Langsung ke konten utama

RAYYA Bag. 7



Nasihat Dukun

Ayah tetap menyatakan keberatan aku dibawa berobat ke dukun. Kata Ayah, cara-cara pengobatan dukun tidak masuk akal. Suka minta syarat yang macam-macam dan aneh-aneh. Seringkali penjelasan sang dukun malah menambah beban penyakit bertambah berat. 


Sejak rasa sakit tak lagi bisa aku tahan, Umi dan Ayahku mulai gamang. Umi yang awalnya bersikap sangat wajar, tidak mudah terpengaruh dan berpendirian kuat, lama-kelamaan mulai gampang percaya kata orang. Apalagi ada banyak orang dari kerabat dan para tetangga yang berkata begini dan begitu soal keadaanku. 
“Coba bawa ke dukun,” kata salah seorang kerabatku.

“Namanya juga usaha. Yang penting sembuh,” kata kerabatku yang lain.

“Bagaimana, ya?” jawab Umi.

“Daripada Rayya tersiksa terus?”

Umi mulai tergoda. 

Sementara Ayahku tetap pada pendiriannya bahwa aku harus dibawa ke rumah sakit. Diperiksa dokter ahli sekalian. Bukan dokter-dokter praktik biasa yang memberi bermacam-macam obat untukku. Terbukti, obat-obatan yang aku minum hanya sekadar meringankan rasa nyeri saja. Dokter sudah pula berganti-ganti. Namun berulang kali ganti dokter, keadaan tidak membuatku membaik. Nyeri masih datang setiap bulan. Rasa nyerinya bahkan semakin menjadi.

“Kita coba pengobatan lain saja,” kata Umi sambil tangannya mengusap-usap perutku.

“Alternatif maksud, Umi?”

“Alternatif juga boleh. Dukun juga boleh. Yang penting Rayya sembuh.”

“Ke dukun? Astaghfirullah. Ayah tidak setuju.”

“Kata tetangga, dukun seberang kampung kita itu manjur. Tidak ada salahnya kita coba.”

“Tidak! Tidak!”

“Apa Ayah tega membiarkan Rayya begini terus?”

“Ini bukan soal tega atau tidak tega, Umi. Ini soal prinsip.”

Ayah tetap menyatakan keberatan aku dibawa berobat ke dukun. Kata Ayah, cara-cara pengobatan dukun tidak masuk akal. Suka minta syarat yang macam-macam dan aneh-aneh. Seringkali penjelasan sang dukun malah menambah beban penyakit bertambah berat. Belum lagi Ayah takut jatuh pada praktik perdukunan yang mengandung unsur syirik. Sedangkan syirik adalah dosa besar. Di dunia saja, ancaman orang yang mendatangi dukun lalu percaya dengan perkataan dukun tersebut, dianggap sudah kafir. Shalat juga percuma jika masih percaya dukun. Orang yang datang kepada dukun untuk menanyakan segala hajatnya, selama empat puluh hari shalatnya tidak di terima. Bagaimana nanti jika mati dalam keadaan shalat tidak diterima? Berarti mati membawa dosa syirik. Sedangkan dosa syirik itu tidak diampuni di akhirat jika pelakunya tidak bertobat sebelum ia meninggal. 

“Umi ingat Bang Mus?” 

Umi diam saja.

Bang Mus, kakak ipar Ayahku, pernah berobat ke dukun. Kata Ayah, saat diobati dukun, dari perut Bang Mus keluar paku, rambut, silet, jarum, dan kawat yang sudah karatan. Serem. Bang Mus dibilang kena santet. Ujung-ujungnya, si dukun bilang bahwa yang nyantet adalah orang dekat Bang Mus. Masih kerabat sendiri lantaran dendam. Saat dukun itu ditanya siapa kerabat yang dimaksudnya, dukun itu berdalih, bahwa siapa pun pelakunya sudah tidak penting, yang penting santetnya sudah dicabut.

Tentu saja, cara-cara pengobatan semacam ini bukan saja tidak menolong penyakit pasien sembuh, tetapi malah menambah penyakit pasien bertambah berat. Sudahlah fisiknya sakit, hatinya juga dibuat sakit. Bang Mus jadi gelisah, terus memikirkan siapa kerabatnya yang sudah tega menyakitinya sedemikain rupa. Memikirkan juga apa yang sudah dia perbuat pada kerabatnya itu siang dan malam. Bertambah lagi penyakit yang menyerangnya; insomnia. Semakin dipikirkan, semakin jauh jiwa Bang Mus tersiksa, lebih berat siksaannya dari sakit fisiknya. Bagaimana mungkin penyakit akan segera pergi dari tubuhnya jika demikian keadaan yang menimpanya? Yang ada penyakit itu semakin ganas menggerogoti fisik dan jiwanya sekaligus. 

“Akhirnya sesama kerabat saling curiga kan, Mi? Bang Mus juga tidak sembuh-sembuh.”

Umi masih diam saja karena yang diceritakan Ayah, Umi tahu semua. Tentu saja, Umi tidak ingin nasibku sama dengan nasib yang menimpa Bang Mus. Lebih dari itu, Umi tidak siap jika nanti, ternyata di dalam perutku ada benda-benda seperti yang keluar dari perut Bang Mus. Ini lebih masuk akal karena selama ini pusat rasa sakitku adalah perut. Sedangkan keluhan Bang Mus yang bukan di perut saja dari perutnya mengeluarkan paku, apalagi aku?

“Setelah sabar berobat ke dokter, ternyata Bang Mus kena infeksi paru-paru. Sembilan bulan tekun berobat, sembuh,” kata Ayah menyudahi rasa keberatannya. 

Ayah kelihatan lega telah menjelaskan panjang lebar soal Bang Mas dan dukun yang mengobatinya itu. Tetapi tidak dinyana, kalimat terakhir Ayah yang menyinggung kesembuhan Bang Mus setelah dia tekun berobat ke dokter, menjadi kesempatan bagi Umi menumpahkan kekecewaannya.

“Tapi, mengapa Rayya tidak sembuh juga meskipun sudah bolak-balik ke dokter?”

Giliran Ayahku yang diam. Kata-kata Umi seperti mengunci mulut Ayah. Aku kira bukan sekadar mengunci, tapi menohok sampai ke jantung. Ayah seperti disodorkan baris teka-teki dan pertanyaan yang sama tetapi jawabannya berbeda. Aku dan Bang Mus sama-sama sakit. Mengapa Bang Mus sembuh setelah berobat ke dokter sementara aku tidak? Apakah ini isyarat terbalik buat kesembuhanku? Jika Bang Mus tidak sembuh-sembuh berobat ke dukun lalu sembuh berobat ke dokter, mungkin saja aku sebaliknya. Aku baru sembuh setelah berobat ke dukun. Tampaklah raut wajah Ayah yang gelisah. Bisa jadi Ayah mulai berpikir membenarkan Umi. 

“Kita coba saja ya, Ayah. Umi enggak tega lihat Rayya begini terus,” kata Umi. 

Umi mulai terisak. Umi menangis lagi. Kali ini, air mata Umi digunakan untuk membujuk Ayah. 

“Sabar, Mi.”

Ayah menggenggam tangan Umi seakan berusaha menguatkan kesabarannya yang goyah. Aku tahu, Ayah juga sedih, tetapi di depan Umi, ia menunjukkan dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga yang tegar. 

“Kalo bisa dipindahin sakitnya, biar Umi saja yang merasakan. Jangan Rayya.” 

Ayah dan Umi tampak bingung menghadapi keadaanku. Belum juga bulat keputusan mereka jadi atau tidak membawaku ke dukun. Sementara perutku terasa seperti ditusuk-tusuk. Beda rasanya dari keluhan yang sudah-sudah. Rasa nyerinya menggila. Menjalar dari pangkal perut sampai ke ulu hati. Sekujur tubuhku berkeringat karena menahan rasa itu. Aku mengira, rasa-rasanya, inilah nyeri terakhir yang akan mengantarkan hidupku berakhir dengan kematian. Ayah tampak mulai tambah bimbang.

Akhirnya pendirian Ayah goyah. Jeritanku memaksa Ayah menuruti permintaan Umi. Ayahku setuju karena dukun yang diminta Umi dikenal Ayah. Ayah tahu, dukun yang dibilang Umi berbeda dengan dukun yang mengobati Bang Mus, bukan pula dukun seberang kampungku itu. Namanya Mak Pesah. Tinggalnya di ujung selatan kampungku. Orang sekampungku biasa minta tolong Mak Pesah jika mereka sakit. Biasanya Mak Pesah memberi pasiennya air yang sudah diberi bacaan jampi-jampi. Jampi-jampi yang dibaca Mak Pesah hanya Al-Fatihah, ayat kursi, atau muawwidzatain. Tidak ada ritual-ritual aneh layaknya mbah dukun seperti praktik perdukunan yang mengobati Bang Mus. 

Segera aku dibawa berobat pada Mak Pesah. Oleh Mak Pesah perutku diusap-usap dan ditiup-tiup sambil mulutnya komat-kamit melafadzkan jampi. Setelah itu aku diminumkan air jampi. Tak ada paku, jarum, kawat, silet, atau rambut yang keluar dari perutku seperti kelakuan dukun Bang Mus itu. Memang, rasa nyeri di perutku berkurang. Bahkan setelah minum air jampi Mak Pesah, aku bisa tidur pulas. Penderitaanku sedikit berkurang. Tapi sampai kapan aku harus bergantung pada jampi dan air Mak Pesah? Apalagi jampi dan air Mak Pesah itu tak pula bisa pula menghadirkan haidku. 

Lain waktu aku dibawa ke dukun yang lain. Sama saja, ditiup-tiup dan diberi ramuan dari dedaunan. Hasilnya pun tidak seperti harapanku. Saat Umi mengajakku datang lagi meminta tolong Mak Pesah dan dukun itu, aku mulai enggan. Akhirnya aku bolak-balik ke dokter lagi memenuhi saran Mak Pesah. Kata dukun bijak itu, penyakitku mungkin tidak cocok dengan air jampi-jampinya.

“Berobatlah ke dokter. Ini bukan penyakit bagian Emak,” kata Mak Pesah. 

Umi tak bisa berkata apa-apa lagi selain menuruti nasehat Mak Pesah.

Betul juga sih. Biasanya, penyakit yang bisa diperantarai kesembuhannya oleh Mak Pesah hanya seputar bisul atau brasma. Entah, dalam dunia kedokteran brasma itu jenis penyakit apa. Di kampungku, penyakit brasma sangat populer diderita anak-anak. Ciri-cirinya panas tinggi dan timbul bercak-bercak merah di kulit. Biasanya bisul atau brasma akan sirep jika sudah dijampi Mak Pesah dan meminum air jampi pemberiannya. Bisul perlahan pecah lalu kempis, brasma akan sirep dalam beberapa hari.[] 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap