Langsung ke konten utama

QURBAN BAYRAMI

Kazasker Mustafa Izzet Efendi

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat.

HAGIA Sophia berbeda dengan Hippodrome. Jelas, Hagia Sophia penuh sesak dengan sakralitas, Hippodrome menjulang dengan mitologi Yunani dan Mesir Kuno. Memang Hippodrome tidak lepas dari mitologi para dewa, maskulinisme, dan olah raga, sementara Hagia Sophia adalah altar Tuhan, kebaktian, dan jalan lurus Kristus hingga berpaling kiblat ke Ka’bah.

Ada baiknya saya singgung sedikit lagi narasi tentang Hippodrome dan kaitannya dengan mitologi. Hippodrome bangunan berbentuk ‘huruf U’. Ia adalah gelanggang pacuan kereta kuda yang juga berfungsi sebagai pusat olahraga dan pagelaran seni pada masa kekaisaran Byzantium (330-1453 M). Tingginya sekitar 117 meter dengan panjang 480 meter. Dengan ukuran sedemikian itu, Hippodrome sanggup menampung sekitar 100 ribu orang. Pintu masuknya terletak di lokasi yang kini menjadi area Air Mancur Jerman. 

Bagian pusat Hippodrome dihiasi Obelisk Mesir, Tiang Serpent dan Obelisk Constantine. Obelisk Mesir dibuat oleh seorang Fir’aun yang bernama Thutmosis III pada abad ke-15 SM. Obelisk ini dibangun untuk menghormati Dewa Matahari, Ra (Amon Ra), di kota Teb, di depan Kuil Karnak di Luxor, Mesir. Kemudian pada 390 M, seorang gubernur Alexandria menghadiahkan obelisk itu kepada Kaisar Thedosius untuk menghiasi bagian tengah Hippodrome.

Ketinggian Obelisk Thedosius mencapai 13 meter. Terbuat dari granit merah Aswan, Mesir. Usianya diperkirakan lebih dari 3.500 tahun. Pahatan reliefnya menampilkan berbagai situasi pada masa pemerintahan Theodosius. Awalnya panjang Obelisk ini sekitar 19 meter. Namun, yang tersisa saat ini hanya 13 meter. Kemungkinan bagian bawahnya rusak saat diangkut dari Mesir ke Turki. 

Tiang Serpent, atau dalam bahasa Turki disebut “Burmali Sutun”, didirikan pada tahun 479 SM di depan Kuil Apollo di Yunani. Tiang itu adalah simbol penghormatan orang Yunani terhadap Dewa Apollo, sekaligus untuk merayakan kemenangan Yunani atas Persia. Tiang dari perunggu dan berbentuk ular ini memuat 31 nama kota di Yunani yang terlibat dalam perang antara Yunani dengan Persia. Konon, semula ujung dari tiang ini berbentuk kepala ular dengan tiga buah kepala (ular berkepala tiga) dan di atas kepala ular itu terdapat belanga emas berukuran besar. 

Pada abad ke-4 SM, Kaisar Constantine memindahkan Tiang Serpent ke Konstantinopel untuk menghias Hippodrome. Karena ular dianggap simbol setan dan banyak orang yang tidak menyukainya, maka ujung Tiang Serpent dipotong. Panjangnya jadi berkurang dari 8 meter menjadi hanya tinggal 5,3 meter saja. 

Sejajar dengan Obelisk Mesir dan Tiang Serpent, berdiri obelisk setinggi 32 meter. Obelisk ini dibuat oleh seorang penguasa kekaisaran Byzantium yang dipersembahkan untuk Constantine Prophyrogenitus. Itulah Obelisk Constantine yang dipugar pada abad ke-10 M. Obelisk Constantine dihiasi lempengan perunggu. Di atas lempengan perunggu terukir catatan sejarah mengenai kemenangan-kemenangan yang berhasil diraih Basil I, kakek dari Constantine VII. Bila Anda mengunjungi Hippodrome dan Obelisk Constantine, Anda akan melihat permukaan Obelisk Constantine yang bopeng-bopeng. Bopeng-bopeng itu diakibat kan oleh pasukan Jenissary yang menjadikan obelisk tersebut sebagai tempat latihan memanjat. 

Pada 1204 M, Konstantinopel dijarah pasukan Salib dari Romawi Barat (pada tulisan Kristen Barat dan Kristen Timur sudah saya singgung sedikit tragedi penjarahan tersebut) secara besar-besaran. Lempengan perunggu Obelisk Constantine yang bersejarah itu tak luput dari dijarah pasukan Salib. Hippodrome pun dihancurkan pada penjarahan besar-besaran itu. Sejak itu popularitas Hippodrome merosot tajam. Pada masa Turki Utsmani berkuasa, Hippodrome kembali diaktifkan dan diubah menjadi lapangan berkuda. Di sinilah para serdadu Turki Utsmani melatih kuda-kuda mereka. 

Saya beralih lagi ke Hagia Sophia. Sejarah membidani tiga kali kelahirannya. Pertama, Hagia Sophia lahir sebagai gereja, simbol kasih Kristus pada 537 M. Kedua, Hagia Sophia lahir sebagai masjid, simbol rahmat alam semesta setelah risalah Muhammad menyapa Konstantinopel pada 1453 M. Dan ketiga, Hagia Sophia lahir sebagai museum, simbol wisata sekulerisme Atatürk yang berusaha memisahkan Islam dari hati bangsa Turki pada 1935 M sampai hari ini.

Hagia Sophia menyimpan dokumen surat-surat khilafah Turki Utsmani. Ada lebih dari sekitar 10.000 sampel surat yang ditujukan maupun yang dikeluarkan khalifah. Surat-surat itu adalah dokumen negara terkait jaminan, perlindungan, kemakmuran penduduk, dan surat perlindungan bagi orang asing pembawa suaka kepada khalifah. Dokumen berharga selain surat-surat yang telah disebutkan adalah sertifikat tanah untuk para pengungsi Yahudi pada tahun 1519 M yang lari dari kekejaman inkuisisi penguasa Kristen Spanyol pasca jatuhnya Bani Umayyah di Andalusia. 

Ada juga surat ucapan terima kasih dari pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah Turki Ustmani pasca Revolusi Amerika abad ke-18, surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia pada 7 Agustus 1709, surat yang memberi izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang beremigrasi ke Rusia pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H atau 5 September 1865 dan belakangan mereka kembali ke pangkuan khilafah, dan surat serta dokumen peraturan bebas cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari suaka ke wilayah khilafah pasca Revolusi Bolshevik tanggal 25 Desember 1920 M.

Saya ingin menggarisbawahi bahwa surat atau dokumen-dokumen itu adalah saksi autentik bahwa khilafah Islamiyah Turki Utsmani dan khilafah secara umum menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang keyakinan. Ini adalah fakta yang di tangan para pembenci khilafah diubah menjadi kilatan pedang berdarah, anti demokrasi, dan ancaman bagi kebhinekaan. Literasi wajah khilafah dicoreng-moreng dangan stereotype yang amat buruk.

Saya terpukau dengan kabar soal dokumen-dokumen itu seperti terbius di bawah kubah utama Hagia Sophia yang tingginya sekitar 55,60 meter dari permukaan lantainya. Kubah Hagia yang megah itu dibangun dari perpaduan marmer dan batu bata dari tanah Rhodes yang ringan dan tahan lama. 

Pada Desember 553 dan bulan Agustus 557 M, kubah itu rusak berat diguncang dua kali gempa besar pada tahun tersebut. Pada 7 Mei 558 M, terjadi lagi gempa yang menghancurkan bagian timur kubah. Oleh Isidoros, keponakan Isidoros muda, kubah direnovasi. Isidoros memasang sistem dukungan melalui struktur kawat gigi eksternal, menambahkan empat puluh jendela, menambah panjang kubah sekitar tujuh meter untuk membuatnya lebih kecil dan lebih ringan. Pada 859 M, Hagia Sophia terbakar. Setelah kebakaran besar itu, lagi gempa bumi mengguncang pada 869 M dan kubah Hagia Sophia benar-benar runtuh. Kubah itu baru diperbaiki 20 tahun kemudian pada 989 M. Kemudian pada gempa tahun 1344 M, kubah dan bagian lengkungannya kembali runtuh dan baru diperbaiki pada 1346 M.

Di era Turki Utsmani, renovasi Hagia Sophia terus dilakukan. Dimulai oleh Fetih Sultan Mehmet dan dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya. Perbaikan yang paling penting dilakukan oleh Sultan Abdul Majid (1839-1861 M). Waktu itu, renovasi ditangani oleh Swiss Fossati bersaudara. Perbaikan penting dilakukan dengan mengisi retakan besar di kubah. Rim kubah dipasangi lingkaran baja sebagai pengaman. 

Cukup dulu soal renovasi-renovasi itu sebab saya komat-kamit sambil kepala terus mendongak. Saya tertatih-tatih mengeja karya besar kaligrafer, komposer, penyair, dan negarawan kenamaan Turki abad 19; Kazasker Mustafa Izzet Efendi. Kazasker mendapat porsi pada renovasi saat itu yang belum saya pecahkan bunyi goresan kaligrafi buah tangannya di kubah Hagia Sophia yang menjadi lebih anggun karenanya. 

Bisa jadi, inilah yang paling berkesan dari semua kesan saat saya berada di bawah kubah Hagia Sophia sambil mendongak. Maka otak dan hati saya bekerja lebih keras. Saya tidak ingin pulang sebelum berhasil membaca bunyi kaligrafi itu meskipun jam museum harus tutup. Dan rangkaian huruf-huruf indah yang rumit itu akhirnya terurai. Basmalah, lalu diikuti dengan:
Allaahu nuurus samaawaati wal ardhi, matsalu nuurihii kamisykaatin fiihaa misbaah, al misbaahu fii zujaajah, azzujaajatu kaannahaa kawkabun dzurriyyun yuuqodu min syajaratin mubaarokatin zaytuunatin laa syarqiyyatin wa laa gharbiyyatin.
Ah, rupanya goresan kaligrafer ternama Turki itu adalah potongan QS. An-Nuur ayat 35. Betapa indah kaligrafi itu, betapa indah makna terjemahnya. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat.” 

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Meruyung, 4 Januari 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap