Langsung ke konten utama

RAYYA Bag. 5



Sepotong Masa Kecil yang Indah

Kata Umi, tidak semua anak-anak itu punya tempat tinggal. Kala malam menjelang, ada di antara mereka yang tidur di gerbong kereta tua, di emperan toko, di stasiun, atau di kolong jembatan. Tidur pun asal sekadar terpejam. Tanpa bantal, selimut, apalagi kasur. Cukup hanya beralas koran atau kardus.


Ini segmen kisah masa kecilku yang menyenangkan. Aku menghabiskannya dalam buaian mesra Ayah dan Umi. Paling tidak hingga menginjak sebelas tahun usiaku, kenangan menyenangkan bersama Umi, Ayah, dan Zea, adikku begitu melekat meskipun setelahnya aku terhempas dalam derita panjang menyedihkan.

Ayah dan Umi pandai membuat kejutan. Misalnya, tiba-tiba saja mereka mengajak aku rekreasi. Meskipun hidup sederhana, tetapi Umi dan Ayah tidak sungkan sekadar menyisihkan sedikit rezeki untuk membahagiakan aku dan Zea. Tentu saja, untuk sekali bisa mengajak aku ke tempat rekreasi itu, Umi dan Ayah harus menabung sampai cukup uang.

Di suatu Minggu pagi, hari masih gelap. Kokok ayam jantan bersahutan memecah keheningan subuh. Azan sudah berkumandang memanggil insan beriman. Ayah sudah berangkat setengah jam sebelum subuh seperti kebiasaannya. Sebentar lagi gemericit nyanyian anak burung dari atas dahan-dahan rindang sekeliling rumahku mulai ramai. Umi membangunkanku setelah menyalakan kompor. Aku menggeliat malas.

“Rayya, bangun. Sudah subuh.”

“Masih ngantuk, Miii.”

“Masa kalah sama Zea. Hayo cepet!”

Zea, adik perempuanku menggoyang-goyang kakiku.

“Kaak, Kaak, Kakaak,” ucapnya.

Setengah terjaga, kulihat adik kecilku yang lucu itu terus saja menggoyang-goyang kakiku tanpa henti. Meniru-niru Umi membangunkanku sambil mulutnya menggigit dot botol susu.

“Ayo cepet bangun, Rayya. Nanti kehabisan waktu subuh dan keburu Ayah pulang,” bujuk Umi sekali lagi.

Kembali aku hanya menggeliat mengacuhkan seruan Umi untuk bangun dan segera shalat Subuh. Aku menggerutu, mengapa sih harus shalat pagi-pagi? Apa tidak bisa dipindah waktunya selain di saat sedang asyik tidur?

Aku masih mengantuk. Kutarik selimut lebih tinggi hingga menutup kepalaku. Aku masih ingin memuaskan tidurku mumpung libur sekolah. Tubuhku masih ingin menyatu dengan bantal dan kasur.

Umi terus membangunkanku.

Lamat-lamat, kudengar Ayah mulai mengaji di ruang tengah. Berarti Ayah sudah pulang dari mushala. Suara tilawahnya yang berat tak pernah absen mengisi suasana pagi. Itu kebiasaan Ayah yang tidak pernah ia tinggalkan sepanjang yang aku ingat. Kata Ayah, menjalani hari-hari akan akan terasa ringan apabila mengikuti petunjuk wahyu. Hidup akan melimpah berkah manakala membuka dan menutup hari dengan membaca wahyu tiap bangun menjelang subuh dan hendak berangkat tidur.

Suasana subuh masih pekat. Udara dingin masih menusuk. Dinginnya seperti merobek selimut. Apalagi bersentuhan dengan air untuk berwudhu. Brrrr! Membuat orang enggan bangkit dari ranjangnya yang hangat dan empuk.

Azan subuh sudah berlalu pergi meninggalkan cakrawala. Hanya kokok ayam jantan masih bersahutan membangunkan insan yang masih terlelap menggantikan kumandang azan. Kicau burung-burung liar mulai lebih ramai memecah kesunyian menimpali kokok ayam. Burung-burung itu seolah mendapat waktu setelah sebelumnya mereka membisu karena menghormati panggilan mulia azan subuh.

Beberapa saat kudengar Ayah menyudahi tilawahnya. Menutup dan memberi tanda bacaannya untuk dilanjutkan ba’da maghrib nanti. Mengakhirinya dengan do’a allahumarhamni bil qur’an dengan dilagukan sampai tuntas. Sementara aku masih terpejam. Belum juga beranjak dari tempat tidur sambil memeluk guling. Entahlah, aku tidak mengerti, guling dan kasurku terasa lebih hangat setiap subuh.

Saat pelukanku pada guling bertambah hangat, tahu-tahu Ayah sudah duduk di samping tempat tidurku. Memanggil namaku sambil menggendong Zea. Dengan suara pelan Ayah membangunkanku dari tepi ranjang bukan dengan perintah, tapi dengan berita.

“Habis shalat Subuh, Ayah, Umi, dan adek mau pergi ke Monas. Mau ikut enggak?” bisik Ayah.

Mendengar bisikan itu, aku membuka selimut. Sambil mengucek-ngucek mata aku berujar.

“Bener, Yah?”

Ayahku mengangguk. Kutatap Umi di samping Ayah. Umi hanya tersenyum. Kupandangi mereka berdua. Sejenak aku tertegun seolah belum percaya.

“Rayya, mau ikut enggak? Kalo enggak, ummi tinggal,” tegas Umi.

Segera aku melompat dari tempat tidur. Menyambar handuk dan bergegas hendak ke kamar mandi sambil berteriak, “Mauuuuuuuuuu!”

“Eit, tunggu dulu!” kata Ayah.

Aku berhenti.

“Apa, Yah?”

“Ayo janji. Rayya harus sudah bisa bangun pagi sebelum subuh sendiri. Sudah kelas lima tidak boleh malas lagi.”

Subuh memang waktu shalat yang paling tidak aku sukai. Aku heran, Umi dan Ayah lebih galak untuk urusan shalat Subuh ketimbang shalat yang lain. Saat aku tanya Umi, katanya, ukuran cinta shalat itu ada pada Subuh dan Isya. Dua shalat inilah yang paling berat. Apabila dua waktu shalat ini sudah terbiasa dan terasa ringan, maka shalat yang lain terasa lebih ringan. Nanti, jika shalat sudah dirasakan sebagai kebutuhan, tidak ada shalat yang dipandang berat, kata Umi lagi. Bahkan, tidak ada panggilan yang paling dirindukan seorang muslim selain panggilan azan. Tidak ada berdiri yang paling ditunggu-tunggu selain berdiri dalam barisan shalat. Aku hanya tersenyum malu.

Umi dan Ayah memang tidak ingin membiarkan pendidikan shalatku tercecer. Mereka tidak ingin kewajibannya menanamkan kebiasaan menegakkan shalat padaku terlewatkan. Tiap waktu shalat tiba, Umi selalu berkata bahwa shalat memang berat apabila tidak dibiasakan sejak kecil. Waktu itu aku menurut walau kadang menggerutu. Umi bukan tidak tahu aku menggerutu, namun Umi membalasnya dengan senyum.

“Nanti Rayya akan merasakan manfaatnya. Sekarang belum,” kata Umi menghibur.

“Bukan karena mau jalan-jalan,” tegas Ayahku sambil melirik Umi di sampingnya.

Setelah mengiyakan, aku bergegas mandi, berwudhu dan shalat Subuh. Riang sekali shalatku waktu itu. Sejujurnya bukan karena kenikmatan shalat Subuhnya, tapi karena jalan-jalannya. Apalagi ke Monas. Sudah lama aku ingin ke sana. Aku penasaran, seberapa besar bongkahan emas di puncak Tugu Monas itu. Selama ini, aku hanya melihat tugu itu dari koran dan televisi.

Selain shalat, ada satu hal yang selalu aku ingat, yaitu tentang surat Al-Fatihah. Kata Umi, Ayah telah memperkenalkannya padaku sejak aku baru belajar bicara. Ayah kerap membacakan surat Al-Fatihah untukku meskipun aku belum bisa menirukan bacaan. Saat pagi waktu aku bangun tidur, dibacakan Al-Fatihah daripada dinyanyikan lagu ‘Bangun Tidur Ku Terus Mandi’. Saat aku akan berangkat tidur dibacakan Al-Fatihah daripada dinyanyikan lagu ‘Nina Bobo Oh Nina Bobo’. Saat aku menangis keras, Ayah menghiburku dengan Al-Fatihah daripada supaya berhenti menangis Ayah menakutiku dengan ungkapan ‘ada macan’ atau ‘ada pocong’. Kapan saja saat-saat Ayah menggendongku, Al-Fatihah dibacakan selalu. Saat-saat istimewa itu, jiwaku seperti tengah dibaluri Al-Fatihah, aku benar-benar dibesarkan di bawah naungan Al-Fatihah.

Minggu pagi itu menjadi begitu menyenangkan. Rupanya Umi dan Ayahku diam-diam sudah mempersiapkan semuanya untuk tamasya hari itu. Zea adiku tampak gembira sekali. Kami menikmati perjalanan menumpang KRL commuterline menuju Monas. Ayah sengaja memilih kereta. Umiku sendiri lebih senang naik kereta dari pada bus kota atau angkot. Kata Umi kereta lebih cepat dan ekonomis. Belakangan aku tahu, alasan Umi memilih naik kereta karena Umi menghindari mabuk jika bepergian dengan bus. Aku jadi tahu rahasia Umi yang “pemabuk”.[]

Di gerbong kereta, banyak pengalaman hidup yang aku peroleh. Tentang anak-anak lusuh yang nyaris kehilangan masa depan. Mereka adalah anak-anak yang masa kecilnya sudah dirampas untuk mengamen atau mengemis. Pada saat anak-anak seusia mereka asyik bermain, mereka harus mencari nafkah. Pada saat anak-anak seusia mereka dituntun dan dibuai tangan lembut ayah-ibu, mereka harus menantang bahaya dari keganasan kehidupan jalanan. Pada saat anak-anak seusia mereka menggemblok tas, memainkan pensil warna, duduk mendengar cerita guru-gurunya, mereka sedang mempertahankan hidup di tengah rimba kehidupan kota yang kejam. Kasihan mereka.

Melintas di hadapanku gadis kecil. Umurnya barangkali seusiaku. Rambutnya kusut masai. Wajah dan tubuhnya kotor. Pinggang sebelah kananya menggendong tape recoder kecil pemutar kaset. Tangan kirinya memegang mikrofon. Mulutnya sibuk menyanyikan lagu orang dewasa. Sebelah pinggangnya menggendong bocah laki-laki yang tertidur. Mungkin adiknya. Di belakangnya bocah kecil yang lain membuntuti. Tangannya memegang kantung bekas bungkus permen yang sudah lusuh. Kantung itulah yang digunakannya menadah uang receh sebagai bayaran suara kakaknya. Aku terenyuh.

Ayah memberiku dua lembar uang ribuan. Saat aku tanya untuk apa, Ayah memintaku memberikannya pada gadis itu. Uang itu aku berikan pada bocah laki-laki yang membuntuti si gadis kecil. Kulihat ada senyum di wajahnya. Ia mengangguk berucap terima kasih saat uang itu aku lesakkan ke kantung yang ia sodorkan. Hanya beberapa orang saja yang memberi uang selain aku. Kasihan mereka. Tapi mereka tampak biasa saja.

Saat aku tanya Umi, mengapa mereka harus menjalani hidup seperti itu? Jawab Umi, bisa jadi karena mereka mengalami kesulitan ekonomi. Mereka harus membantu keluarganya mencari uang. Bisa jadi juga karena keluarga bapak dan ibu mereka berantakan lalu mereka memilih menjalani kehidupan di jalan sebagai pelarian.

Kata Umi, tidak semua anak-anak itu punya tempat tinggal. Kala malam menjelang, ada di antara mereka yang tidur di gerbong kereta tua, di emperan toko, di stasiun, atau di kolong jembatan. Tidur pun asal sekadar terpejam. Tanpa bantal, selimut, apalagi kasur. Cukup hanya beralas koran atau kardus.

“Di Jakarta, jumlah mereka banyak,” kata Umi.

“Berapa, Mi?”

“Ribuan.”

“Ha? Ribuan?”

Umi menempelkan telunjuk di antara bibirnya karena suaraku terlalu keras. Aku menutup mulutku. Aku benar-benar kaget mendengar jumlah yang disebutkan Umi. Ya Allah, banyak sekali. Mengenaskan.

Kata Umi, jalanan bukan tempat yang aman bagi anak-anak. Hidup di jalanan penuh risiko tindakan kriminal. Mereka juga bisa diperalat sebagai mesin uang oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Yang paling mengerikan, hidup di jalanan rentan pemerasan, pembunuhan, pelecehan, dan kekerasan seksual, terperangkap penyalahgunaan narkoba, miras, rokok, dan rawan terkena HIV AIDS. Jalanan tak ubahnya seperti hukum rimba bagi anak-anak, tegas Umi.

Kata Umi, secara psikologis, anak jalanan tidak akan dapat berkembang dengan baik. Banyak di antara anak jalanan terperangkap dalam tindak kriminal disebabkan karena kasus-kasus kekerasan yang mereka alami di jalanan. Akibat tindakan kekerasan yang mereka hadapi secara terus-menerus dalam kehidupan mereka, pada akhirnya semua pengalaman itu akan melekat dan membentuk kepribadian mereka. Dan ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan sebab dipengaruhi oleh pengalaman kekerasan masa kecilnya. Ini seperti lingkaran setan yang tidak berujung.

“Serem ya, Mi.”

Umi mengangguk.

“Kasihan mereka,” kataku lagi.

Aku ngeri dengan cerita Umi. Segera saja aku bandingkan diriku dengan gadis itu. Aku tidak perlu bekerja untuk bisa sekolah, sebab aku punya Umi dan Ayah. Aku punya rumah tempat melepas lelah, kantuk, dan berteduh di kala terik atau hujan. Kadang pula Umi ngeloni sambil mendongeng menjelang tidur di atas kasur yang empuk dan selimut yang hangat. Semuanya membentuk kesadaranku bahwa aku sangat beruntung. Ternyata di balik kesederhanaan hidup keluargaku, aku masih jauh lebih beruntung dari anak-anak gerbong itu.

Alhamdulillah, sekali lagi aku benar-benar merasa beruntung. Aku bahagia, bahwa Umi dan Ayahku telah menjalankan peran sebagai orang tua, guru, sekaligus teman bagiku. Maka setiap kali ada kesempatan seperti saat aku di atas kereta itu, mereka memanfaatkannya untuk mengajarkan nilai-nilai hidup yang aku jumpai.

Di Monas, aku merasakan masa kecil yang indah.

Lain waktu aku tamasya ke Ragunan, dan di kali yang lain ke Taman Mini. Semua pengalaman menyenangkan itu memperkaya catatan kebahagiaan hidupku. Suasana itulah yang amat menyenangkan masa kecilku. Saat aku dewasa kelak, aku mengerti, Umi adalah madrasah pertamaku dan Ayah adalah murabbinya. Namun takdir skenario kehidupanku sudah dipersiapkan oleh Allah dengan alur yang tidak selamanya berhias senyum kebahagiaan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap