Langsung ke konten utama

RAMBUT NTIN

Dulu ia langsing. Tinggi proporsional. Rambutnya indah. Panjangnya hampir menjuntai melewati panggul, hitam legam berkilau. Gadis Sunsilk saja belum tentu berani bila diadu soal kemilau rambut dengannya.

Tapi itu dulu, dulu sebelum ia dipaksa menikah oleh bapaknya selepas lulus SMA.

"Jangan paksa Ntin, Be."

"Ape lagi yang lo pikir, Tin? Hamdan laki-laki kaya."

"Jangan jual Ntin, Be! Ntin bukan boneka monekin!"

Brak!

Haji Salihun naik pitam. Jawara Betawi dari Ciputat itu berdiri sambil menggebrak meja mendengar jawaban anak perawan satu-satunya.

"Kurang ajar lo, ye!"

Ntin mengkeret. Ntin tak berdaya. Buyar sudah bayangan popularitas yang tinggal sekelok saja dia raih. Berlian yang seakan sudah di genggamannya harus dia lepaskan, sedangkan kilaunya tak pernah pergi dari pandangannya. 

Ntin frustrasi. Ia dendam pada takdirnya yang dilukis bapaknya sendiri. Ntin dendam dengan fisiknya yang fashionable.

[] 

Ntin berbinar. Dua jam lagi kontrak model iklan produk shampoo dia tandatangani. Itu artinya popularitas, tawaran main film, model, dan kesempatan karir di dunia hiburan akan terbuka. Tentu, uang akan mengalir deras ke rekening dari tiap lembar kertas kontrak yang dia tanda tangani di atas materai. Dia bisa jalan-jalan ke luar negeri, shopping, punya rumah dan kendaraan mentereng.

Angan-angan Ntin sudah sampai ke Paris, kota mode. Tubuhnya yang elok berpose dengan latar belakang menara Eiffel. Tangannya sudah menjinjing Versace.

"Ntin! Ntin! Ntin!"

Ntin tak menyahut. Dia masih ada di Paris.

"Ntin! Hei! Kertas kontrakmu menunggu. Bengong!"

Ntin gelagapan. Di ruang tunggu, wajah Ntin memerah saat tahu dia masih melamunkan Paris. Panggilan Rosalina, agen yang akan mengorbitkan kariernya tak didengar oleh hiruk pikuk kota mode.

"Eh, iya. Maaf."

Entin bergegas. Diikuti Rosalina, Ntin menuju ruang meeting. Di sana sudah menunggu PR agen yang akan mengorbitkan Ntin jadi model.

Ntin setengah gugup. Dan Ntin benar-benar gugup saat mendengar nilai kontrak yang akan diterimanya sebagai model iklan shampoo paling mutakhir di abad 21.

"Sebelum kontrak ditandatangani, gunakan nama selebritas. Namamu tidak menjual. Ntin terlalu kampungan untuk seorang model," ucap Rosalina memulai akad kontrak. 

"Bagaimana, Tin?" Timpal Nancy, atasan Rosalina.

"Ntin cuma nama panggilan. Di akte, nama saya tertulis Siti Fitriyah Prihatin."

"Haa, itu malah lebih kampungan."

Nancy menyeringai sambil menjelaskan bahwa Ntin sangat potensial untuk seorang model. Ntin punya segalanya. Wajah, postur tubuh, dan tentu, rambutnya yang indah yang paling berharga. Harganya bisa satu milyar untuk satu kali teken kontrak. Nancy benar-benar menyadari bahwa Ntin akan menjadi mesin uang menggantikan model-modelnya yang sudah mulai kurang laku. Nancy ingin Ntin sempurna dengan nama baru, nama yang lebih menjual mengimbangi sosoknya yang fashionable.

"Valentina, nama catwalk yang pas untukmu."

"Tapi, orang tua saya belum tentu setuju."

"Hei, kamu sudah dewasa. Kamu berhak untuk mengatur dirimu sendiri. Ntin, jika kontrak pertamamu sukses, nilai kontrak berikutnya yang kamu terima akan berlipat-lipat. Kamu bisa bebas kemanapun yang kamu suka dengan tabunganmu yang tak akan pernah kering. Paris, Roma, London, Hawaii, atau Alaska? Saya cuma ingin karir kamu mulus."

Ntin bergeming. Dia belum bisa menyetujui permintaan mengubah namanya. Ntin paham betul, bila itu dia lakukan, artinya ia menantang berhadapan dengan Babenya. Haji Salihun pasti marah sebagaimana jawara Betawi itu menggaplok anak perjaka iseng yang memanggil anak perawannya 'Rintintin' sekadar bermaksud menggoda buat menarik perhatian Ntin.

Rosalina gelisah. Nancy tampak marah dari raut wajahnya yang keruh. Sebenarnya, dua orang agen itulah yang sudah tak sabar mengambil nilai kontrak Ntin dengan perusahaan kosmetik yang sudah jatuh hati melihat penampilan Ntin saat audisi. Nantinya, mereka lah sebenarnya yang menikmati lebih banyak dari kontrak Ntin yang lugu, seperti model-model mereka sebelumnya. Wajah keruh Nancy menunjukkan dia tidak ingin kehilangan banyak uang hanya karena Ntin tidak mau menggunakan nama Valentina.

Demi uang, Rosalina dan Nancy mengalah selangkah, lalu akan menjerat Ntin selamanya. Ntin diberikan kesempatan untuk bicara soal nama Valentina itu pada orang tuanya. Namun setelah itu, Ntin tak pernah datang lagi. Kertas kontraknya tidak pernah dia tandatangani. 

Rosalina dan Nancy meradang. Dikejarnya Ntin sampai ke rumahnya membujuk Ntin menandatangani kontrak meskipun tidak dengan nama Valentina. Tetapi di rumah Ntin, dua perempuan agen model itu menggigil saat Haji Salihun meletakkan goloknya yang setengah terhunus di atas meja. Tanpa permisi lagi, mereka pergi dari rumah Ntin dengan wajah pucat pasi. 

"Lo, kenal di mane perempuan-perempuan ntu, Ntin?"

Ntin mimbisu. Tamat sudah cita-citanya.

[]

Hamdan anak Betawi asli. Bapaknya punya ternak sapi susu di kawasan Jatinegara. Namanya Haji Jali, kawan karib Haji Salihun. Di sekitaran Jatinegara, Condet, Cawang, dan Manggarai, Haji Jali terkenal dengan sebutan juragan susu, pemasok susu segar untuk restoran, hotel, supermarket, dan warga sekitar kawasan itu. Hamdan anak tunggalnya. Laki-laki inilah yang menikahi Ntin karena dijodohkan orang-orang tua mereka. Alasannya untuk mengikat persahabatan lebih erat dengan tali perbesanan.

Ntin tak menaruh cinta sedikitpun pada Hamdan. Sebaliknya, Hamdan merasa beruntung mendapatkan Ntin dan berusaha agar perempuan fashionable itu bisa menerimanya meski hanya separuh jiwanya saja. Karena Hamdan tak mengira, kecantikan perempuan pilihan orang tuanya itu melebihi bayangan dari kecantikan rata-rata gadis Ciputat.

Ntin menerima perjodohan itu buat sekadar menyenangkan Babenya. Selebihnya, perjodohan itu dianggapnya hanya sandiwara. Hamdan tak pernah dianggapnya sebagai suami, dan Ntin tak pernah berlaku laiknya seorang istri pada Hamdan dari pagi sampai ketemu pagi kecuali sekadar menyiapkan baju, sarapan, makan malam, dan mengantarnya sampai ke beranda rumah saat Hamdan berangkat ngantor.

Hamdan begitu sabar menerima dan menyadari sikap Ntin itu. Meski sudah berjalan enam bulan mereka dinikahkan, tidak ada surga bulan madu dan ranjang perkawinan yang menggelora. Ntin sedingin salju, dan Hamdan teguh bagai batu karang menerima sikap Ntin. Hamdan percaya, ketulusan akan memenangkan pertarungan, seperti air dapat menembus batu cadas yang keras.

"Fitri enggak kepengen bulan madu ke Eropa? " ucap Hamdan seminggu setelah mereka menikah. 

Fitri, ya, Hamdan memang tidak memanggil istrinya Ntin, ia kerap memanggilnya Fitri atau Fitriyah. Nama Fitri atau Fitriyah lebih dia sukai, lebih alami meski berbau Arab daripada Ntin yang terdengar kekanak-kanakan di telinga orang dewasa.

"Kagak usah. Buat apa, sih. Cuma buang-buang duit," ucap Ntin datar sambil menyiapkan kemeja Hamdan.

Ntin berubah. Kepada Babenya, Ntin jadi pendiam, seperti orang tidak punya mulut. Jika ditanya, dia menyahut, jika tidak, tak sepatahpun dia mulai bicara. 

Fisik Ntin juga berubah. Ini benar-benar disengaja. Tubuh Ntin tak lagi langsing. Makannya tak lagi diatur seperti dahulu saat ingin menjadi model. Pelan-pelan tubuh Ntin melar.

Bukan cuma itu, Ntin sama sekali tak peduli pada penampilannya yang dahulu modis. Sehari-harinya Ntin mengenakan daster kusam. Kerap, Ntin membiarkan dirinya bau terasi sisa memasak, tak mengganti daster yang lepek sehabis mencuci, atau membiarkan saja kukunya hitam-hitam sisa menyiangi sayuran. Satu waktu, Ntin malah sengaja tak mandi seharian hanya untuk mempertahankan bau keringat yang menempel di tubuhnya saat Hamdan baru pulang kerja. Semuanya dilakukan Ntin dengan dua alasan, sebagai balas dendam atas kandasnya kesempatan menjadi model, dan membuat Hamdan menyerah lalu menceraikannya.

Puncak balas dendam Ntin dilakukan tepat setahun perkawinannya. Ntin putus asa, tidak ada tanda-tanda Hamdan akan menceraikannya seperti yang  ia harapkan meskipun semua upaya sudah dia ia lakukan. Hanya kata minta cerai saja yang tidak berani dia ucapkan untuk mengakhiri drama perkawinanannya. 

Sebaliknya, Hamdan tetap sabar menerima perlakukan Ntin. Entah, terbuat dari apa kesabaran laki-laki itu dari mempertahankan Ntin dan perkawinanannya. 

Sampai kemudian Ntin terjebak di bibir jurang kesabarannya. Ia nekat memotong rambut indahnya, mahkota yang dahulu dia dilirik menjadi model iklan. Disimpannya rambut itu di lemari di dalam kotak dari kayu jati. Ntin merasa puas sesaat rambutnya lepas dari kepalnya.

Namun, sepuluh menit kemudian, Ntin menangis sejadi-jadinya di depan televisi. Infotainment sore di sebuah stasiun TV swasta menayangkan berita penangkapan sindikat penipuan yang dilakukan biro perekrutan model iklan. Ntin bagai disengat kalajengking saat kamera menyorot wajah pelaku. Pelaku dan otak penipuan adalah dua orang yang amat ia kenal, perempuan yang meminta mengganti namanya 'Valentina'.

"Astaghfirullah!"

Ntin lunglai. Air matanya tumpah menyusul penyesalan yang bertubi-tubi. Diambilnya kotak dari kayu jati itu dari dalam lemari dan dipandanginya dengan mata nanar setelah puas dari menangis. Wajah Hamdan yang sabar seketika memenuhi kepalanya.

"Maafin Fitri, Bang."

[]

Ntin bergegas ke kamar mandi. Setengah jam kemudian dia sudah duduk menunggu Hamdan di beranda rumah dengan busana muslimah dipadu kerudung merah jambu. Tubuhnya seharum mawar merekah.

Sepuluh menit kemudian Hamdan tiba di tumah. Melihat perempuan cantik dan tak mengenali sedang duduk, Hamdan kikuk, lalu menyanyakan keperluannya.

"Maaf, ibu ada keperluan dengan siapa?"

Hening. 

Hamdan menatap perempuan itu dan menanyakan sekali lagi keperluannya. Tak ada jawaban. 

"Atau, mau bertemu istri saya, Fitri? Nanti saya panggilkan," ucap Hamdan sekali lagi.

Masih tak ada jawaban. 

"Bang, saya Fitriyah!"

Hamdan membeku.


Meruyung, 11 Januari 2020.
Happy Weekend.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap