Langsung ke konten utama

RAYYA Bag. 8



Tumor

Kulihat Umi langsung terisak. Ayahku mengucap istighfar berkali-kali. Aku sendiri belum mengerti mengapa Umi tiba-tiba menangis mendengar ucapan dokter Wawan. Mengapa pula Ayah beristighfar. Apa itu rahim aku juga tidak mengerti. 

Pada hari-hari biasa saat tidak merasakan nyeri, aku adalah Rayya yang periang juga supel. Aku banyak punya teman di sekolah. Di kelasku, aku berteman dengan semuanya, tetapi lebih akrab dengan Haura, Pipit, dan Kokom. Kami tinggal sekampung. Hampir setiap waktu berkumpul aku bersama mereka. Sekolah, bermain, belajar, ngaji, kadang pula saling menginap di rumah kami bergantian.


Di antara kami berempat, Haura paling suka bicara soal cowok. Jika kami sedang bermain, Haura suka membanding-banding teman laki-laki di kelas siapa di antara mereka yang paling ganteng. Lain dengan Pipit yang agak pemalu dan sangat perasa. Jika ada kegiatan lomba, seni, atau olah raga di sekolah, Pipit tidak pernah mau terlibat kecuali setelah dipaksa. Jika dinasihati guru karena kelalaiannya, Pipit suka menangis karena takut jika orang tuanya diberi tahu. Kokom agak tomboy. Suka nantang-nantang jika dia diganggu meskipun yang mengganggu itu anak laki-laki. Banyak teman laki-laki di kelasku tidak berani menghadapi Kokom.

Satu kali kelasku heboh. Berturut-turut dalam seminggu, Rani dan Masitoh bergantian datang bulan. Aku ingat sekali hari itu hari Senin dan Rabu. Dua hari itu seragam sekolah putih-putih dan putih batik. Bisa dibayangkan, noda darah haid mengotori rok putih mereka dan mengundang perhatian kami sekelas. Bukan hanya teman-temanku yang perempuan yang heboh, temanku yang kaki-laki juga tak kalah heboh. Galang yang paling keras suaranya saat tahu Rani haid.

“Hei teman-temaaan, Rani dapet mens!” teriaknya.

Teriakan Galang menambah heboh. Jaka, Gugun, Rio dan yang lain langsung menyambut teriakan Galang.

“Waah, Rani bocoooor.”

“Bocooor bocoorrr!”

“Waah Rani udah baleeg!”

Bergantian kawan-kawanku menimpali seruan Jaka, Gugun, dan Rio seru sekali. Apalagi Pipit, Haura, dan Kokom. Kelas menjadi sibuk. Kecuali aku yang hanya tertunduk saja. Suasana itu terulang lagi saat giliran Masitoh yang dapat haid di hari Rabu selang sehari kemudian. 

Karena peristiwa itu, aku semakin merasa terbelakang di hadapan Pipit, Haura, dan Kokom. Aku bertambah minder saat mereka membicarakan merk pembalut baru yang katanya sangat lentur yang disarankan mereka untuk Rani dan Masitoh. Sudah bisa ditebak, ujung dari pembicaran soal pembalut ini mereka kembali menanyaiku sudah haid apa belum. Waktu itu aku sudah kelas enam mau masuk SMP.

“Kamu belom haid juga?” tanya Haura padaku. “Paling bulan depan enggak dapet lagi,” pungkas Haura yang membuatku semakin gundah.

“Berarti tinggal Rayya yang belom haid di kelas kita. Rani dan Masitoh sudah menyusul,” tegas Kokom.

“Ke spesialis aja, Ya. Siapa tahu bisa haid,” sela Pipit.

“Betul tuh. Siapa tau juga ada tumor,” seru Haura.

“Ra? Ngomong apa sih kamu!” tegur Pipit.

“Ya siapa tahu, Pit. Di majalah kan, katanya gitu.”

“Tapi kasian Rayya!”

Aku hanya diam. Mengeluh panjang dalam hati kapan haidku datang. Kali ini aku tambah risau. Benarkah aku mengidap tumor? Sejujurnya aku belum mengerti tumor itu apa. Tapi dari pembicaraan Haura, aku bisa mengira-ngira tumor itu penyakit berbahaya. Saat Haura menunjukkan soal tumor itu dari majalah, rasa risauku berubah jadi rasa takut. Ketika soal tumor itu aku sampaikan kepada Umi, Umi menangis. Umi jadi sedih dan murung. Aku jadi bertambah takut dan yakin tumor itu memang berbahaya. Mungkin juga aku akan mati dengan tumor itu.

Karena masalah ini, aku jadi malas bertemu Haura. Lama kelamaan malas bertemu teman-temanku yang lain, sebab tiap kali bertemu mereka aku selalu dibayang-bayangi pertanyaan soal haid dan tumor. Aku tidak lagi merasa nyaman bersama mereka. Jika berdekatan dengan mereka, aku keringatan. Telapak tanganku jadi terasa dingin dan basah. Sejak itu kebersamaanku dengan Haura, Pipit, dan Kokom pun mulai berkurang. Aku mulai menarik diri. Aku berubah menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri. Aku tidak tahu, mungkin karena sikapku ini, Haura, Pipit dan Kokom juga akhirnya menjauhiku. Aku tak lagi bermain bersama mereka. Aku merasa hanya Umi, Ayah, dan adikku Zea serta keluarga besarku saja yang membuatku nyaman berkumpul.

Menjelang akhir kelas enam, penderitaanku makin menjadi-jadi. Rasanya nyeri yang aku derita sudah tidak lagi bisa aku tahan. Konsentrasi belajarku berantakan. Sementara ujian akhir sebentar lagi tiba. Umi dan Ayahku pasrah jika akhirnya aku tidak lulus ujian. Mereka lebih mengkhawatirkan kesehatanku saja.[]


Satu kali, seharian rasa nyeri menyerangku berkali-kali. Aku menangis sejadi-jadinya. Keringat dingin membasahi wajahku. Tanpa pikir-pikir lagi, Ayah dan Umi membawaku ke dokter yang biasa aku kunjungi sebelum-sebelumnya. Namanya dokter Wawan. Dokter Wawan juga penasaran, apa sesungguhnya penyebab nyeri yang aku derita. Oleh dokter Wawan aku disarankan melakukan USG atau Ultrasonografi, sebuah teknik diagnostik pencitraan menggunakan suara ultra yang digunakan untuk mencitrakan organ internal dan otot, ukuran, struktur, dan luka patologi. Ayah dan Umi menuruti saja anjuran itu. Hasil USG kemudian ditunjukkan kembali pada dokter Wawan.

“Bagaimana hasilnya, Dokter?” tanya Ayahku pada dokter Wawan.

Dokter Wawan belum menjawab. Ia masih memandangi hasil USG-ku di tangannya. Dari raut wajah, dokter Wawan tampak sangat serius. Beberapa saat kemudian dokter Wawan menjelaskan hasil USG itu panjang lebar. Mulanya Ayah dan Umi biasa saja. Tetapi saat dokter Wawan mengatakan bahwa rahimku harus diangkat, Umi dan Ayah terkejut.

Kulihat Umi langsung terisak. Ayahku mengucap istighfar berkali-kali. Aku sendiri belum mengerti mengapa Umi tiba-tiba menangis mendengar ucapan dokter Wawan. Mengapa pula Ayah beristighfar. Apa itu rahim aku juga tidak mengerti. Rahimku harus diangkat, aku tambah tidak mengerti.

“Apa memang harus diangkat dokter?” tanya Ayah waktu itu.

“Saya sarankan konsultasikan dulu pada dokter anak dan dokter ahli kandungan.”

Ayah membisu. Umi belum juga berhenti terisak. 

Sepanjang pulang dari dokter Wawan aku merajuk Umi. Umi hanya menimpali sekadarnya. Mungkin karena aku dianggap belum mengerti apa-apa waktu itu.

“Umi,” kataku.

“Ya.”

“Rayya tidak apa-apa rahimnya diangkat,” kataku lagi.

Umi menatapku, menggeleng sambil mengusap kepalaku. Dipaksakannya tersenyum. Entah, apakah senyum itu untuk menghibur aku, atau justeru untuk menghibur Umi sendiri.

“Yang penting,” kataku lagi. 

“Kamu belum mengerti Rayya,” kata Umi menyela.

“Aku sakit karena rahimku kan, Mi?”

Umi diam. Ayahku yang sejak semula memang diam saja sepanjang kami pulang, memintaku tidak bicara lagi. Aku menuruti kata Ayah. Namun sesampainya di rumah, aku temui Umi di kamarnya.

“Umi, Rayya enggak apa-apa rahimnya diangkat. Yang penting Rayya enggak sakit lagi. Terus, Rayya bisa haid.”

Umi memelukku sambil menangis. Tangisnya lebih lepas dari sebelumnya.[]


Kurang dari tiga jam sepulang dari dokter Wawan, rasa nyeri menyerangku lagi. Rasanya lebih hebat dari sebelumnya. Aku segera dibawa ke rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Karena hari itu hari Sabtu, rumah sakit sedang tidak ada pelayanan dokter spesialis. Aku kemudian dirujuk ke rumah sakit cukup terkenal di Depok. 

Rasa nyeriku makin hebat. Saat kemacetan di beberapa ruas jalan tak terhindarkan, aku semakin tersiksa karena rasanya mobil yang aku tumpangi seperti tidak sampai-sampai di rumah sakit. Ayah menggerutu, kalau tahu di hari Sabtu rumah sakit itu tak ada dokter spesialis, mengapa tidak langsung ke rumah sakit yang di Depok saja?[] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap