Langsung ke konten utama

TILIK DAN LITERASI DIGITAL HARI INI

Bila dari sudut ini TILIK ditelisik, jauh-jauh hari, hiburan televisi di rumah tangga kita sudah bertabur konten gibah gila-gilaan. 

TILIK merebut perhatian banyak kalangan. Sebuah film pendek yang diproduksi pada 2018 itu menuai berbagai penilaian. Ramai di jagat medsos, TILIK dinilai dari sudut kreativitas, kebebasan berekspresi, sampai pada penilaian dari sudut moral sebuah karya sinema. Tentu, ragam penilaian itu berangkat dari standar nilai masing-masing penilai. Pada akhirnya, pro-kontra atas TILIK menjadi pertunjukkan kedua setelah Bu Tejo.

Setelah menonton TILIK, “kolom opini” di kepala saya pun muncul begitu saja. Kesimpulan saya, hampir tidak ada yang baru yang ditawarkan TILIK. Bila dipandang sebagai kreativitas, kebebasan berekspresi, bahkan dinilai dari sudut moral pun, rasa-rasanya, TILIK bukan yang pertama dan terakhir. Ambil sudut moral misalnya, TILIK tidak bisa mengelak dinilai sebagai tontonan gibah. Bila dari sudut ini TILIK ditelisik, jauh-jauh hari, hiburan televisi di rumah tangga kita sudah bertabur konten gibah gila-gilaan.

Namun, ada hal yang perlu dicermati, yakni soal literasi digital. Entah, apakah Bu Tejo dan kawan-kawannya satu truk itu memang benar-benar disetting untuk mengungkap fakta ini atau tidak, hanya Wahyu Agung Prasetyo; sang sutradara yang tahu. Akan tetapi, disetting atau tidak sama saja, fakta kelemahan literasi digital orang Indonesia sangat mengkhawatirkan.

Beberapa poin dari TILIK yang menggambarkan lemahnya literasi digital itu sangat penting untuk dikurikulumkan sebagai mata ajar kehidupan. Bahkan, bisa jadi sudah sampai pada kondisi darurat apabila kelahiran TILIK semacam bayi kembar kelahiran “buzzer pekok” yang kerap melempar informasi salah dengan maksud diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran.

Rasanya, memang tidak ada yang berani menyangkal bahwa penemu internet mestilah orang pintar. Begitulah argumen yang dibangun Bu Tejo buat meyakinkan ibu-ibu satu truk— “kebetulan” semuanya berkerudung, kok bisa ya?— soal Dian yang mereka gosipkan. Bu Tejo menjadikan kepintaran penemu internet untuk menguatkan tesisnya bahwa informasi dari internet pasti benar karena internet buatan orang pintar.

Ini masalah pertama. Tidak perlu diperdebatkan bahwa penemu internet adalah orang pintar, namun pengguna internet tidak semuanya pintar. Pengguna internet yang pintar pun tidak semuanya lurus. Tidak sedikit pengguna internet pintar yang bermental “buzzer pekok” tadi. Di tangan mereka, informasi kebohongan dikemas sedemikian rupa menjadi berkilau-kilau. Kalau sudah begini, korbannya adalah orang-orang seperti Bu Tejo yang menganggap apa pun informasi dari internet pasti benar karena buah dari kepintaran penemunya.

TILIK memang gurih menyajikan kesalahpahaman Bu Tejo soal internet. Soal informasi internet pasti benar dikuatkannya dengan bukti konkret semisal foto atau gambar. Ini masalah kedua. 

Di zaman teknologi audio visual sudah sedemikian maju hari ini, gambar atau foto, bahkan video tidak bisa otomatis absah sebagai bukti konkret sebuah isu. Hari ini, apa pun bisa direkayasa. Jangankan cuma gambar atau foto, video, bahkan suara bisa diedit alias direkayasa. Maka foto, video, atau suara tidak serta merta menjadi bukti valid sebuah informasi dinyatakan benar dan konkret.

Masalah ketiga soal ukuran ramainya persoalan dibincangkan di medsos. Jadi, makin ramai medsos membicarakan suatu perkara, Bu Tejo meyakininya sebagai kebenaran. Bayangkan, bila ini yang terjadi, maka orang begitu mudahnya digiring memercayai kepalsuan sebagai keaslian dan keaslian sebagai kepalsuan. Yang kaya adalah si “buzzer pekok”. Semakin ramai postingan yang dilemparnya ke medsos, di-reshare dan di-like ratusan bahkan ribuan Bu Tejo, makin kaya dia. Sementara korbannya semakin miskin literasi sambil membayar kuota internet untuk konten bohong yang mereka telan. Rasanya, buzzer bayaran sudah gentanyangan sejak beberapa tahun belakangan saat kontestasi politik membutuhkan kehadiran mereka sudah jadi rahasia umum.

Masalah keempat, soal komentar dan komentator yang dianggap sebagai saksi. Jadi, makin bayak komentar, makin banyak saksi suatu peristiwa bagi Bu Tejo. Logikanya, makin banyak saksi, makin kuat sebuah isu dianggap benar.

Di medsos, dalam batas-batas tertentu komentar bersifat bebas dan sangat terbuka. Tidak ada ukuran validitas. Semua orang bebas berkomentar. Tidak penting dia mengerti atau sama sekali tidak mengerti tentang hal yang dikomentari. Semua punya kesempatan yang sama. Lagi pula, banyak komentar bisa bersumber dari satu orang yang punya seribu akun palsu. Apalagi, akun palsu itu memang sengaja diplot buat meramaikan sebuah isu di medsos. Di sini, “buzzer pekok” adalah ahlinya.  

Masalah kelima. Nah, ini yang paling krusial. 

Didasari keyakinan bahwa sumber internet pasti benar dengan didukung foto, ramai dibincangkan, dan dikomentari banyak orang, maka sharing informasi yang belum valid tidak disadari sebagai bukan kesalahan. Begitulah yang terjadi dalam keseharian di akun-akun medsos, grup-grup What’sApp, Twitter, Youtuber, atau Instagram. Orang dengan entengnya membagikan postingan yang belum jelas validitasnya atau mengambil validitas milik orang lain lalu diaku sebagai karyanya. Ini terjadi, mungkin di luar kesadaran karena kemiskinan literasi digital, bukan karena niat yang tidak baik.

Pekerjaan rumah yang cukup berat. Kita patut “berterima kasih” kepada Bu Tejo dan TILIK yang menyadarkan lagi bahwa buta literasi digital masih diidap umumnya penikmat internet. Biarlah itu diidap orang awam. Masalahnya, apabila persepsi dalam pemeran “Bu Tejo-Bu Tejo” itu berprofesi sebagai pendidik. Ini kecelakaan sejarah.

Allahu a’lam. 
Sumber gambar: https://www.bobobox.co.id/blog/tempat-wisata-cantik-yang-bisa-kamu-kunjungi-di-lokasi-film-tilik/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap