Langsung ke konten utama

PAK MOKO DAN MIMPI YANG TERTUNDA

Saya sudah tidak kuat, kayaknya ini buku terakhir saya.
Ustadz Insan LS Mokoginta telah wafat. Kepergiannya menyisakan duka. Umat Islam kehilangan lagi tokoh kristolog setelah sebelumnya Kodiran bin Saiun Atmoduryo juga berpulang pada 16 April 2020. Keduanya menyusul guru para kristolog Indonesia; KH. Abdullah Wasi’an, kristolog yang disegani para pendeta dan tokoh kristen.

Ustadz Insan LS Mokoginta—Saya memanggilnya “Pak Moko”—meninggalkan kesan khusus buat saya meski hanya dua kali bertemu dan berbincang. Pertama kali bertemu di rumah beliau di Kelapa Dua, Depok, untuk silaturahim, belajar, dan membincangkan rencana menulis buku seri "Kiai Kocak". Saya terbersit ingin mengangkat isu kristenisasi untuk seri "Kiai Kocak Ronde#5". Rasanya, saya memang harus berguru langsung kepada Pak Moko untuk mendalami topik yang akan saya kemas dengan style khas Kiai Adung. Kali kedua bertemu Pak Moko di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cempaka Putih, saat beliau mengisi seminar kristologi. Selebihnya saya “bergaul” dengan Pak Moko melalui membaca buku-buku atau menonton rekaman perdebatannya dalam tajuk debat Islam Vs Kristen.

Pak Moko—selain dikenal sebagai dai, pendebat ulung, dan kristolog— adalah juga pegiat literasi. Beliau penulis produktif. Puluhan judul buku telah ditulisnya, terutama buku-buku bertema kristologi dan pembelaan terhadap Islam. Selain bagai “singa” di meja debat, boleh dikata, Pak Moko adalah pendekar pena di medan literasi.

Buku Pak Moko terbaru berjudul “Pembelaan Spektakuler Muallaf Untuk Islam” setebal 535 halaman menjadi best seller. Namun rupanya, seperti yang pernah dinyatakan Pak Moko, buku ini menjadi buku terakhirnya. “Saya sudah tidak kuat, kayaknya ini buku terakhir saya,” ujar Abu Mumtaz—penulis Kata Pengantar buku itu menirukan keluhan Pak Moko karena faktor kesehatan yang menurun.

Pada 20 Desember 2016, itu kali pertama saya berjumpa Pak Moko di kediamannya. Setelah bertukar pesan kapan beliau bisa menerima saya berkunjung, malam itu saya datang diantar kawan; Uda Fajri.

Saya mengabari bahwa saya sudah di depan gerbang. Pak Moko yang membukakan, menyambut, dan menyilakan masuk. Aduh, begitu rendah hati beliau. Saat menanyakan kabar, suaranya sama persis dengan suara dalam VCD-VCD debatnya. Saya hafal betul karakter suara beliau. Berarti, saya sudah benar-benar berjumpa Pak Moko.

Pak Moko lalu membawa saya ke ruang tamu. Beliau meminta saya menunggu. Rupanya sedang ada “pasien”. Pak Moko telah siap dengan presentasi berisi ulasan tentang Injil. Wah, kebetulan. Saya minta izin bergabung. Hitung-hitung kuliah kristologi. Hampir satu setengah jam saya dan Uda Fajri menikmati kuliah kristologi Pak Moko. Saya tercengang. 

Belakangan, setelah sesi gadis itu selesai, Pak Moko mengatakan bahwa gadis itu sedang goyah imannya setelah mendapat doktrin tentang keselamatan versi Injil. Tampaknya, sebatas gembira raut wajah gadis itu saat pamit pulang, presentasi Pak Moko telah mengembalikan keyakinan gadis tersebut. Allahu a’lam, bagaimana kemudian jalan hidup gadis itu, saya tak pernah tahu.

Saat mengutarakan maksud kedatangan saya, Pak Moko sangat senang. Beliau menyilakan saya untuk datang berdiskusi kapan saja saya merasa memerlukannya. Apalagi saat saya tunjukkan empat seri buku "Kiai Kocak VS Liberal" yang kemudian saya hadiahkan untuk beliau, antusiasme Pak Moko begitu terasa dari raut wajahnya. Sebenarnya Pak Moko baru pulang dari safar. Tentu masih lelah. Namun, saat isi buku "Kiai Kocak VS Liberal" saya sampaikan secara singkat, perbincangan bersambung lagi. 

Saya harus tahu diri. Saya tidak ingin berlama-lama. Sudah saatnya Pak Moko istirahat. Sudah pukul sembilan malam. Namun, Pak Moko mengajak saya ke ruang perpustakaan pribadinya sebelum saya minta diri. Waw! Perpustakaan itu penuh dengan koleksi VCD debat dan buku-buku karyanya. Lalu, Pak Moko membalas pemberian saya dengan dua buku kristologi versi komik. Entah itu bukunya yang ke berapa, saya lupa, nanti saya periksa lagi. Jadilah kami saling berbagi cenderamata.

Sekarang, pemberi cenderamata itu telah berpulang. Pada Jum’at, 2 Muharram 1442 H, 21 Agustus 2020 kemarin, Pak Moko tutup usia. Beliau wafat pada waktu, tempat, dan gerak tubuh kematian yang paling dirindukan setiap muslim. Ya, proses Pak Moko berpulang saat shalat sunnah ba'diyah Maghribnya belum lagi selesai. Rencana buku Kiai Kocak yang pernah kami bincangkan pun belum pula saya sentuh. Waktu dan kesibukan membelokkan saya pada tanggung jawab literasi yang lebih berat sampai tak ada kesempatan lagi buat saya dan Pak Moko berbincang. Kiai Kocak Ronde#5 menjadi mimpi yang tertunda. Entah sampai kapan. Lalu, kepada siapa lagi saya harus meminta ilmu?

Selamat jalan Pak Moko. Semoga Bapak sudah menikmati indahnya taman-taman surga, pengantar surga yang sesungguhnya.

Depok, 21 Agustus 2020.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap