Langsung ke konten utama

RAYYA Bag. 6



Nyeri
Usiaku sudah di atas sebelas tahun. Beberapa bulan ke depan sudah akan menginjak usia yang kedua belas. Teman-temanku sejak dua tahun yang lalu sudah haid. Saat mereka cerita-cerita pengalaman haid pertama mereka, seru sekali. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang kaget, ada yang mengaku pucat wajahnya, ada juga yang malu karena darah haid mereka tembus mengotori seragam mereka, ada juga yang membuang celana dalam mereka ke sungai karena ketakutan belum mengerti apa yang terjadi. Aku hanya menggeleng saat teman-temanku bertanya padaku sudah dapat haid apa belum. Waktu itu, aku belum begitu peduli.

Usiaku terus bertambah. Kata Umi, nanti saat aku sudah sembilan tahun ke atas, saat aku mendapat menstruasi, sudah mimpi dan melihat cairan kekuningan di celanaku saat terjaga, saat itu aku sudah balig. Berarti aku sudah remaja. Harus tunduk menerima semua kewajiban agama seperti wanita dewasa, harus mengerti mandi jinabah, harus mengerti tentang menutup aurat, dan harus mengerti batas-batas pergaulan dengan lawan jenis. Aku juga tidak boleh lagi malas-malasan atau meninggalkan shalat dan puasa.

Umi pernah menjelaskan masalah itu padaku secara terbuka dan sangat terus terang. Kata Umi, orang tua berkewajiban mendidik anak gadisnya agar mengerti masalah ini. Kalau tidak, besar risikonya. Misalnya soal junub atau kewajiban mandi besar. Boleh jadi karena kelalaian orang tua mengajarkan, seorang gadis tetap melaksanakan shalat dan puasa dalam keadaan junub atau haid. Mereka merasa telah melaksanakan kewajiban sebagai muslimah dengan shalat dan puasanya itu. Naif sekali, sama naifnya dengan seorang gadis yang telah balig tapi sama sekali tidak menjalankan kewajibannya sebagai mukallaf. Melaksanakan shalat dalam keadaan junub atau meninggalkan shalat sama sekali dalam keadaan suci karena ketidakmengertian, akan menjadi tanggung jawab orang tua di dunia dan akhirat nanti. 

Yang tidak kalah penting adalah soal aurat. Kata Umi, seluruh tubuh perempuan kecuali wajah dan tapak tangan adalah aurat. Bila seorang perempuan sudah menjadi gadis baligh, sudah sampai hukum berdosa apabila dia tidak menutupnya. Tidak boleh dibuka, ditampakkan pada sembarang orang. Umi berulang kali mengingatkanku, benteng terakhir kehormatan seorang gadis ada pada kesadaran akan pentingnya menutup aurat. Aurat adalah kehormatan yang harus dipelihara seorang gadis melebihi sekadar memelihara kecantikan dan kesehatan tubuhnya. Bila kesadaran menutup aurat tidak ada sama sekali, kecantikan dan kesehatan tubuh jatuh martabatnya dari kemuliaan.

Tidak bisa dipungkiri, kecantikan memang menjadi godaan utama gadis-gadis belia berani menampakkan aurat bahkan mempertontonkannya. Ini hal yang sangat berbahaya kata Umi. Saat seorang gadis remaja mengumbar aurat sembarangan, pada saat itu pula benteng kehormatannya terancam. Sayangnya, banyak gadis remaja tidak menyadari hal ini. Mereka justeru dengan sangat bahagia memamerkan auratnya kepada siapa saja laki-laki yang dijumpainya di jalan, di pasar, di sekolah, di terminal, di stasiun, di bandara, di tempat-tempat rekreasi, dan di mana tempat-tempat terbuka. Yang lebih memprihatinkan jika aurat itu bukan lagi sekadar ditampakkan, tapi ‘diserahkan’ bukan kepada suaminya. Bagaimana bisa seorang gadis memerlihatkan dan menyerahkan rahasia auratnya itu pada sembarang laki-laki? 

Soal pergaulan dengan lawan jenis, Umi lebih streng. Memang, kata Umi, Islam tidak melarang seorang gadis bergaul dengan lawan jenis atau melarang jatuh cinta pada seorang laki-laki, tetapi Islam sudah mengajarkan adab-adab bergaul antara laki-laki dan perempuan nonmahram. Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar keduanya. Tujuannya agar mereka selamat dari fitnah syahwat dan senantiasa terpelihara kehormatannya. 

Ah, aku bersyukur punya orang tua seteliti Umi. Aku tak membayangkan jika saja Umi bukanlah orang tua yang secerdik itu. Dan aku termangu, katanya, Umi hanya melanjutkan apa yang pernah dilakukan nenek pada Umi. Umi hanya melaksanakan pesan nenek agar Umi menyambung lagi pesan ini pada gadis-gadis Umi sama persis dan tidak dikurang-kurangi.[]


Duh, ternyata menjadi gadis remaja tidak sesimpel yang aku bayangkan. Tidak sefun yang aku baca dari majalah-majalah remaja yang aku pinjam dari Haura, temanku. Asyik sekali membaca isinya. Apalagi jika majalah itu memuat dan mengulas artis remaja yang sedang ngetop. Dari urusan pribadi sampai urusan umum artis itu diberitakan. Hobinya, pakaiannya, gaya rambutnya, makanan pavoritnya, soal haidnya, sampai urusan cowoknya diulas tuntas. Soal haid misalnya, majalah remaja itu hanya memberi tips-tips saat haid agar tetap nyaman. Tips memilih pembalut yang tepat, tips mengurangi nyeri haid, bahkan tips agar tetap pede jalan bareng dengan cowok saat haid. Dari artis itulah aku tahu, bagaimana dia tetap merasa nyaman jalan bareng dengan pasangannya walaupun dia sedang haid.

Majalah itu sama sekali tidak menyinggung soal mandi jinabah, bagaimana caranya mandi jinabah, apa saja kewajiban agama yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat seorang gadis mendapat haid dan junub. Tidak. Soal aurat, apalagi. Majalah itu malah menjadi guide gadis-gadis remaja bagaimana memilih pakaian yang apabila dikenakan tubuh akan terlihat lebih seksi. Model pakaiannya agak ketat. Pada bagian tertentu tampak terbuka, atau sengaja dibuka. Sedangkan kata Umi, bagian dari pakaian yang terbuka itu, justru bagian tubuh yang harus ditutup rapat-rapat.

“Majalah seperti itu bukan tuntunan, Rayya.”

“Maksud, Umi?”

“Cuma hiburan, bukan tuntunan.”

“Tapi kan, dibaca banyak orang, Mi?”

“Ya, pasti. Kalau perlu semua anak gadis membacanya. Namanya juga majalah. Mereka kan jualan. Makin banyak yang baca, artinya majalahnya laku.”

“Tapi, Umi bilang, isinya banyak tidak cocok.”

“Ambil sisi positifnya. Untuk urusan kewajiban muslimah tentang haid dan aurat, Rayya harus ngaji.”

Meskipun Umi tidak tegas melarang aku membaca majalah itu, aku jadi ragu. Sejujurnya, aku sendiri belum sepenuhnya bisa memilah mana sisi baik dan mana sisi buruk isinya. Tetapi rasanya aku sudah benar-benar menjadi remaja tiap kali membolak-balik halaman majalah itu di tanganku. Sayang, aku belum haid. Belum resmi jadi remaja. 

Usiaku sudah di atas sebelas tahun. Beberapa bulan ke depan sudah akan menginjak usia yang ke-dua belas. Teman-temanku sejak dua tahun yang lalu sudah haid. Saat mereka cerita-cerita pengalaman haid pertama mereka, seru sekali. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang kaget, ada yang mengaku pucat wajahnya, ada juga yang malu karena darah haid mereka tembus mengotori seragam mereka, ada juga yang membuang celana dalam mereka ke sungai karena ketakutan belum mengerti apa yang terjadi. Aku hanya menggeleng saat teman-temanku bertanya padaku sudah dapat haid apa belum. Waktu itu, aku belum begitu peduli.

Tapi sejak beberapa bulan belakangan, saat teman-tamanku menanyakan lagi aku sudah haid apa belum, aku mulai kepikiran. Bahkan aku mulai cemas saat Haura mengatakan jangan-jangan aku tidak normal. Pada Umi aku mengeluh.

“Umi, kok Rayya belum dapat haid, sih. Kapan dong?”

“Nanti akan tiba saatnya, Rayya.”

“Tapi, Rayya sudah dua belas tahun.”

“Dulu, Umi juga belum dapat haid waktu seusiamu.”

“Tapi Haura, Pipit, dan Kokom sudah.”

“Kan, siklus haid tiap orang tidak sama.”

“Heehhh.”

“Tunggu saja. Nanti sekalinya haid, tiap bulan Rayya bakal repot sendiri.”

“Asyik, aku nggak shalat!”

“Hus! Kok begitu?”

Umi melotot. Aku tertawa. Aku lega kembali.

Waktu itu, aku belum terlalu banyak mengerti konsekuansi haid bagi perempuan. Yang aku tahu, kalau Umi sedang haid, Umi tidak shalat juga tidak puasa pas Ramadhan. Aku ingin sekali merasakan bagaimana tidak shalat, utamanya tidak bangun Shubuh karena dapat haid. Gratis. Asyik kan? 

Aku juga penasaran dengan pembalut. Karena benda itu, aku pernah sangat terobsesi bagaimana rasanya memakai pembalut. Aku ingin merasakan apa yang dibincangkan Haura, Pipit, dan Kokom dengan pembalut pavorit mereka saat mereka haid. Kata mereka nyaman, tidak tembus, tidak kerut, lentur, dan tidak membuat iritasi. Haura pernah menyindirku, “belum jadi anak gadis kalau belum pake pembalut,” katanya. 

Aku sudah benar-benar ingin haid. Aku penasaran. Pernah diam-diam aku mencoba pembalut Umi. Aku ambil dari stok persediaan Umi di kamar mandi. Tapi aku tak tahu cara memakainya bagaimana. Aku malu sendiri.[]


Satu kali, saat aku kelas empat SD, aku merasakan nyeri yang amat sangat. Sakitnya datang dan pergi. Perut bagian bawah berdenyut-denyut sampai kram. Aku sampai keluar keringat dingin menahannya. Hampir tiga hari aku merasakan kondisi seperti itu.

Serangan nyeri di perutku semakin menghebat saat aku sudah duduk di kelas lima sampai kelas enam. Rasanya seperti ada usus di perutku yang mau putus. Hampir-hampir aku tak kuat lagi menahan saat nyeri itu datang. Menangis pun tidak juga meringankan rasa nyeri itu barang sedikit. Entah, apakah Umi tengah menghiburku atau kecemasannya sendiri, kata Umi, biasanya itu gejala umum wanita akan dapat haid.

“Apa? Haid?”

Aku berbinar. Rasanya, nyeri yang tengah aku rasakan seperti reda perlahan-lahan mendengar rasa nyeri itu suatu pertanda akan datang haid. Aku merasa sudah akan menjadi gadis sempurna mendengar kata-kata Umi. Aku sudah tidak sabar lagi, tapi beginikah rupanya jika haid akan datang? Sengsara setengah mati. 

Dadaku berdebar-debar. Hari-hari aku akan merasakan darah haid yang aku nanti-nantikan akhirnya datang juga. Aku benar-benar sudah tidak sabar. Aku sudah ingin segera memberi tahu Haura bahwa aku normal. Aku sudah pula minta dibelikan pembalut yang kata iklannya tetap kering, nyaman, tidak mudah kerut, dan terasa seperti tidak memakai pembalut. Namun aku kecewa meski aku sudah benar-benar merindukannya. Darah haid yang diperkirakan Umi akan datang beberapa hari setelah nyeri itu tak kunjung tiba. Tak ada sedikit pun bercak darah yang aku jumpai. 

Berkali-kali Umi hanya memintaku bersabar. Namun akhirnya Umiku juga seperti kehilangan kesabaran. Umiku berubah cemas. Sebab setiap bulan aku merasakan nyeri yang lebih hebat dari biasanya. Seperti biasa pula, tak ada darah haid yang keluar dari rahimku barang setetes. Yang aku dapat hanya nyeri yang kelewat sakit. Aku ingat kata-kata Haura lagi, jangan-jangan aku memang tidak normal. Tangisku makin tak bisa aku tahan setiap bulan-bulan berikutnya saat rasa nyeri datang menyerang.

Ada apa dengan haidku? Apakah aku mengidap suatu penyakit? Mengapa harus aku yang merasakan ini?[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap