Langsung ke konten utama

CHEMISTRY

MARIYAM kesal, ia masih belum bisa menerima keputusan Ridwan. Semalam, dipunggunginya saja suaminya itu sepanjang ia mendengkur sampai menjelang subuh. Tandanya, Mariam benar-benar kesal. Rupanya, perbincangan mereka kemarin sore sehabis asar tidak saja menyulut pertengkaran kecil, tetapi berlanjut sampai pagi Ridwan hendak berangkat mengajar. Tak ada roti atau nasi goreng dengan teh pahit di meja sarapan seperti biasanya. Mariyam memilih berkemul di balik selimut setelah ia shalat Subuh dan baru beranjak setengah jam setelah suaminya berangkat.

Ridwan mengerti. Ia memilih membiarkan saja sikap Mariyam pagi itu. Ia mengerti, Mariyam belum bisa menerima keputusannya. Mariyam hanya tahu, saat ini mereka sedang membutuhkan banyak uang, menabung untuk keperluan masuk sekolah dan kuliah anak sulungnya tahun depan. Namun di saat demikian, Ridwan tiba-tiba berniat resign dari tempatnya mengajar. Ridwan enggan menjelaskan alasan mengapa ia memilih resign. Terlalu riskan bila ia ceritakan pada Mariyam meski ia tahu istrinya bukan tipe perempuan tukang curhat dan ngerumpi di gerobak sayur. Ridwan hanya menjawab sekenanya saat Mariyam bertanya dengan nada tinggi.

“Anak-anak mau dibiayai sekolah dari mana?”

“Kita jualan cilok di Pasar Kembang,” jawab Ridwan sekenanya.

“Apa? Gila kamu, Bang!”

***

MARIYAM jatuh cinta pada Ridwan saat ia duduk dibangku SMA kelas tiga. Saat itu, Ridwan mahasiswa Fakultas Keguruan sebuah universitas negeri di Jakarta semester tujuh yang sedang PKL di sekolah tempatnya belajar. Bukan karena Ridwan mahasiswa paling tampan dari sepuluh mahasiswa PKL saat itu. Sama sekali bukan. Bahkan kalau diranking, Ridwan bisa jadi ada di urutan sembilan setelah Firman, Budi, Iwan, Munaf, Bowo, Rudi, Revan, dan Uwais. Ridwan hanya sedikit lebih ganteng dari Munandar, mahasiswa kesepuluh yang paling pandai melucu. Tetapi di antara kesepuluh mahasiswa itu, Ridwan yang paling manis senyumnya, paling pintar, dan sangat menarik saat ia praktik mengajar. Tiap kali Ridwan mengajar, kelas seperti tersihir. Matematika yang paling dibenci satu ruang kelas Mariyam, di tangan Ridwan menjadi sangat menyenangkan. Sejak itu, Mariyam menaruh hati pada Ridwan. Tetapi, sampai PKL Ridwan selesai, Mariyam hanya memendam saja perasaannya itu.

Sekolah Mariyam memang bukan sekolah biasa. Itu sekolah elit. Biaya masuknya lumayan mahal. SPP-nya juga mahal. Belum uang-uang kegiatan seperti field trip, jambore, ekskul, studi tour PTN ternama, sampai studi banding ke Australia. Kalau bukan karena Mariyam dibantu pamannya yang merupakan salah seorang dewan pendiri sekolah itu, bapaknya yang hanya PNS golongan II tak sanggup buat memasukan Mariyam di sana. Mahasiswa yang diberi kesempatan melaksanakan PKL pun mahasiswa berkemampuan sedikit di atas rata-rata. Ridwan dan teman-temannya lah yang beruntung bisa PKL selama tiga bulan di sekolah Mariyam.

Rupanya jodoh Mariyam memang Ridwan. Mereka bertemu lagi setelah dua tahun Mariyam lulus SMA. Saat itu, Mariyam sedang belanja bunga untuk keperluan dekorasi ruang pengantin anak pamannya. Selanjutnya, cinta Mariyam bersambut.

Seorang anak muda baru keluar dari rumah berangkat ke kampus saat itu. Anak muda itu tinggal di Jalan Daud, Palmerah, Jakarta Barat, tidak jauh dari Pasar Kembang. Saat ia melintas Pasar Kembang, ia mendengar teriakan seorang perempuan minta tolong.

“Tolong! Jambret!”

Di saat yang bersamaan, anak muda itu melihat seorang lelaki tinggi, bertato, bercelana belel, dan jaket levis kumal berlari sambil menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya. Anak muda itu curiga, laki-laki itu pasti ada kaitannya dengan teriakan perempuan yang meminta tolong. Benarlah, laki-laki itu dikenali banyak orang Rawa Belong sebagai bandit yang beroperasi di sekitar Pasar Kembang.

Anak muda yang jago ‘Maen Pukulan’ menghadang bandit apes itu dan menghajarnya sampai babak belur. Jika bukan karena polisi keburu datang, bandit itu nyaris dihakimi massa yang sudah lama muak dengan pelaku kejahatan Pasar Kembang. Saat Mariyam diperkenalkan pada anak muda yang berhasil menyelamatkan tasnya, Mariyam terkejut, dadanya terasa mau pecah. 

“Pak Ridwan!”

“Kamu?”

“Bapak lupa, ya? Saya Iyam, Pak. Mariyam. Anak IPS SMA Perjuangan.”

Dan tiba-tiba, benih-benih cinta yang dahulu pernah disemai Mariyam, tiba-tiba bergerak-gerak berubah menjadi kecambah.

***

MARIYAM pergi dari rumah. Entah ke mana dia pergi Ridwan tak tahu. Biasanya, jam setengah lima sore saat Ridwan pulang dari mengajar, Mariyam sudah rapi, wangi, dan menyambutnya dengan secangkir teh. Sudah seminggu tak ada teh, dan sore itu, secangkir teh pun juga raib mengikuti jejak Mariyam.

Baru hendak beranjak ke dapur mencari minum, HP Ridwan berdering. Ridwan urung melangkah ke dapur. Diterimanya panggilan itu dengan wajah datar. Di seberang sana, Hanif, paman Mariyam memanggilnya buat datang ke rumahnya. Ada hal penting yang akan dia sampaikan. Ridwan kembali mengenakan jaket dan menyalakan motornya meluncur ke Kuningan, rumah paman Mariyam.

Di rumah Hanif, Mariyam menyambut Ridwan dengan wajah lebih cerah dari seminggu yang lalu. Ridwan menatapnya seperti saat mereka berjumpa di Pasar Kembang. Perempuan itu masih saja membuat hatinya berdesir.

“Wan, kamu tidak usah resign. Saya yang meloloskan kamu saat dulu kamu melamar menjadi guru pengganti Pak Heri karena diangkat jadi PNS. Sejak semula, saya tahu, kamu punya kemampuan. Sekolah butuh guru-guru seperti kamu. Kalau kamu resign, sekolah akan sangat sulit mencari guru pengganti yang sama kompetensinya seperti kamu.” Hanif membuka pembicaraan setelah mereka makan malam.

Ridwan tak menyahut. Ia tahu, pasti Mariyam sudah banyak cerita pada pamannya soal niatnya resign dari sekolah.

“Iyam bicara apa saja, Om?”

“Iyam cuma bilang kamu mau resign. Itu saja.”

“Tapi, saya sudah tidak betah, Om. Sekolah sudah seperti arena perebutan pengaruh. Setting-settingan siapa panitia, siapa yang ikut, siapa yang tidak boleh ikut, sudah seperti kampanye calon legislatif.”

Ridwan menyampaikan pandangannya sambil menegaskan bahwa niatnya untuk resign sudah bulat. Ia yang masih memegang idealisme bahwa guru sebagai orang yang bertanggung jawab pada karakter anak didik, merasa tidak bisa lagi bekerja dengan tenang. Ia seperti terkucil di antara para penganjur moral yang mengabaikan nilai-nilai pendidikan. 

“Terus, kamu benaran mau jualan cilok?”

“Apa salahnya, Om? yang penting halal. Anak-anak bisa sekolah.”

Mariyam datang menghidangkan teh dan kue kering. Habibah istri Hanif menyusul. Mereka berdua bergabung ikut mengobrol. Namun, Mariyam tak sepatah pun menimpali. Habibah yang bicara menasihati Ridwan agar berpikir sekali lagi sebelum benar-benar memutuskan resign.

“Tante bukan tidak setuju kamu resign, Wan. Sarjana matematika, ya ngurus matematika. Masa ngurus cilok?”

Rupanya Mariyam dan Habibah salah mengerti. Disangkanya, Ridwan benar-benar akan jualan cilok di Pasar Kembang. Padahal itu hanya bentuk kekesalan Ridwan pada manajemen sekolah yang kian hari mengarah pada kecenderungan manajemen like and dislike. Jika manajemen pendidikan dijalankan dengan cara seperti itu, mencari nafkah dengan cara apa pun asalkan halal akan lebih bermartabat daripada berada bersama para penyamun mengajarkan tentang moral kepada peserta didik. Alasan inilah yang tidak diketahui Mariyam. Dan, selamanya Mariyam tidak akan mengerti. Apalagi sejak sebelum mereka menikah, Mariyam sudah menerima syarat Ridwan untuk tetap menjadi ibu rumah tangga buat mengasuh anak-anaknya di rumah. Mariyam merelakan ijazah sarjana IT yang bisa saja menjadi modal baginya menjadi wanita karir hanya menempati file dokumen penting di lemari kaca rumahnya.

Hanif menyambung Habibah. Sebagai anggota dewan pendiri dan dewan pembina yayasan, ia katakan bukan tidak tahu perkembangan terakhir SMA Perjuangan. Ia sendiri sedang mempelajari lebih jauh, mengumpulkan bahan-bahan yang cukup untuk mengambil keputusan yang tepat. Desas-desus miring sudah banyak ia dengar sampai fakta-fakta kualitas pendidikan yang merosot. Guru yang sering izin untuk urusan-urusan yang kurang penting, sakit yang berpola, sering menitip tugas lalu pergi meninggalkan kelas, kata-kata guru yang menyakiti peserta didik, guru menjelek-jelekan guru lain di hadapan peserta didik, anak-anak yang cenderung kehilangan sopan-santun, sampai pada cerita ada guru yang sering dikomplain orang tua karena cara berkomunikasi yang membuat mereka tidak nyaman. Itu semua hanya sebagian kecil dari temuan-temuan, baik dari laporan peserta didik, guru, wali murid, dan komite sekolah yang membuatnya terhenyak. Lebih dari itu, Hanif merasa bersalah, merasa lalai, dan merasa kecolongan, seolah-olah dia dan dewan pembina tidak bisa bekerja dengan baik. 

“Kalau memang kamu benar-benar resign, saya juga akan mengajukan pensiun dari dewan pembina.”

Ridwan, Habibah, dan Mariyam terkejut. Tentu Habibah dan Mariyam yang paling terkejut. Mereka saling berpandangan. Dua perempuan itu semakin tidak mengerti mengapa para lelaki terdekat mereka jadi bertambah buat mengundurkan diri dari sekolah yang sudah bertahun-tahun memberi mereka kehidupan yang layak. 

“Tidak, ibu tidak setuju!” pekik Habibah.

“Tenang dulu. Dengarkan.”

Hanif menghirup tehnya. Ridwan mengambil sepotong kue kering. Habibah dan Mariyam menahan napas, tak sabar ingin tahu alasan Hanif selanjutnya.

Hanif mengaku sudah lelah. Empat puluh tahun ia bekerja membesarkan SMA Perjuangan sudah cukup baginya buat pensiun. Dalam statuta yayasan, setiap dewan pendiri yang mengundurkan diri dari dewan pembina atau mengajukan pensiun dini, ia berhak menunjuk pengganti yang dipandangnya cakap menggantikan posisi dewan pembina. Sementara dewan pendiri tetap dan tidak bisa digantikan siapa pun.

“Wan, Om sudah memutuskan, kamulah yang menempati posisi dewan pembina.”

Kali ini, Ridwan yang paling terkejut. Mariyam melongo, seolah dia tidak percaya atas apa yang didengarnya barusan. Ridwan menjawab tidak. Ia tidak bersedia menerima keputusan Hanif yang tiba-tiba itu. Bukan saja karena Hanif masih punya Rasyid dan Hakam, putra-putranya yang lebih berhak menggantikan posisi ayahnya, melainkan karena dia sudah kehilangan chemistry berada di SMA Perjuangan.

Soal Rasyid dan Hakam, Hanif menegaskan kedua anaknya menolak untuk menjadi dewan pembina menggantikan ayahnya seolah Hanif sudah membaca pikiran Ridwan. Alasannya karena mereka bukan dari keguruan, tidak mengerti alam pendidikan, dan ingin membesarkan perusahaan yang tengah mereka bangun dengan kerajaan bisnis ritel Eropa; Schwarz-Gruppe. Kata mereka, mengurus lembaga pendidikan, sama seperti masuk ke medan perang tapi tidak punya senjata dan keahlian bertempur. Medan tempur mereka adalah bisnis ritel sesuai pendidikan yang mereka sandang.

Hanif sudah mengajukan nama Ridwan pada dewan pembina. Rapat dewan pembina sudah pula menerima tanpa ada catatan keberatan. Dewan pembina justru berharap banyak pada Ridwan untuk mengambil peran besar menyehatkan kembali SMA Perjuangan dengan pendekatan humanis, berpegang pada statuta, dan visi misi sekolah. Ridwan dipandangnya punya kompetensi, kreatif, inovatif, integritas, dan amanah buat menduduki jabatan itu. 

Ridwan membisu. Habibah lega, dan Mariyam semringah.

“Bagaimana, Wan? Masih mau banting stir bisnis cilok?” 

Ridwan membisu. 

Malam itu bulan pucat mengintip dari balik beranda rumah Hanif. Bintang menguping ingin tahu isi pembicaraan itu. Laki-laki itu tak tenang. Pekerjaan rumah berat baru saja dipindahkan Hanif ke atas pundaknya. Semuanya bermula dari chemistry menolong seorang gadis di Pasar Kembang Rawa Belong.[]

----------
Maen Pukulan. Istilah Betawi pencak silat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap