Langsung ke konten utama

PETI MATI DI ATAS ROLLER COSTER

Allah ya Rabb, biarkanlah wabah ini berlalu. Mohon perlindungan-Mu Ya Rabb. Kami benar-benar seperti di atas roller coaster sambil memandangi peti mati.


INI soal rasa. Sejak akhir Agustus sampai petang ini, rasa seperti menaiki roller coaster. Jantung nyut-nyutan, pandangan rasa jungkir balik, adrenalin naik turun tidak karu-karuan. Akan tetapi, ini bukan seperti rasa roller coaster di Dufan yang histeria bahagia tegang. Ini histeris sedih tegang.

Akhir Agustus kemarin itu, dapat WA dari sahabat karib. Minta doa terbaik buat ibundanya yang sedang dirawat. Deg! WA, saya balas normatif. Doa mengalir, semoga Ibunda lekas pulih, begitu saya penuhi. Pikiran liar ke sana ke mari menunggu kabar berikutnya. Jeda hampir sepuluh menit. Dan, kecemasan terjawab. Ibundanya positif Covid.

Pukul empat pagi empat hari kemudian, WA saya terima lagi. Sahabat karib ini mengirim pesan suara. Isinya rekaman via handphone dia pada sang Bunda. Pesan suara yang sangat menyentuh:
Assalamualaikum, Ma. Ini ***. Mama jam segini, biasanya sedang tahajud, loh. Ayo, Ma, lakukan kebiasaan Mama semampunya meski hanya dengan isyarat. Dari rumah, *** bantu doa agar Mama lekas sembuh.
Setiap kalimat sapaan dalam pesan suara itu direspon sang Bunda. Tidak jelas kalimat respon apa yang diucapkannya. Hanya suara seperti dengkuran tiap kali dia disapa. Dan, jam empat pagi hari itu, air mata saya jatuh. Ingat orang tua sendiri yang sudah sepuh.

Siang harinya, hanya berselang tujuh jam, sekitar pukul sebelas, kabar duka menutup semua pesan. Ibunda berpulang. Diurus dan dimakamkan dengan protokol Covid. Inna lillahi wa inna ilayhi rajiun.

Delapan September, sahabat karib ini kembali kirim pesan. “Hasil swabnya, saya positif covid ustadz. Laa hawla wala quwwata illa billah. Klo misal sy duluan, tolong lihat²in haafidz ustadz jika lagi senggang.”

Haafidz putra sahabat karib, bocah tiga tahun. Pesan ini, rasa ingin menjerit membacanya.

Sejak saat itu, hampir setiap hari, WA saya kirimkan buat menguatkannya menjalani isolasi mandiri. Meskipun jawabannya selalu menggembirakan, “Alhamdulillah saya sehat dan kuat InsyaAllah.” Akan tetapi, dalamnya laut, siapa yang bisa mengukur. Bagaimana rasa dan warna jiwa sahabat ini, saya tidak tahu. Namun, karena kasat mata saya tahu pengamalan agamanya baik, apa yang dia katakan, itulah dirinya.

Sebelas September, teman sekelas sewaktu SD, kolega saya; Pimpinan Ormas, Ketua Kampung Siaga Covid-19, jamaah pada kajian rutin Ahad petang yang saya isi, hasil swabnya positif Covid. Duh, orang-orang dekat yang saya kenal baik, satu lagi masuk dalam daftar yang memacu detak jantung berakrobat laiknya sedang naik roller coaster.

Pukul tujuh pagi tadi, saya menemani istri membeli sayuran di dekat komplek Depok Maharaja. Saat menunggu istri, bertemu lagi teman lain sewaktu SD. Asyik sekali kami mengobrol bertukar kabar. Namun, keasyikan itu terhenti saat teman ini mengabarkan. “Keponakan saya, murid ente dulu waktu Ibtidaiyah, positif Covid. Sekarang, lagi isolasi mandiri. Semua keluarganya sementara mengungsi ke sini.”

Sejenak, wajah anak yang ganteng itu, berpostur tinggi sedang, berkulit putih, berhidung mancung, murah senyum, yang begitu hormat saat bertemu saya, berkelebat. Dalam ingatan saya sekarang, dia sedang murung. Keluarganya, pasti pula sedang gelisah dan cemas.

Allah ya Rabb.

Saya pikir sudah selesai. Telah cukup guncangan macam roller coaster itu. Belum. Pukul satu siang tadi, sahabat, guru, dan editor buku saya; Kiai Kocak VS Liberal, editor senior pada penerbit buku saya itu dirilis, positif Covid. Kabar saya terima melalui akun Facebook sahabat saya juga; Editor in Chief pada penerbit yang sama mereka bekerja. Saat ini, sang editor sedang menjalani isolasi di Wisma Atlet. Rasa benar-benar ingin menjerit.|


Saya tidak tahu, apa kita semua akan bisa bertahan atau tidak menghadapi wabah ini. Rasa cemas mengejar-ngejar bukan karena persoalan sakit dan kematian, tapi “lelah” melihat arogansi penguasa saat mula pertama wabah ini merebak. Bukan sigap menyelamatkan jiwa anak bangsa, tapi ramai-ramai melawak dengan tema Corona yang “garing”.

Dimulai dari pernyataan Presiden dengan sangat confident yang menyebut virus Corona tidak masuk ke Indonesia merespon Corona sudah merenggut korban meninggal 1.018 di Cina Daratan seperti yang disiarkan Kompas TV pada 11 Februari 2020. Pernyataan presiden ini seperti draft naskah komedi yang diturunkan menjadi dialog ketoprak humor yang diperankan para pembantu. "[Ini] guyonan sama Pak Presiden ya. Insya Allah [virus] Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal," ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

"Corona [Masuk Batam]? Corona kan sudah pergi.... Corona mobil?" ujar Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan.

"Katanya virus corona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah," kata Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

"Corona itu seperti istrimu, ketika kamu mau mengawini kamu berpikir kamu bisa menaklukan dia. Tapi sesudah menjadi istrimu, kamu tidak bisa menaklukkan istrimu," kata Mahfud MD.

Setali tiga uang, wakil rakyat yang menulis buku “Saya Bangga Jadi Anak PKI” juga genit, latah mengambil peran, "Itu tadi dijabarkan sama ahli paru di Metro TV kalau enggak salah saya lihat. Ini lebih bahaya MERS dan SARS dibanding itu daripada si corona, kecuali [maksudnya] 'komunitas rondo mempesona'...Bapak-bapak kalau kena korona yang itu ngeri kita. Itu korona beneran itu, korona yang membahayakan itu, komunitas rondo mempesona," ujar Anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning.

Apakah mereka telah kehilangan sense of disaster? Saya tidak tahu. Bisa jadi, it’s about leadership capacity, integrity. Lingkaran positif jadi makin mengecil. Begitu kata teman-teman saya dalam obrolan ringan di Telegram.

Apa mau dikata. Begitulah suara dari mulut orang-orang “berkasta” pejabat di atas yang terlanjur mereka muntahkan, polos seperti robot yang tak kenal rasa akan dosa. Bagi saya, lelucon mereka itu adalah legacy buruk sejarah bangsa ini. Entah, apakah saat ini mereka menyesalinya atau tidak, sementara korban Covid 19 terus bertumbangan setiap hari.

Lima bulan lalu, artikel bertajuk "Dying doctors. To many coffins. Indonesia late in battle against coronavirus” dimuat Los Angeles Times pada Jumat (24/4) seperti dilaporkan https://dunia.rmol.id. Sekarang, para dokter sekarat. Terlalu banyak peti mati. Indonesia terlambat berperang melawan virus corona sedang tayang di pelupuk mata.

Allah ya Rabb, biarkanlah wabah ini berlalu. Mohon perlindungan-Mu Ya Rabb. Kami benar-benar seperti di atas roller coaster sambil memandangi peti mati.

Depok, 19 September 2020.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap