Minggu, 30 November 2025
Secangkir Kopi Pahit Mengurai Salah Fatal
![]() |
| Dummy buku biografi Mualim Awab. |
Baiklah.
Rupanya, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” bukan saja sekadar menginventarisir poin-poin “salah fatal” dari buku saya itu. Penulis ini juga rajin sekali mewacanakan tudingan kesalahan-kesalahan itu kepada beberapa orang. Saya tahu dari informasi yang sampai kepada saya. Misalnya, saat pengajian Subuh di Masjid Nur Hidayat, Kekupu, kesalahan-kesalahan itu dibeberkan di hadapan Ketua PDM Kota Depok.
Informasi berikutnya saya dapat dari salah seorang ahli waris Mualim Awab. Saya memang sedang dekat dengan salah satu dari ahli waris Mualim Awab sejak mendapat izin menulis biografi beliau pada Desember tahun lalu. Entah dapat kabar dari siapa penulis ini tahu bahwa saya menulis biografi tokoh pembaru di Rawadenok ini. Rupanya, kepada ahli waris Mualim Awab ini, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” juga menyampaikan tudingan poin-poin kesalahan seperti yang disampaikannya kepada Ketua PDM Depok. Maka, saat ia tahu biografi itu saya yang menulis, ia berkata, “Buku yang kemarin saja banyak yang salah!” Pahit, sih rasanya di-jugde begitu. Tapi, ya ditelan saja.
Sebab sudah terlatih menikmati sesapan kopi pahit favorit pendamping menulis, sepahit apa pun tudingan itu, rasanya ia memang lebih pahit dari kopi saya. Pahitnya kopi saya hanya sampai di lidah, tak sampai turun ke hati. Lidah memang tajam, lebih tajam dari sembilu. Maka, pahitnya kena sayatan lidah, pahitnya bertahan lama untuk dilupakan.
Ada alasan lain mengapa sebetulnya saya malas menanggapi tudingan “salah fatal” itu. Pertama, satu poin tudingan “salah fatal” yakni soal H. Nipan tidak bisa dibuktikan. Sebab, setelah dalam satu kesempatan penulis ini saya pertemukan dengan narasumber saya untuk menjelaskan sosok H. Nipan ini, malah penulis inilah yang “salah fatal”. H. Nipan yang dimaksud narasumber saya, berbeda dengan Nipan yang dimaksud penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” Salah orang ternyata penulis ini. Ini seperti “Jaka Sembung naik ojek, kagak nyambung, Jek!”
Lebih detail tentang jawaban saya tentang H. Nipan dan dua poin lain jawaban saya, silakan baca di sini:
https://www.adung.my.id/2025/05/h-nipan-dan-h-saprin-sorotan-tajam-buku.html
https://www.adung.my.id/2025/05/1961-sorotan-tajam-buku-matahari-terbit.html
https://www.adung.my.id/2025/05/muhasim-dan-gerakan-tani-sorotan-tajam.html
Kedua, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” setahu saya bukan penulis—dalam arti orang yang sejak muda memang giat menulis buku serta bukunya beredar di pasaran—melainkan ia hanya terbiasa menulis laporan rapat, notulen, atau urusan surat menyurat. Sejak muda, ia banyak mengisi posisi sebagai sekretaris, terutama di Muhammadiyah. Maka, menjadi maklum bila komposisi bahasa “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” terasa kaku dan menjemukan.
Isi “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” memang penting, pake banget, penting banget. Akan tetapi, karena tidak disajikan dalam gaya penulisan yang apik seperti umumnya buku-buku sejarah yang ditulis oleh penulis yang paham bagaimana teknik menulis yang baik, maka “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” kurang sedap dibaca, kaku, dan kurang menarik. Redaksinya lebih cocok disebut laporan hasil notulen rapat, bukan buku sejarah.
Di mana-mana, orang malas membaca buku sejarah karena sejarah itu membosankan—kecuali para peminat sejarah untuk keperluan riset atau guru sejarah yang mau tidak mau harus membaca buku sumber sebelum mengajar. Selebihnya, buku sejarah jarang dibaca orang. Apalagi buku sejarah yang disajikan dengan bahasa kaku, kering dari background, korelasi yang kurang kuat antar satu peristiwa dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya, dan miskin dari unsur cita rasa bahasa yang menarik karena keterbatasan kosakata penulisnya. Buku sejarah seperti ini, jangankan dibaca orang, dilirik saja tidak. Sudahlah kebanyakan orang malas membaca buku sejarah karena ia membosankan, apatah lagi buku sejarah yang ditulis macam laporan yang kering dari estetika bahasa.
Ketiga, tadinya, saya enggan menanggapi lagi sebab tanggapan sudah pernah saya tulis. Tapi, kok penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini makin berisik ngomongin penilaian“salah fatal” itu kepada beberapa orang. Terlebih, draft buku Biografi Mualim Awab pun disangkutpautkan dengan buku saya sebelumnya sebagai bahan menimbang kualitas draft tersebut.
Sebelumnya, saya sudah titip pesan kepada komunikator salah seorang ahli waris, cukuplah hanya ahli waris saja dulu yang tahu supaya saya bisa konsentrasi menyelesaikan naskah ini. Tapi, ya sudahlah. Kadung sudah ada orang lain yang tahu, biarlah. Lagi pula, draft biografi ini sudah rampung. Dan sekalian saja saya promosikan di sini.
Tapi rupanya, karakter penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini memang segalanya ingin tahu dan ingin mengomentari apa saja, bahkan pada hal yang belum ia tahu. Misalnya, saat tahu biografi yang saya tulis berdurasi 540-an halaman, responnya cukup menggelikan. Katanya, bukunya saja yang membahas sejarah Muhammadiyah Depok sepanjang 30 tahun hanya 150 halaman. Lah, meraba fisik draft biografi saya saja belum, sudah membandingkan dengan setipis level “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” Aduh, ini sama saja menelanjangi diri sendiri sebagai penulis yang tidak mengerti anatomi sebuah buku.
Di samping itu, ada yang membuat saya bertanya-tanya. Sudahlah menyatakan: “Buku yang kemarin saja banyak yang salah!” Namun, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini berkali-kali menelpon salah seorang ahli waris Mualim Awab meminta draft buku ini. Untuk apa?
Jadilah saya menaruh “buruk sangka”. Kalau bukan untuk mengorek sesuatu yang dipandangnya salah dari draft biografi itu, apa lagi coba? Feeling saya berkata, boleh jadi karena ada konflik yang diketahui penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” dari perjalanan hidup Mualim Awab yang paling pahit sepanjang Mualim Awab bergelut di Persyarikatan yang sebaiknya tidak boleh banyak orang tahu, maka, ia merasa perlu buru-buru membaca draftnya. Namun, boleh jadi feeling saya salah. Semoga memang feeling saya salah.
Akan tetapi lebih dari itu, katakanlah, asalkan poin tudingan “salah fatal” yang ditunjukkan itu nantinya bisa diuji, dan ternyata ia benar, it’s okay. Sebagai penulisnya, saya tidak keberatan mengakui dan akan merevisi. Namun, bila ternyata tudingan “salah fatal” itu malah berbalik, mau disikapi bagaimana lagi tudingan itu selain saya anggap saja sebagai angin lalu.
Baik. Saya akan beralih pada poin yang masih berhubungan dengan topik ini. Saya mulai dari hal sederhana, soal diksi (pilihan kata) “fatal”.
Saya belum bosan belajar menulis, termasuk belajar diksi. Bila merujuk kamus, fatal/fa·tal/ artinya 1 mematikan; 2 tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi (tentang kerusakan, kesalahan); dan 3 menerima nasib (tidak dapat diubah lagi); celaka.
Ini arti dasar “fatal” menurut kamus.
Dari tiga arti di atas, arti kedua; “tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi (tentang kerusakan, kesalahan)” mungkin bisa dipaksakan untuk dipakai memahami tudingan “salah fatal” atas buku saya; “Matahari Terbit di Kampung Kami.”
Mengapa saya sebut diksi “fatal” itu dipaksakan untuk dipakai memahami tudingan atas buku saya? Ya, karena kesalahan pada buku—baik typo, kesalahan data, informasi, atau kesalahan redaksi—bukan kesalahan fatal. Sebab, ia masih bisa diperbaiki sepanjang ada proses “revisi”. Rasa-rasanya, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” tidak paham penggunaan diksi “fatal”, baik dalam ucapan maupun tulisan.
Saya beri contoh penggunaan diksi “fatal” yang tepat dan tidak tepat dalam kalimat supaya tambah jelas.
Contoh 1:
Saat Budi melintas di perlintasan kereta, HP-nya jatuh. Beberapa saat kemudian, Fajar Utama Solo melintas dan melindas HP Budi. HP Budi remuk. HP Budi rusak fatal.
Diksi “fatal” pada kalimat di atas tepat, sebab HP yang remuk itu umumnya sudah tidak bisa diperbaiki.
Contoh 2:
Informasi pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta pada surat pengajuan proposal skripsi Saudara tertulis 1960. Ini salah fatal. Seharusnya 1962. Silakan direvisi sebelum Saudara ajukan pada fakultas.
Diksi “fatal” pada contoh 2 kurang tepat, sebab informasi tahun yang salah pada surat pengajuan skripsi masih bisa direvisi atau diperbaiki.
Jelas, ya?
Jadi, bilapun harus menuding kesalahan pada sebuah buku, ya bilang saja “salah” atau “keliru” tanpa diikuti kata “fatal”. Kalau mau, gunakan diksi “serius” untuk menunjukkan bahwa kesalahan itu memang substansial.
Lalu, apakah sebuah buku boleh dituding salah oleh seorang kritikus buku?
Boleh. Sangat boleh. Sebuah buku apabila sudah di-publish, maka ia menjadi milik publik. Publik berhak menuding, mengkritik, bahkan mengoreksi. Sambil menunjukkan poin-poin yang dinilai sebagai kesalahan, ini sangat bijak. Bilamana poin kesalahan itu terbukti valid—berdasarkan data dan fakta—bukan berdasarkan interpretasi, persepsi, atau asumsi pribadi pengkritik dengan tidak mengabaikan faktor di luar dirinya, tudingan seperti ini harus diperhatikan.
Proses revisi merupakan langkah memerhatikan. Bahkan, dalam proses penerbitan buku, proses revisi bisa berlangsung berkali-kali. Di sinilah peran editor bekerja. Saya, beberapa kali diberi masukan untuk memperbaiki redaksi dari satu paragraf atas buku saya yang sedang diproses. Lain waktu, bahkan saya diminta mengubah alur dan menambahkan setting dari karya novel yang sudah di-ACC penerbit sebelum naik pracetak. Dan, bijaknya seorang editor, apabila saya sebagai penulis dapat menjawab dugaan kesalahan pada naskah dengan reasoning yang meyakinkan, sang editor memberikan apresiasi.
“Okay, kalo begitu. Sebagai editor, saya belum menangkap pesan paragraf ini.”
Dicapailah kompromi; perlu revisi redaksi agar tidak menimbulkan mispersepsi pembaca. Saya mengerti, saran editor diperhatikan.
Baik. Sekarang, saya lanjut ke poin sederhana soal kesalahan dan proses revisi dalam sebuah buku.
Tudingan “salah fatal” saya hindari bila terpaksa harus menilai sebuah buku. Saya ambilkan contoh dari “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sendiri. Saya punya dua versi. Edisi perdana yang belum ber-ISBN terbit pada 2020, diterbitkan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok. Edisi kedua sudah ber-ISBN, terbit pada 2022, diterbitkan oleh Penerbit Irfani.
Dua edisi ini saya dapat dari membeli, bukan gratisan. Sebagai penulis, saya menghindari dari mendapat buku gratisan—kecuali diberi sebagai hadiah—karena saya tahu cara menghargai penulis. Dua puluh delapan buku yang sudah saya tulis, cukup memberi arti betapa menulis buku itu bukan pekerjaan sesimpel merebus mie instan untuk mengatasi kelaparan di tengah malam. Maka, membeli buku adalah bentuk penghargaan atas jerih payah seorang penulis. Meskipun begitu, saya tidak terlalu pelit buat memberi hadiah buku saya kepada beberapa sahabat yang saya pandang perlu mendapatkan tanpa harus mereka mengeluarkan uang.
Pada halaman 25 edisi perdana “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...”, pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta disebutkan berlangsung pada 1960. Ini jelas-jelas salah. Kesalahannya terlalu terang benderang, bahkan a historis. Rupanya, kesalahan ini disadari—entah oleh penulis atau editornya, atau kedua-duanya. Maka, pada halaman 34 edisi kedua terbitan Irfani, kesalahan ini sudah direvisi, bahwa Asian Games IV di Jakarta berlangsung pada 1962.
Dari kasus yang paling dekat dengan “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini, tidaklah berlebihan, bahwa bagi saya tidak ada kesalahan fatal pada buku. Lebih elegan bila disebut ada kesalahan serius. Meskipun demikian, kesalahan serius ini, pun bisa diselesaikan.
Kepada penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sejujurnya saya ingin mendengar, bagaimana ia menjelaskan soal Asian Games IV 1960 dan 1962 ini setajam ia menuding “salah fatal” buku saya. Tapi, tak usahlah dijawab. Saya sudah prediksi jawabannya; typo!
Tapi jangan salah, typo soal data tahun itu tidak boleh diabaikan. Apalagi menyangkut peristiwa penting yang berskala global sekelas Asian Games. Bagi saya yang memegang dua edisi “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” tidak akan sampai pada kesimpulan “salah fatal”. Namun, akan menjadi problem bagi pembaca kritis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” yang hanya memiliki edisi perdana saja. Boleh jadi setelah pembaca ini menelusur dan menemukan data bahwa Asian Games IV berlangsung pada 1962, bukan 1960, boleh jadi dia akan menuding. Apalagi di era digital hari ini, di mana kesalahan sekecil debu saja bisa dideteksi dalam hitungan detik. Itu karena perpustakaan maya buka 24 jam nonstop.
Sedikit menyinggung draft biografi Mualim Awab, soal nama ibu beliau. Saya menemukan fakta berbeda. Pada “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...”, ibu Mualim Awab disebut bernama Tirah, berasal dari Kampung Kekupu. Dari perkawinan Usman dengan Tirah, lahir anak-anak; Kidin, Sidik, Imah, Jaelani, Zakaria, Awab, dan Bahrudin. Tidak ada perbedaan Informasi pada kedua edisi yang masing-masing terdapat pada halaman 17 dan halaman 23. Akan tetapi, dari wawancara dengan ahli waris Mualim Awab, ibu beliau bernama Saiah, bukan Tirah. Lha, jadi, ibu Mualim Awab itu sebenarnya siapa, Tirah atau Saiah?
Nama Tirah tetap saya cantumkan mengambil dari “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sebagai sumber rujukan primer yang saya kutip. Namun, saya memberikan catatan keterangan tambahan berdasarkan informasi ahli waris sebagai narasumber yang menyebut Saiah lah nama ibu Malim Awab yang benar.
Begitulah cara saya mengkompromikan dua informasi berbeda. Saya tidak kuasa menyatakan penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” salah fatal, atau ahli waris Mualim Awab yang salah fatal mengenai siapa nama ibu Mualim Awab. Sebab, boleh jadi Tirah dan Saiah itu adalah sosok yang sama. Kasus seperti ini banyak dijumpai dalam alam kehidupan “orang doeloe”. Sebagai contoh, kakeknya bapak saya bernama Isnaen. Satu waktu saya bertanya saat menulis buku Tarawih Terakhir.
“Pak, Isnaen itu apanya Pak Debel?” tanya saya. Saya ingin tahu, sebab dahulu —saat saya masih SMP kelas 1—ada arisan Keluarga Besar Pak Debel. Saya sering ikut bapak hadir di acara arisan ini.
Nama Tirah tetap saya cantumkan mengambil dari “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sebagai sumber rujukan primer yang saya kutip. Namun, saya memberikan catatan keterangan tambahan berdasarkan informasi ahli waris sebagai narasumber yang menyebut Saiah lah nama ibu Malim Awab yang benar.
Begitulah cara saya mengkompromikan dua informasi berbeda. Saya tidak kuasa menyatakan penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” salah fatal, atau ahli waris Mualim Awab yang salah fatal mengenai siapa nama ibu Mualim Awab. Sebab, boleh jadi Tirah dan Saiah itu adalah sosok yang sama. Kasus seperti ini banyak dijumpai dalam alam kehidupan “orang doeloe”. Sebagai contoh, kakeknya bapak saya bernama Isnaen. Satu waktu saya bertanya saat menulis buku Tarawih Terakhir.
“Pak, Isnaen itu apanya Pak Debel?” tanya saya. Saya ingin tahu, sebab dahulu —saat saya masih SMP kelas 1—ada arisan Keluarga Besar Pak Debel. Saya sering ikut bapak hadir di acara arisan ini.
“Pak Debel, ya Pak Isnaen!” Jawab bapak terkekeh.
Nah!
Keep your writing spirit alive, Abdul!
Depok, 30 November 2025.
Melepaskan rasa pahit di antara rinai hujan sore yang sejuk.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)

Tidak ada komentar :
Posting Komentar