Kamis, 27 November 2025
Kavling Mufaraqah
![]() |
| Berjabat tangan dengan Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar, Ph.D. Gara-gara foto ini dibilang akrab banget sama Rektor oleh Om Faizin. Foto milik UIN Jakarta. |
"Saya sudah siapkan kapling mufaraqah"
_______________________________________
Selasa, 18 November 2025, di Aula Mukti Ali, saya terkejut-kejut. Pertama, terkejut dengan sosok Ketua Yayasan. Setahu saya, Ketua Yayasan Syarif Hidayatullah bukan dia. Saya kenal wajah, postur, gaya bicara, dan pembawaan Ketua Yayasan. Rasanya, belum lama sosok ini menjabat. Tapi, kok sudah ganti orang? Ini siapa lagi?
Di aula Mukti Ali saat acara berlangsung pun, pertanyaan masih menggantung di benak saya. Karena subjek saya adalah Sejarah Kebudayaan Islam, jadi teringat sistem pergantian khalifah yang terjadi di dalam keluarga istana Daulah Bani Umayyah. Lah, kok jadi mirip Daulah Bani Umayyah? Batin saya mengeluh.
Ah, bodo amat. Lagian, saya bukan orang penting yang harus tahu suksesi struktural yayasan. Siapa elu, Dul? Jawab saya sendiri dalam hati.
Saya beneran ketinggalan kereta, kurang update. Teman sejawat boleh jadi sudah jauh kemana-mana, sementara saya masih duduk termangu di buritan. Kemarin—sekira seminggu berlalu—sempat samar-samar mendengar cuitan. Embusan angin mengantar cuitan itu sampai ke ujung telinga: "Ketua Yayasan yang baru, sarungan." Barulah pada hari Selasa itu saya ngeh soal "sarungan". Oh, maksudnya "pakai sarung".
Kedua, terkejut soal undangan pertemuan pada hari Selasa itu. Perihalnya jelas tertulis: “Undangan dari yayasan”. Tapi, undangannya berkop MTs Pembangunan dan ditandatangani bukan oleh Ketua Yayasan. Mata saya memicing, sekadar memicing. Loh, kok? Jadi, siapa yang mengundang? Ah, biarlah, itu soal teknis. Hal kecil seperti ini memang sering luput kecuali bagi orang yang aktif berorganisasi dan akrab dengan nomenklatur surat menyurat.
Undangan via WA di Grup kali pertama diposting pada 17 November 2025 pukul 07. 46 WIB. Ada catatan tambahan pengantar pada postingan: “mohon hadir tepat waktu dan ada daftar hadir kegiatan ini”. Undangan diulangi sehari kemudian, pada 18 November 2025 pukul 14.57 WIB. Bismillah, saya harus hadir. Pukul 15.33 WIB Aula Mukti Ali masih belum terisi separuh. Imbauan diulangi dengan bahasa foto dibubuhi caption: “Ayoo bapak dan Ibu.”
Ketiga, terkejut—lebih pasnya ‘tersengat—dengan diksi “kalian” yang digunakan Ketua Yayasan saat menyampaikan nada tegas mengenai polemik Yayasan dengan UIN yang sedang berlangsung. Diksi “kalian” ini boleh jadi tak terpikirkan bagi siapa pun. Tapi bagi saya, tidak. Saya memikirkan diksi “kalian” itu sampai malam. Boleh jadi karena setiap hari saya biasa bermain dengan diksi-diksi. Dari diksi yang bermakna sopan sampai yang kasar, dari yang mendikte sampai intimidatif, sedikit banyak saya tahu. Apalagi saya hadir saat diksi “kalian” itu digunakan di forum briefing itu.
Semula, saya menaruh harapan besar pada briefing hari itu. Pastilah ada hal mendasar dengan hadirnya sosok bersarung sebagai Ketua Yayasan yang baru. Apalagi saat isu integrasi terus menggelinding bagai bola salju, berharap sangat kehadirannya akan memberikan kesejukan agar para guru bisa tetap fokus melaksanakan tugas-tugas pokok tanpa harus berurusan dengan polemik. Sebab hemat saya, soal isu integrasi yang memicu polemik bukan domain guru, itu domain para pemangku kebijakan. Maka, saya sebagai guru—juga guru-guru di semua unit—hanya berharap semuanya berakhir dengan baik.
Akan tetapi, harapan pada briefing hari itu jauh panggang dari api. Bahkan ada sikap Ketua Yayasan yang lebih menyengat dari diksi “kalian” itu. “Saya sudah siapkan kavling mufaraqah”. Begitulah bunyinya. Kalimat itu disampaikan dengan sangat meyakinkan kepada para guru. Tentu, yang dimaksud kavling mufaraqah diperuntukkan bagi guru yang tidak tunduk pada sikap dan visi Yayasan.
Ah, bodo amat. Lagian, saya bukan orang penting yang harus tahu suksesi struktural yayasan. Siapa elu, Dul? Jawab saya sendiri dalam hati.
Saya beneran ketinggalan kereta, kurang update. Teman sejawat boleh jadi sudah jauh kemana-mana, sementara saya masih duduk termangu di buritan. Kemarin—sekira seminggu berlalu—sempat samar-samar mendengar cuitan. Embusan angin mengantar cuitan itu sampai ke ujung telinga: "Ketua Yayasan yang baru, sarungan." Barulah pada hari Selasa itu saya ngeh soal "sarungan". Oh, maksudnya "pakai sarung".
Kedua, terkejut soal undangan pertemuan pada hari Selasa itu. Perihalnya jelas tertulis: “Undangan dari yayasan”. Tapi, undangannya berkop MTs Pembangunan dan ditandatangani bukan oleh Ketua Yayasan. Mata saya memicing, sekadar memicing. Loh, kok? Jadi, siapa yang mengundang? Ah, biarlah, itu soal teknis. Hal kecil seperti ini memang sering luput kecuali bagi orang yang aktif berorganisasi dan akrab dengan nomenklatur surat menyurat.
Undangan via WA di Grup kali pertama diposting pada 17 November 2025 pukul 07. 46 WIB. Ada catatan tambahan pengantar pada postingan: “mohon hadir tepat waktu dan ada daftar hadir kegiatan ini”. Undangan diulangi sehari kemudian, pada 18 November 2025 pukul 14.57 WIB. Bismillah, saya harus hadir. Pukul 15.33 WIB Aula Mukti Ali masih belum terisi separuh. Imbauan diulangi dengan bahasa foto dibubuhi caption: “Ayoo bapak dan Ibu.”
Ketiga, terkejut—lebih pasnya ‘tersengat—dengan diksi “kalian” yang digunakan Ketua Yayasan saat menyampaikan nada tegas mengenai polemik Yayasan dengan UIN yang sedang berlangsung. Diksi “kalian” ini boleh jadi tak terpikirkan bagi siapa pun. Tapi bagi saya, tidak. Saya memikirkan diksi “kalian” itu sampai malam. Boleh jadi karena setiap hari saya biasa bermain dengan diksi-diksi. Dari diksi yang bermakna sopan sampai yang kasar, dari yang mendikte sampai intimidatif, sedikit banyak saya tahu. Apalagi saya hadir saat diksi “kalian” itu digunakan di forum briefing itu.
Semula, saya menaruh harapan besar pada briefing hari itu. Pastilah ada hal mendasar dengan hadirnya sosok bersarung sebagai Ketua Yayasan yang baru. Apalagi saat isu integrasi terus menggelinding bagai bola salju, berharap sangat kehadirannya akan memberikan kesejukan agar para guru bisa tetap fokus melaksanakan tugas-tugas pokok tanpa harus berurusan dengan polemik. Sebab hemat saya, soal isu integrasi yang memicu polemik bukan domain guru, itu domain para pemangku kebijakan. Maka, saya sebagai guru—juga guru-guru di semua unit—hanya berharap semuanya berakhir dengan baik.
Akan tetapi, harapan pada briefing hari itu jauh panggang dari api. Bahkan ada sikap Ketua Yayasan yang lebih menyengat dari diksi “kalian” itu. “Saya sudah siapkan kavling mufaraqah”. Begitulah bunyinya. Kalimat itu disampaikan dengan sangat meyakinkan kepada para guru. Tentu, yang dimaksud kavling mufaraqah diperuntukkan bagi guru yang tidak tunduk pada sikap dan visi Yayasan.
Rasanya ingin berteriak: "Emaaaak!" Hanya saja, rasanya tidak perlu. Teriakan hanya bikin gaduh. Masih ada nalar sehat dan second opinion. Saya masih menyimpannya untuk memutuskan di mana kaki harus berdiri bila benar-benar datang saatnya harus memilih.
20 tahun 5 bulan sudah mengabdi di MP, waktu yang cukup untuk menikmati harmoni di ujung karier. Namun, hati rasanya masygul—seperti perempuan hamil tua yang sedang terengah-engah menanggung beban wahnan ‘ala wahnin—diberi pilihan mufaraqah oleh orang yang ibaratnya baru “dua hari dua malam” jadi Ketua Yayasan. Otak terasa mengkeret kusut masai, hati gundah gulana, dan air muka berubah keruh mendapati informasi sedemikian rupa.
Untunglah, pada hari Sabtu, 22 November 2025 saya hadir di Aula Harun Nasution, UIN Jakarta. Saya datang dengan nalar sehat dan second opinion, dengan dada lapang, tanpa beban psikologis, tanpa intimidasi, dan tanpa dering telepon. Saya datang dengan gembira. Saya lihat, beberapa dari teman-teman ada juga memenuhi undangan Rektor dengan gembira seperti saya. Aula Harun Nasution telah mengembalikan spirit daya survive saya di MP.
20 tahun 5 bulan sudah mengabdi di MP, waktu yang cukup untuk menikmati harmoni di ujung karier. Namun, hati rasanya masygul—seperti perempuan hamil tua yang sedang terengah-engah menanggung beban wahnan ‘ala wahnin—diberi pilihan mufaraqah oleh orang yang ibaratnya baru “dua hari dua malam” jadi Ketua Yayasan. Otak terasa mengkeret kusut masai, hati gundah gulana, dan air muka berubah keruh mendapati informasi sedemikian rupa.
Untunglah, pada hari Sabtu, 22 November 2025 saya hadir di Aula Harun Nasution, UIN Jakarta. Saya datang dengan nalar sehat dan second opinion, dengan dada lapang, tanpa beban psikologis, tanpa intimidasi, dan tanpa dering telepon. Saya datang dengan gembira. Saya lihat, beberapa dari teman-teman ada juga memenuhi undangan Rektor dengan gembira seperti saya. Aula Harun Nasution telah mengembalikan spirit daya survive saya di MP.
Begitu gembiranya saya datang, saya masih sempat mencandai sepasang suami istri hasil pertemuan dari kisi-kisi "Kurikulum Cinta" di Madrasah Tsanawiyah. Saya yang mengenakan masker, berseloroh kepada mereka selepas turun dari berboncengan motor. Dengan wajah yang saya serius-seriuskan, saya berujar:
"Hei, pakai masker!" Kata saya sambil membulatkan mata.
Sang istri dengan wajah melongo, mata sedikit membulat, dan mulut agak setengah terbuka memandang sang suami lalu memandang saya dengen ekspresi polos. Saya bisa membaca isi kepalanya, bahwa masker memang diperlukan saat itu untuk sedikit menutup identitas supaya tidak ketahuan. Hihihihi. Sang suami yang melihat istrinya mirip orang shock berusaha menghibur. Ini suami yang baik, ia hadir di saat istrinya membutuhkan pegangan.
"Ah, sudahlah. Nanti juga bakal ketahuan!" Kata sang suami mantap. Ini jawaban suami banget. Jawaban suami siaga.
Buhahahahahahah, kena lo gue ledekin, seru saya dalam hati. Tawa saya pecah, namun tidak berwujud sebab diredam balutan masker. Saya membayangkan di alam hayal diri saya joget-joget sambil menciumi masker melihat respons mereka berdua.
Di aula Harun Nasution, ada juga teman saya yang tampak kurang gembira. Aura wajah mereka tegang seperti orang sedang membuka toples yang tutupnya terlalu kencang dipulir. Bahkan, ada wajah-wajah dari mereka yang seputih lobak. Boleh jadi karena mereka salah satu yang menerima dering telepon, diminta pulang meninggalkan acara sementara pantat mereka sudah leyeh-leyeh di atas kursi aula.
Bagi saya, briefing di aula Andalusia itu pada Selasa 18 November 2025 adalah sejarah. Datang pada Sabtu, 22 November di Aula Harun Nasution bertemu Rektor dan menerima SK juga sejarah. Kedatangan Rektor UIN Jakarta di Hari Guru Nasional di pelataran Madrasah Pembangunan pada Selasa, 25 November 2025 adalah juga sejarah. Dan, sejarah ini bertambah sempurna pada hari Selasa di Hari Guru Nasional. Lebih kurang 70 jam setelah saya menerima SK Rektor, para guru dan Tendik yang belum sempat mengambil SK-nya pada hari Sabtu, berbondong-bondong datang mengambil. Kata seorang kawan saya berseloroh, “Ini seperti Fathu Makkah.”
Soal hari Sabtu atau hari Selasa, itu hanya soal waktu. Bagi saya, siapa yang duluan dan belakangan itu tidak penting lagi diperdebatkan. Semuanya sudah tercatat sejarah. Tidak penting juga mendengarkan lagi narasi-narasi dukungan atau penolakan. Lebih tidak penting lagi menyediakan telinga untuk menyimak apologi meskipun mulut sang apologis berbusa-busa. Bahkan hari ini catatan sejarah bertambah satu paragraf. Kamis, 27 November 2025, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menteri Agama datang berkunjung menginjak latar Madrasah Pembangunan. Bukankah ini sejarah?
Hari ini bertemulah simpul nalar sehat, second opinion, dan kedatangan Pak Menteri.
Kamis, 27 November 2025.
Sambil menikmati suapan terakhir Bakmi di LAB. MIPA Jabir ibnu Hayyan Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta.
Soal hari Sabtu atau hari Selasa, itu hanya soal waktu. Bagi saya, siapa yang duluan dan belakangan itu tidak penting lagi diperdebatkan. Semuanya sudah tercatat sejarah. Tidak penting juga mendengarkan lagi narasi-narasi dukungan atau penolakan. Lebih tidak penting lagi menyediakan telinga untuk menyimak apologi meskipun mulut sang apologis berbusa-busa. Bahkan hari ini catatan sejarah bertambah satu paragraf. Kamis, 27 November 2025, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menteri Agama datang berkunjung menginjak latar Madrasah Pembangunan. Bukankah ini sejarah?
Hari ini bertemulah simpul nalar sehat, second opinion, dan kedatangan Pak Menteri.
Kamis, 27 November 2025.
Sambil menikmati suapan terakhir Bakmi di LAB. MIPA Jabir ibnu Hayyan Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)

Tidak ada komentar :
Posting Komentar