Langsung ke konten utama

QURBAN BAYRAMI

Abu Ayyub, Fetih, dan Hagia Sophia

Sekiranya aku syahid di sini wahai Yazid, kalian kuburkan aku di tepi benteng Konstantinopel, karena aku ingin mendengar derap tapak kaki kuda sebaik-baik raja ketika mereka menawan Konstantinopel.

LIDAH ini tak berhenti memuji Dia di bawah kubah Hagia Sophia. Decak kagum tak lagi cukup mewakili selain tasbih pada pemilik segala kemegahan. Betapa memesona ia, betapa anggun, dan betapa damai saat menginjak altarnya.

Sejenak alam pikiran terbang pada sosok Fetih Sultan Mehmet. Langkah-langkah kemenangan Fetih, panglima terbaik seperti nubuwwat Baginda Nabi SAW seakan terdengar lagi saat pertama kali ia memasuki kota Konstantinopel diiringi lantunan ayat suci dan takbir yang menggema sampai memenuhi altar-altar gereja.

Sang Penakluk melarang pasukannya dari membunuh penduduk sipil pada hari kemenangan itu. Menasihati kesatria-kesatria terbaiknya untuk berlaku lembut dan berbuat baik kepada penduduk Konstantinopel. Lalu Sang Penakluk berkuda menuju simbol kemegahan dan kehormatan melewati Gereja Holy Apostles, Alun-alun Tauri, terus menuju Alun-alun Constantine, di hadapannya terbentang bangunan paling luas pada masanya, landmark paling bergengsi di seluruh dunia; Gereja Hagia Sophia. Sang Penakluk lalu turun dari atas kudanya, berjalan beberapa langkah lalu bersujud, mengambil segenggam debu lalu menumpahkan di atas surbannya sebagai simbol syukur dan kerendahan manusia di hadapan Allah SWT.

Tahukah Anda, saat Konstantinopel jatuh ke tangan Fetih, gereja Hagia Sophia menjadi tempat perlindungan sejumlah besar penduduk kota yang ketakutan. Di hari itu, Fetih disambut oleh seorang pendeta membukakan pintu untuknya dengan ketakziman pada sultan. Lalu, Fetih meminta sang pendeta menenangkan orang-orang yang cemas di dalamnya. Fetih memberikan kepastian jaminan rasa aman kepada mereka. 

Ketakutan berubah menjadi binar-binar bahagia. Umat Kristen yang tak henti-hentinya meminta perlindungan kepada Bunda Maria dan Yesus di gereja itu selama 52 hari pengepungan tak menyangka, ternyata sultan bukan seperti serigala lapar seperti banyak dinarasikan pemuka Kristen dan penguasa Konstantinopel. Di hari paling megah dalam sejarah penaklukkan setelah Penaklukkan Mekah (Fathu Mekkah) pada 630 M, sebagai Sang Penakluk, Fetih lalu meminta supaya Gereja Hagia Sophia berkenaan ditukar menjadi masjid. Sementara gereja-gereja selain Hagia Sophia tetap berfungsi sebagai gereja kaum Kristen.

Saat tak ada lagi pilihan paling berharga selain mendapatkan jaminan keamanan dari Sang Penakluk, Hagia Sophia berubah takdir ditukar menjadi masjid. Adzan lalu berkumandang menggema merdu memecah langit Konstantinopel. Salib dan patung-patung diturunkan, gambar-gambar yang bertalian dengan iman kristus ditutup, sama seperti Nabi SAW membersihkan Ka’bah dari patung dan gambar-gambar di dalamnya saat menaklukkan Mekah. 

Hari berikutnya, pada Jumat 1 Juni 1453, untuk pertama kalinya shalat Jumat digelar di Hagia Sophia. Wajah Kristen Ortodox Timur dan Hagia Sophia genap ‘di-Islamkan’.

Banyak orang Kristen di belakang hari mengutuk mencaci maki Fetih dengan tipuan dan dusta. Mereka menyebut Fetih sebagai orang yang bengis karena mereka tak berdaya mempertahankan Konstantinopel yang jatuh dengan cara yang teramat menyakitkan. Anda tahu penyebab selain dari jatuhnya Konstantinopel yang menyulut kebencian mereka terhadap Fetih?

Ya, The Crusade, Perang Salib. Rupanya, benak orang Kristen masih penuh berjejalan dengan gumpalan trauma kekalahan pada perang Salib. Tiba-tiba mereka kembali dikejutkan dengan runtuhnya Konstantinopel. Konstantinopel, lambang kebesaran Kristen di Timur bertekuk lutut di telapak kaki Fetih yang masih sangat muda. Maka seketika, kebencian dan sentimen anti Islam muncul kembali di kalangan Kristen Eropa dengan menyeret-nyeret nama Fetih. Sebegitu dalam kebencian yang mereka tunjukkan, sampai–sampai mereka menyebut bangsa Turki sebagai “turks” atau bangsa terkutuk yang kejam dan buas. 

“Orang Turki tidak memaksa siapapun untuk mengganti keyakinannya, tidak berkeras membujuk orang lain dan tidak terlalu peduli dengan soal balas dendam,” kata sejarawan George dari Hongaria menepis citra buruk Fetih dan orang-orang Turki Utsmani.

Ah, jadi melantur mundur terlalu jauh. Tapi maaf, saya tidak bisa mencegahnya dari melantur tentang Fetih dan Hagia Sophia karena waktu itu masih tak percaya saya bisa berdiri di bawah kubahnya yang megah. 

Selain decak kagum, ada lintasan kecewa saya mengenang Hagia. Sejak kaum sekuler Turki berkuasa, di bawah cengkeraman kuku-kuku Atatürk, Hagia Sophia dicabut sakralitasnya sebagai rumah Allah menjadi sekelas museum saja. Aura kemuliaan masjid seperti berebutan dengan kudusnya gereja. Entah aura mana yang akan berkesan di hati saya. Semuanya menjadi absurd. Bagi peziarah muslim, tentu masjidnya, tapi tidak bagi orang Kristiani, tentu gerejanya, bagi orang sekuler tentu museumnya.

Bisa jadi, di mata kaum sekuler, Hagia Sophia adalah simbol harmoni dua entitas agama besar; Islam dan Kristen. Sekarang jika Anda ditakdirkan Allah masuk Hagia Sophia, Anda akan melihat bersandingnya Lafadz Allah dan Muhamamd dengan gambar Bunda Maria sedang menggendong bayi Yesus. Empat nama sahabat Nabi SAW yang mulia (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu anhum) megiringinya bersanding dengan relic-relic dan mozaik khas Kristen Ortodox yang sakral. Bagi saya, kebijakan Atatürk memuseumkan Hagia Sophia adalah pengkhianatan atas tetesan darah kesyahidan Abu Ayyub Al Anshari yang jasadnya terkubur di bawah Benteng Konstantinopel dan warisan Fetih Sultan Mehmet yang telah mengislamkan Konstantinopel dengan tetesan darah di atas Galata, Golden Horn, Black Sea, Marmara, dan Selat Bhosporus.

Mengapa Abu Ayyub Al-Anshari dibawa-bawa?

Sekadar saya ingatkan lagi. Abu Ayyub al-Anshari meninggal pada tahun 52 H di usia 80 tahun sebagai seorang mujahid. Ketika itu, dia sedang ikut bersama pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah untuk membebaskan Konstantinopel di saat usianya yang sudah renta. Baru beberapa saat sampai di wilayah musuh, dia jatuh sakit dengan membawa semangat jihadnya yang seolah tetap muda belia tak pernah tua dimakan usianya di puncak 80 tahun itu.

Sekiranya aku syahid di sini wahai Yazid, kalian kuburkan aku di tepi benteng Konstantinopel, karena aku ingin mendengar derap tapak kaki kuda sebaik-baik raja ketika mereka menawan Konstantinopel.
Aku mendengar baginda Rasulullah S.A.W mengatakan seorang lelaki salih akan dikuburkan di bawah tembok tersebut dan aku juga ingin mendengar derap tapak kaki kuda yang membawa sebaik-baik raja yang mana dia akan memimpin sebaik-baik tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda.

Demikian permintaan Abu Ayyub Al-Anshari pada Yazid bin Muawiyah, panglima yang memimpin penaklukkan.

Sebelum Fetih Sultan Mehmet menggenggam Konstantinopel, kota ini berkali-kali hendak ditaklukkan kaum muslimin. Alasannya karena nubuwwat Baginda Nabi SAW seperti yang dikabarkan Abdullah bin Amru bin Ash, “bahwa ketika kami duduk berkeliling bersama Rasulullah untuk menulis, Rasulullah ditanya tentang kota manakah yang akan ditaklukkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Maka Rasulullah menjawab, ‘Kota Heraklius terlebih dahulu’, yakni Konstantinopel.” (HR. Imam Ahmad)

Demikianlah kemudian nubuwwat itu dipertegas Baginda Nabi SAW, ”Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan oleh kalian. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya.” (HR. Imam Ahmad)

Pada 44 H, Muawiyah bin Abi Sufyan memulai serangan atas Konstantinopel untuk yang pertama kali. Sangat mungkin upaya Muawiyah didorong nubuwwat seperti dalam riwayat Imam Ahmad di atas. Serangan terus dilakukan berulang-ulang dan berakhir dengan kegagalan. Serangan lebih gigih dilakukan penguasa Dinasti Umayyah berikutnya pada 98 H di era Sulaiman bin Abdul Malik dan kembali gagal.

Upaya penaklukan diteruskan berkali-kali oleh kekhalifahan berikutnya; Dinasti Abbasiyah. Tetapi tembok Konstantinopel terlalu kokoh, semua serangan tersebut tidak mampu mencapai atau mengancam Konstantinopel. Serangan hanya sebatas sempat mengguncang dan menimbulkan efek kejut terhadap Byzantium seperti penyerangan yang dilakukan Harun Ar-Rasyid pada 190 H. 

Setelah Dinasti Abbasiyah, beberapa Dinasti di Asia kecil, seperti Saljuk berupaya menaklukan Konstantinopel untuk mewujudkan nubuwwat. Meski mampu mengalahkan Romawi dan menawan Sang Kaisar dan mengharuskan membayar jizyah kepada Sultan Saljuk, Konstantinopel masih terlalu perkasa sampai penaklukkan dilanjutkan lagi oleh Saljuk Rum dan Turki Utsmani pada abad 8 H/14 M. 

Penaklukkan Konstantinopel pada era Tuki Utsmani sudah dimulai Sultan Bayazid (1389-1402 M) yang bergelar Yıldırım (Sang Kilat) pada 796 H/1393 M. Konstantinopel sudah dikepung. Sultan Bayazid berunding dengan Kaisar Byzantium agar menyerahkan kota ini dengan damai tanpa adanya peperangan. Akan tetapi Kaisar Byzantium; Kaisar Manuel II menunda-nunda, dan berusaha meminta bantuan negara-negara Eropa untuk menghadapi serangan pasukan Islam terhadap Konstantinopel.

Pada saat bersamaan, tentara Mongol Islam yang dipimpin Timur Lenk telah sampai ke dalam wilayah-wilayah Turki Ustmani. Sultan Bayazid terpaksa menarik pasukannya dari pengepungan Konstantinopel untuk menghadapi Timur Lenk. Berkobarlah perang Ankara yang dimenangkan Timur Lenk. Kaisar Byzantium bersorak. Bayazid wafat pada 1402 M. Tak pelak, Turki Utsmani tercerai berai yang menyulut perang saudara. 

Turki Utsmani kembali stabil di bawah kepemimpinan Sultan Murad II (1421-1451 M). Upaya penaklukan Konstantinopel dilanjutkan tetapi berhasil dihambat Kaisar Byzantium dengan mengembuskan fitnah di kalangan Utsmani yang menyibukkan Sultan Murad II mengatasi urusan dalam negeri dan melupakan Konstantinopel. Fetih Sultan Mehmet lah penurus Turki Ustmani yang berhasil menggenapkan nubuwwat setelah menunggu 825 tahun lamanya dari nubuwwat itu diucapkan Baginda Nabi SAW.

27 Mei 1453 M, dua sebelum Konstantinopel takluk, Fetih menyebut nama Abu Ayyub Al-Ansari saat membakar semangat jihad pasukannya, "Sesungguhnya apabila Rasulullah SAW tiba di Madinah ketika kemenangan hijrah, Baginda telah pergi ke rumah Abu Ayyub Al-Ansari. Sesungguhnya Abu Ayyub telah pun datang dan berada di sini!" ucap Fetih berapi-api.

28 Mei 1453 M tengah malam, Konstantinopel dikepung. Rakyat Konstantinopel mengerti saat kejatuhan akan segera tiba. Maka lonceng-lonceng gereja dibunyikan. Orang-orang memadati Hagia Sophia mengikuti misa perpisahan. Sebagian menyanyikan himne suci, sebagian menangis dan sebagian berangkulan saling bermaaf-maafan. 

Kaisar Constantine berpidato di depan para panglima perangnya pada prosesi malam itu. Katanya, Konstantinopel harus dipertahankan. Constantine sendiri akan ikut berjuang sampai titik darah penghabisan demi mempertahankan Konstantinopel. 

Di sana, di seberang Hagia Sophia, Fetih masih berpidato tepat jam 1 pagi sebelum serangan dimulai pada 29 Mei 1453 M. Suara takbir menggema di atas langit Konstantinopel. “Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan, satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”. 

Selasa 20 Jumadil Ula 857 H, bertepatan tanggal 29 Mei 1453 M, Konstantinopel jatuh dan berhasil ditaklukan. “Masya Allah, kalian telah menjadi orang-orang yang mampu menaklukkan konstantinopel yang telah Rasulullah kabarkan,” kata Fetih Sang Penakluk. 

Dan saya masih berdiri mematung memandang langit-langit museum dari bawah kubah megah Hagia Sophia memuaskan dahaga kekaguman memperkaya literasi kisah penaklukkan Fetih Sultan Mehmet.

Meruyung, Dinihari, 3 Januari 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap