Langsung ke konten utama

BUKAN SALAH SI BAWANG MERAH

 

Legenda Si Bawang Merah Bawang Putih. Picture Credit Lhimpape


Hati-hati dengan Bu Inggrid!" Delinda mendengus.

Aku bengong. Keningku berkerut.

"Dia itu, orangnya begini-begitu!" Delinda mengatakannya lagi dengan nada ditekan.

Itu hari yang sial buatku.

Aku Skandinavi. Ya, Skandinavi namaku. Guru baru di sekolah megah ini.

Oh iya, soal namaku, nanti aku kasih tahu. Aku sedang tidak mood menjelaskannya. Hatiku sedang berusaha direbut orang. Otakku sedang menimbang. Jadi, aku yang seakan bergemuruh ketika menjelaskan namaku, aku sedang sangat tidak berselera sekarang.

Sebagai orang baru, aku belum juga tahu Inggrid yang mana. “Emangnya kenapa?” Kataku dalam hati. Apakah dia tukang jagal, jawara senior, atau pemakan daging orang sehingga aku di-warning harus hati-hati. Je ne sais pas!

"Eliana!" Aku memekik dalam hati.

Eliana teman yang baik. Delapan tahun lalu, ia merajuk. “Jangan resign Skandi! Di mana pun kamu bekerja, kamu akan menjumpai tipe orang yang sama sampai kamu tidak mendapatkan tempat lagi di mana kamu akan berkarier!”

Bah! Eliana. Aku heran, apakah gadis jangkung dengan kaca mata besar itu seorang peramal? Ini kali kelima aku mendapati kebenaran kata-katanya.

Sudah empat kali aku hengkang dari perusahaan tempatku bekerja. Aku berpikir, aku pasti menemukan tempat baru untuk membangun karier yang nyaman. Maksudku, suasana kerja yang sehat. So, tidak ada senior berwatak "Si Bawang Merah" yang menjual propaganda menjatuhkan sesama karyawan.

Empat kali tidak betah di perusahaan, mendorongku “hijrah” menjadi guru. Dengan pertimbangan sederhana, di sana aku yakin akan bertemu orang-orang bijak. Bukankah guru adalah orang-orang yang kaya akan wisdom?

Aku memang bukan guru formal. Aku tertarik dengan tawaran mengajar ekskul Creative Writing. Tapi, soal wisdom itu, aku ingin belajar dari mereka para guru. Bolehlah aku sebut, "sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui". Sambil mengajar, dapat gaji, dapat wisdom.|


"Aku tidak bisa, Eliana."

"Terus?"

"Aku resign."

"Hanya karena Besty kamu resign?"

"Besty hanya puncak gunung es."

Aku sodorkan surat pengunduran diriku. Eliana bengong, dikiranya aku main-main.

Eliana menahanku. Dikatakannya, posisiku sekarang sedang dipertimbangkan untuk mendapat promosi. Bila aku resign, terlalu mahal harganya. Aku dibujuk lagi, di tempat baru, aku harus melewati masa yang panjang untuk mendapat promosi seperti promosi yang sudah di depan mataku, kata Eliana lagi.

"Tidak, Eliana. Menghindar dari Besty bukan soal promosi jabatan, tapi soal kebahagiaan."

"Ok, Skandi yang keras kepala. Semoga tidak ketemu "Si Bawang Merah" sampai kiamat!"

"Thank's, Eliana."

Eliana memelukku. Ia melepasku pergi meski dengan wajah tidak puas.|

Di perusahaan dahulu aku bekerja, "Si Bawang Merah"-nya matre dan hedon. Paha dan bagian dadanya sedikit terbuka. Itu karena perusahaan memasang standar pakaian ketat, ujung rok harus sejengkal di atas lutut, dan "harus seksi". Ini tidak bisa ditawar-tawar. Termasuk aku. 

Semua hal diukur dengan uang dan barang-barang branded. Tempat hang out paling sopan mereka di cafe-cafe. Selebihnya, ah, tidaklah patut aku sebut. 

Jangan tanya mereka tentang shalat, puasa, atau baca Quran. Meskipun pada KTP Agama-nya Islam, tapi pola hidup mereka tidak ada bedanya dengan orang ateis. 

Di kantor, boro-boro ada pengajian, perayaan hari-hari besar agama, atau divisi rohis yang memfasilitasi urusan ibadah karyawan. Yang ada selebrasi ulang tahun, Valentine's Day, atau perayaan pergantian tahun dengan menyewa villa. Malam tahun baru dihabiskan dengan kembang api, alkohol, dan lalu sesama karyawan laki-laki dan perempuan —sorry, ini terlalu menjijikkan untuk aku sebut— layaknya suami-istri.

Jiwa mereka gersang meranggas karena tidak pernah mendapat siraman rohani dan mencicipi manisnya ibadah serta lembutnya sentuhan Al-Quran. Wajah mereka cantik oleh polesan make up menor, tapi tidak pernah dibasuh sejuk air wudhu. Tubuh molek mereka tidak pernah dibalut mukena untuk khusyuk shalat Duha tiap kali akan memulai bekerja di meja masing-masing. Mengertilah aku. Pantas saja bila jiwa-jiwa "Si Bawang Merah" tumbuh subur mengelilingiku di sana.

Uniknya, pas terjadi gempa, saat ruang kerja mereka bergoyang, mulut-mulut mereka ramai menyebut nama Tuhan seraya meminta perlindungan. Mendadak ada yang mengaji meskipun dengan makhraj yang ngawur. Mengumandangkan azan meskipun keseharian panggilan agung itu dicuekin. Dan banyak lagi bacaan-bacaan yang mencerminkan mereka takut mati, bukan karena mengagungkan Tuhan yang sebenarnya enggan mereka sembah.|

Gila! Ini gila! "Si Bawang Merah" di tempat baru beberapa bulan aku mengajar sukar aku terjemahkan. Mereka rutin mengikuti kajian agama, duhanya tak putus sepanjang pagi sebelum mengajar, tilawahnya bersambung khatam, dan rutin ikut perayaan hari-hari besar agama.

Ungkapan "alhamdulillah", "jazakumullah", "subhanallah", "masya Allah" atau ungkapan-ungkapan kaum agamis tidak pernah sepi, baik dalam obrolan keseharian atau conversation-conversation mereka di grup WA.

Kurang apa lagi?

Tapi, mengapa jiwa "Si Bawang Merah" masih bisa berhasil masuk di sini? Apakah nilai-nilai agama hanya sekadar formalitas? Atau, apa karena level kesaktian "Si Bawang Merah"-nya sudah sampai pada maqam tertinggi?|

Inggrid tidak seseram yang aku kira, tidak seperti narasi miring Delinda. Secara kasat mata, Inggrid itu cerdas, terbuka, pembelajar, dan ini, memang ia kritis. Kritiknya bukan asal ngomong, tapi bernas. Memang, siapa pun orang berotak cupet yang berhadapan dengan Inggrid, kritik Inggrid bikin gerah dan dipersepsi sebagai ingin menjatuhkan orang.

Inggrid bukan guru ABS (Asal Bapak Senang). Harga dirinya terlalu tinggi. Ia tabu memuji-muji top leader, tapi ujungnya berharap-harap imbalan surat tugas ini itu. Inggrid tak pandai bertanam tebu di bibir, apalagi menjatuhkan reputasinya dengan barter urusan dapur.

Sekarang aku mengerti, Inggrid memilih jalannya sendiri. Poin ini bisa jadi yang dipandang Delinda sebagai “begini-begitu”.

Jika kali ini aku mengabaikan Eliana lagi, berarti ini kali kelima aku resign dengan sebab yang sama. Tapi, aku ngeri. Di sini, “Si Bawang Merah”-nya rajin ibadah, beda dengan "Si Bawang Merah" di perusahaan-perusahaan dahulu aku hengkang.

Sebaiknya, aku buru-buru resign. Tapi, ini bukan karena alasan "Si Bawang Merah". Bukan. Ini salahku sendiri yang tidak bahagia berdekatan dengan "Si Bawang Merah".

Aku memutuskan berbisnis saja selepas jadi guru. Tapi lagi-lagi aku sial.

“Asyem! Pelangganku banyak “Si Bawang Merah”!|


Ibuku hamil sebulan setelah pulang dari Norwegia mengikuti ayahku tugas di sana. Ibuku menduga, kehamilannya terjadi saat Norwegia memasuki akhir tahun, di mana malam-malam berlangsung sepanjang hari. Hahaha, kalian pasti paham maksudku, kan? Belum ya?

Tujuh bulan kemudian, Ibuku harus balik lagi ke Skandinavia mendampingi ayahku menggarap proyek pendidikan di Finlandia. Nah, di Finlandia aku lahir. Dan ayahku, memberiku nama bayi mungilnya: Ayesha Skandinavi Layalin.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap