamsi ad-Dīn Muḥammadi bni Aḥmadi bin ‘Uṯmān. 2012. Siyar A‘lāmi an-Nubalā’. Beirut: Muassasah Al-Risalah.
al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim. 1998. Tafsir Al-Mu'awwidzatain. tanpa kota: Dar al-Hadits.
Al-Siba’i, Mustafa. 1999. Min Rawa’i Hadharatina. Beirut. Dar Al-Warraq.
binti Mustafa Syarifi, Hindun. 2016. ”Al-Dakwah bi al-Kitabah”. https://www.alukah.net/sharia/0/98523/الدعوة-بالكتابة-وسيلة-الكتابة-الدعوية/. Diakses pada 24 Oktober 2025.
El-Fadl, Khalid Abou. 2002. Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab. terj. Abu Abdullah. Jakarta: Serambi, 2002.
Hak, Dr. Nurul, M.Hum. 2020. Sains, Kepustakaan, Dan Perpustakaan Dalam Sejarah Dan Peradaban Islam (Klasik, Pertengahan, Modern). Pati. Maghza Pustaka.
Rohana, R., Lubis, L., & Ridwan, R. (2021). Gerakan Penerjemahan Sebagai Bagian Aktivitas Dakwah dan Keilmuan di Dunia Islam (Tinjauan Historis Gerakan penerjemahan pada Masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun). Jurnal Ilmu Perpustakaan (Jiper), 3(2), 15–33. https://doi.org/10.31764/jiper.v3i2.4418. Diakses pada 25 Oktober 2025.
Syāhīn, Muḥammad ‘Abd as-Salām. 2017. Ḥāsyiyatu asy-Syaikh Ibrāhīm al-Bayjūrī ‘alā syarhi al-‘Allāmah Ibn al-Qāsim al-Ghazzī ‘alā matni asy-Syaikh Abī Syuja‘. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Abu Ghuddah, Abdul Fattah. 2012. Qīmatuz-Zamani ‘inda al-‘Ulamā’. Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah.
adz-Dzahabī, al-Imāmi Syamsi ad-Dīn Muḥammadi bni Aḥmadi bin ‘Uṯmān. 2012. Siyar A‘lāmi an-Nubalā’. Beirut: Muassasah Al-Risalah.
al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim. 1998. Tafsir Al-Mu'awwidzatain. tanpa kota: Dar al-Hadits.
Al-Siba’i, Mustafa. 1999. Min Rawa’i Hadharatina. Beirut. Dar Al-Warraq.
binti Mustafa Syarifi, Hindun. 2016. ”Al-Dakwah bi al-Kitabah”. https://www.alukah.net/sharia/0/98523/الدعوة-بالكتابة-وسيلة-الكتابة-الدعوية/. Diakses pada 24 Oktober 2025.
El-Fadl, Khalid Abou. 2002. Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab. terj. Abu Abdullah. Jakarta: Serambi, 2002.
Hak, Dr. Nurul, M.Hum. 2020. Sains, Kepustakaan, Dan Perpustakaan Dalam Sejarah Dan Peradaban Islam (Klasik, Pertengahan, Modern). Pati. Maghza Pustaka.
Rohana, R., Lubis, L., & Ridwan, R. (2021). Gerakan Penerjemahan Sebagai Bagian Aktivitas Dakwah dan Keilmuan di Dunia Islam (Tinjauan Historis Gerakan penerjemahan pada Masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun). Jurnal Ilmu Perpustakaan (Jiper), 3(2), 15–33. https://doi.org/10.31764/jiper.v3i2.4418. Diakses pada 25 Oktober 2025.
Syāhīn, Muḥammad ‘Abd as-Salām. 2017. Ḥāsyiyatu asy-Syaikh Ibrāhīm al-Bayjūrī ‘alā syarhi al-‘Allāmah Ibn al-Qāsim al-Ghazzī ‘alā matni asy-Syaikh Abī Syuja‘. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)


Tidak ada komentar :
Posting Komentar