Langsung ke konten utama

'MEMANUSIAKAN' MANUSIA

Falsafah Hidup
You are no more or less a child of God like everyone else
Setiap peradaban memiliki karakter dengan akar tradisi atau falsafah hidup yang unik. Manusia yang hidup di dalamnya, memegang teguh dan menjunjung tinggi falsafah itu. Dari sinilah sebuah ‘warna’ suatu bangsa dikenali peradabannya dari waktu ke waktu.

Peradaban mencakup semua bidang hajat hidup manusianya. Makanannya, pakaiannya, arsitektur bangunannnya, bahkan gestur, cara bicara dan bersikap, pendidikan, sampai soal benar-salah amat bergantung dari akar tradisi atau falsafah yang pada akhirnya membentuk karakter suatu peradaban manusia. Maka, ‘memanusiakan’ manusia sebagai proses peradaban suatu bangsa tidak akan pernah bisa keluar dari bingkai falsafah hidup mereka yang unik itu.

Pendidikan merupakan bagian paling penting dari peradaban. Dari sinilah proses ‘memanusiakan’ manusia itu berjalan, diturunkan dari generasi ke generasi. Transformasi budaya dipelihara sepanjang proses pendidikan berlangsung guna melahirkan manusia-manusia baru dengan tujuan agar peradaban mereka dengan nilai falsafahnya tetap terjaga. Maka, tolok ukur keberhasilan proses pendidikan suatu bangsa bisa dinilai manakala manusia hasil didikan menjaga budaya berdasar nilai-nilai falsafah hidup mereka untuk selanjutnya dikembangkan pada capaian melampaui zaman. Tetapi, sejauh zaman dilampaui, falsafah hidup tetap tidak berubah, kecuali peradaban itu putar haluan dengan membuang falsafah hidup mereka dan menggantinya dengan falsafah hidup yang baru.

Saya ambil contoh ekstrem. Ada dua manusia; manusia produk budaya dan peradaban Barat Kristen, satunya lagi manusia produk budaya peradaban Islam. Kedua-duanya sama-sama melewati proses pendidikan budaya masing-masing. Maka, isi kepala dan hati dua manusia itu, pola pikir dan pola rasanya akan sebangun dengan karakter budaya sesuai falsafah dan peradaban mereka masing-masing. Orang Barat Kristen akan memegang teguh polah hidup sesuai falsafah ‘ilmu dan kebebasan’ ala Barat. Sedangkan pola hidup kepribadian yang dibangun berdasar peradaban Islam mencerminkan falsafah ‘ilmu dan adab’ sebagai inti dari peradaban Islam.

Ilmu dan Adab VS Ilmu dan Kebebasan

Muara dari pendidikan Islam adalah ilmu dan adab. Dia menyatu laksana dua sisi mata uang. Memisahkan keduanya bukan saja menimbulkan kesenjangan, tetapi akan menghilangkan identitas. Maka ‘memanusiakan’ manusia dalam pandangan pendidikan Islam adalah menyandingkan ilmu dan adab. Manusia baru dikatakan ‘manusia’ apabila ilmu dan adab sama-sama hadir dalam kepribadian seseorang. Bahkan jika mau ditimbang, seperti ungkapan Ibn al-Mubarak yang dikutip Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, “Nahnu iaa qalilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsirin mina ’ilmi.” (Kami lebih membutuhkan adab, meskipun sedikit, daripada banyaknya ilmu pengetahuan).

Maka tidak mengherankan, dalam Islam, orang berilmu saja tanpa adab, tidak bisa dijadikan panutan. Nah, di sini, posisi seorang guru dalam pandangan Islam sebenarnya amat berat, sungguh-sungguh amat berat. Tak pandang dia guru yang mengajar Al-Qur’an, hadits, fikih, atau akidah saja, melainkan pada semua bidang pengajaran seperti bahasa, sains, sejarah, seni dan olahraga, bahkan keterampilan. Sekadar ilustrasi misalnya, guru agama yang curang, atau guru sains yang penipu, sama-sama tidak bisa diterima dalam kerangka pendidikan. Apatah lagi pada soal-soal yang lebih berat dari sekadar curang atau menipu seperti pemabuk, pezina, LGBT, atau yang lebih berat dari itu semua. Bukan karena ilmunya tidak mumpuni, melainkan karena persoalan adab tadi. 

Tetapi, hampir dikatakan pandangan di atas tidak berlaku dalam tradisi ‘ilmu dan kebebasan’ Barat. Manusia tetaplah manusia bila dia berilmu meskipun minus adab. Bisa jadi, bahkan menjadi rujukan keilmuan. Mengapa begitu? Kata kuncinya adalah kebebasan tadi. Bagi falsafah Islam, adab adalah nilai lekat yang menyatu pada keyakinan di mana kebebasan dibatasi pada nilai baik dan buruk. Sedangkan di Barat, urusan moral dikerangkeng dalam sangkar ranah privacy dan bersifat opsional. Bukan perkara aneh apabila guru di Barat suka mabuk atau hidup serumah dengan pasangan tanpa nikah, bahkan dengan pasangan homonya atau lesbiannya atas dasar suka sama suka. Itu pilihan mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan moralitas, ilmu, soal baik dan buruk, apalagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas bagi penganut kebebasan di Barat.

Kebejatan moral ilmuan besar yang menjadi rujukan tidak pernah dipersoalkan bagi peradaban Barat. Ilmuan seperti Ruosseau, si “manusia gila yang menarik” saat berumur 15 tahun misalnya untuk menjadi laki-laki peliharaan Madam Francoise-Louise de Warens berganti agama menjadi Katolik. Atau Ernest Hemingway, ilmuwan jenius hanya sembahyang dua kali yakni saat perkawinan dan pembaptisan anaknya, seperti penuturan istri pertamanya, Hadley. Untuk menyenangkan istri keduanya, Pauline, Hemingway menukar agama menjadi Katolik Roma. Lebih jauh lagi, kata Paul Johnson yang dikutip Adian Husaini, Hemingway bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap “organized religion” sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. 

Seorang pemuka agama yang homo pun bukan masalah di Barat. Pada November 2003, Gereja Anglikan di New Hampshire mengangkat Gene Robinson menjadi Uskup. Robinson hidup dengan pasangan homonya, Mark Andrew selama 14 tahun. Jadi bisa dibayangkan, selama menjadi pelayan Tuhan di gereja sebelum jadi Uskup, publik sudah tahu perilaku homoseks Robinson. Dan, Mark Andrew lah yang menyerahkan bishop’s miter (topi keuskupan) saat penobatannya, lalu ia menatap publik dan sama-sama mengucapkan “Hallelujah”. Dari ratusan pastor yang hadir, hanya tiga orang yang maju ke depan dan menentang penobatan Robinson. Seorang dari mereka menyatakan bahwa pelantikan Robinson sebagai “terrible mistake”. Sedangkan pendahulu Robinson, mantan Uskup New Hampshire, Reverend Douglas, memberikan dukungan dengan menyatakan, “You are no more or less a child of God like everyone else.”

Pertukaran Budaya

Sebagai bagian dari semangat persaudaraan kemanusiaan, pertukaran budaya sudah sering dilakukan melalui program pertukaran pelajar atau mahasiswa melalui jalur resmi antar negara. Sudah pula dilakukan secara mandiri melalui program studi ke luar negeri. Selain murni urusan studi, tidak jarang pertukaran itu bertujuan untuk saling memahami budaya masing-masing, menyerap mengambil sisi positif atau bahkan membuangnya, bahkan bermaksud untuk melakukan eksperimentasi penerapan budaya itu di tanah air masing-masing. Persisi seperti apa yang dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, “Tidak ada satu ilmu pun yang diserap oleh sebuah peradaban tanpa ada pembuangan. Ini diibaratkan seperti tubuh, jika kita hanya makan dan tubuh kita tidak mengeluarkan sesuatu (buang air) maka kita akan mati dalam beberapa hari. Makanan yang dimakan oleh tubuh, sebagian akan diserap dan sebagian akan dibuang.”

Orang Barat sangat mungkin berubah menjadi ‘Orang Timur’ Islam, sebaliknya sangat mungkin Orang Timur Islam menjadi ‘terbaratkan’ setelah menyelami peradaban dan budaya Barat Kristen selama beberapa waktu lamanya. Keduanya bisa saja membuang apa yang sudah diserapnya dari pergulatan budaya masing-masing itu. Ini yang saya maksud dengan putar haluan dengan membuang falsafah hidup mereka dan menggantinya dengan falsafah hidup yang baru. Bisa saja orang Barat dengan segala kebebasannya mulai menjauhi alkohol, meninggalkan free sex, mengubah pola makan dan pakaian sesuai standar etika makanan dan berpakaian sebagaimana persis orang Islam. Sebaliknya, sangat mungkin Orang Islam berperilaku sebagaimana perilaku kebebasan masyarakat Barat dengan membuang nilai-nilai miliknya sendiri karena alasan ketertarikan.

Tetapi, mesti ada titik pertemuan antara peradaban Barat Kristen dan Islam dalam masalah-masalah yang bersifat universal seperti pelestarian alam, kepedulian lingkungan, masalah kesehatan, dan pada batas-batas tertentu pada masalah-masalah pendidikan. Bisa jadi dalam metodologi belajar, pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, critical thinking, pengembangan riset, dapat saja pendidikan Islam mengadopsi dari Barat dengan tetap menjadikan adab sebagai karakter inti pendidikan.

Pendidikan Karakter

Pendidikan Islam berbasis adab tidak mengenal ambiguitas atau ketidakjelasan nilai. Yang diyakini, yang dikatakan, dan yang dilakukan adalah satu nilai karakter yang saling berkaitan. Maka menggali nilai-nilai karakter pendidikan sebagaimana adab mengajarkan, seharusnya menjadi prioritas para pendidik di setiap jenjang pendidikan. Nilai-nilai adab tidak akan pernah habis memberikan inspirasi bagi para pendidik meskipun ia tidak beranjak dari tanah peradaban miliknya barang sata meter saja.

Bukan bermaksud anti pendidikan karakter yang dikembangkan di Barat, tetapi kita tentu boleh bertanya pada rekam jejak pencetus pendidikan karakter, Lawrence Kohlberg itu. Kohlberg seorang profesor dalam bidang psikologi sosial di Universitas Chicago. Ia juga terkenal sebagai pakar pendidikan di zamannya. Tetapi, pencetus pendidikan karakter yang terkenal itu diduga mati bunuh diri. Penyebab ia bunuh diri ditengarai karena putus asa sebab penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh. 

Lawrence Kohlberg lahir di Bronxville, New York, pada 1927. Kohlberg terlahir sebagai seorang Yahudi fanatik. Ia aktif dalam berbagai usaha memobilisir eksodus warga Yahudi ke Palestina. Di usia yang sangat muda komitmennya pada Zionisme luar bisa. Kecintaannya akan berdirinya Negara Israel raya dibuktikannya dengan turut mengangkat senjata. 

Pada Mei 1973, Kohlberg harus menerima suatu kondisi, dimana rasa sakit, ketidakberdayaan, hingga pada tahap depresi melanda kehidupannya selama 16 tahun karena serangan virus. Perawatan intensif Rumah Sakit rupanya tidak membawa Kohlberg pada kesembuhan. Kondisi yang tak jua kunjung membaik, membuat kondisi kesehatan Kohlberg menurun, baik secara fisik maupun mental. Inisiator pendidikan karakter ini pun diliputi rasa putus asa, lalu mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan dirinya di tepi pantai dekat Samudera Atlantik.

Sampai saat ini, kematian Kohlberg dirayakan oleh beberapa kalangan di Amerika. Mereka menilai, dengan bunuh diri, Kohlberg telah mengambil pilihan hidup yang tepat bagi dirinya. Begitulah nilai karakter dengan falsafah kebebasan di mana orang bebas mengambil jalan hidup dan jalan mati yang ia pilih. []

Selasa, 21 Januari 2020
Perpustakaan Madrasah Pembangunan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap